UP AND DOWN 300 TAHUN

UP AND DOWN 300 TAHUN

Membaca kitab Hakim-hakim ada perjalanan sejarah bangsa Israel, keluar dari penjajahan Firaun 430 tahun, berkelana 40 tahun menanggung hukuman ketidakpercayaan terhadap janji Tuhan, akhirnya masuk tanah Kanaan dan di bawah Yosua berperang menaklukkan bangsa-bangsa yang menguasai Kanaan selama 30 tahun. 

Sebelum Yosua dan angkatannya meninggal dunia, mereka memperingatkan orang Israel agar tetap menjaga Firman Tuhan dan menaatinya agar kehidupannya tetap baik sesuai berkat Tuhan yang telah dijanjikan. Kenyataannya lain, ada penampakan Malaikat Tuhan: “ … janganlah kamu mengikat perjanjian dengan penduduk negeri ini; mezbah mereka haruslah kamu robohkan. Tetapi kamu tidak mendengarkan firman-Ku. Mengapa kamu perbuat demikian? (Hakim-hakim 2:2)

Akibatnya orang Israel di tanah Perjanjian dijajah silih berganti oleh berbagai bangsa. Terjadi penindasan yang sangat berat, ingat Tuhan kembali, bertobat kepada Tuhan, Tuhan mendengarkan permohonan, lalu Tuhan memilih beberapa tokoh menjadi hakim berperang melawan bangsa-bangsa penindas. Menang, para hakim memerintah orang Israel, kondisi menjadi tenteram dan aman, si hakim meninggal dunia, dan mulailah orang Israel lupa untuk tetap taat kepada Tuhan. Lalu ditindas musuh lagi. Up and down kehidupan rohani dan jasmani orang Israel, siklusnya selalu berulang, terjadi selama 300 tahun lebih.

Zaman Yosua aman 30 tahun, Otniel menjadi hakim 40 tahun, Ehud menjadi hakim 80 tahun, Samgar – tidak dicatat berapa tahun, Debora dan Barak 40 tahun, Gideon 40 tahun, Abimelekh anak Gideon mengangkat diri menjadi raja 3 tahun, Tola 23 tahun, Yair 22 tahun, Yefta menjadi hakim selama 6 tahun, Ebzan 7 tahun, Elon 10 tahun, Abdon 8 tahun, Simson 20 tahun. Total ada 12-13 periode hakim-hakim sejak Yosua, jumlah tahunnya selama 329 tahun sejak masuk tanah Kanaan. Sangat lama up and down kehidupan rohani dan jasmani, saat kerohanian baik Tuhan memberkati, saat meninggalkan Tuhan hukuman dan penindasan datang.

Saudaraku, terjadi up and down selama 300 tahun lebih, jelas, karena tidak mendengarkan, apalagi menaati firman Tuhan. Gereja-gereja yang megah di ratusan kota di luar negeri mulai ditinggalkan jemaatnya. Sepi, bahkan anggota jemaat yang tersisa tidak mampu membiayai perawatan gedung gereja. Pemerintah memandang bangunan gereja sebagai cagar budaya, akhirnya menetapkan pajak gereja (Kirchensteuer). 

Di Google dapat kita temukan besaran panjaknya: Sebesar 9% dari PPh, atau 8% di Bavaria dan Baden-Württemberg Jerman, jika berpenghasilan 50.000€ per tahun, pajak gereja sekitar 800€ per tahun. Di Swiss besaran pajak gereja ditentukan oleh Kanton atau negara bagian setempat, berlaku terhadap perorangan maupun badan hukum. 

Saudaraku, mari kita sadar, bahwa gereja-gereja di Jerman dan Swiss didirikan dan dibangun oleh para pengikut Martin Luther, William Tyndale, Ulrich Zwingli, Yohanes Calvin, dan Menno Simons,  yang ajaran-ajarannya hingga hari ini menjadi pengajaran cukup banyak gereja-gereja di Indonesia.

Menghadapi tantangan tersebut, aku mengajak Saudara untuk merenungkan kitab Ulangan 6:1-9. Umat Tuhan diselamatkan dari perbudakan Mesir untuk suatu kehidupan yang baru, yaitu hidup dalam iman. Hidup dalam iman berarti terhubung dengan dengan Allah dalam sebuah relasi yang dilandasi oleh kasih. Umat Tuhan bukan hanya mengakui Tuhan, tetapi mengasihi Dia dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan.

Sebelum umat Tuhan sampai ke tanah perjanjian, Tuhan mengingatkan umat-Nya melalui Musa bahwa hal yang terutama dalam hidup mereka adalah memiliki kehidupan yang beriman. Iman kepada Allah yang menyelamatkan mereka menjadi bagian hidup yang terpenting dan paling berharga turun-temurun. Itulah WARISAN TERBESAR  umat Tuhan kepada ANAK-ANAKNYA : IMAN YANG HIDUP.

Hal yang terutama, terpenting, dan paling berharga bagi umat Tuhan di sepanjang masa adalah iman yang hidup kepada Allah di dalam Yesus yang menyelamatkan manusia dari dosa. Karena itu, seharusnya setiap orangtua Kristen mewariskan iman yang hidup itu kepada anak-anaknya.

Saudaraku, mewariskan iman memang harus dilakukan dengan cara mengajarkan dan menunjukkan sikap hidup sehari-hari di dalam mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan. Mari kita mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan dalam setiap aktivitas hidup kita sehari-hari. (Surhert).

Renungan Lainnya