IBADAH YANG BENAR. Sahabat, apakah arti ibadah yang benar? Tidak semua orang percaya yang biasa rutin beribadah di gerejanya memahami apa yang dimaksud dengan ibadah yang benar. Ada cukup banyak orang percaya yang menjalankan ibadah hanya sebagai suatu rutinitas dan kewajiban.
Padahal, sebenarnya makna ibadah lebih daripada itu. Ibadah yang benar melibatkan ketulusan hati yang lahir dari cinta dan kesetiaan kepada Allah. Termasuk juga keinginan yang tulus untuk mengenal dan mendekat kepada-Nya.
Arti ibadah yang benar meliputi pemahaman, sikap, dan tindakan yang mendalam terhadap peribadahan kepada Allah. Ibadah yang sejati bukan hanya tentang rutinitas keagamaan, tapi melibatkan hati, jiwa, dan perilaku sehari-hari.
Coba kita hayati nasihat rasul Paulus berikut ini: “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” (Roma 12:1)
Sahabat, dari kutipan ayat Alkitab tersebut, dijelaskan bahwa orang percaya sebaiknya melaksanakan ibadah yang sejati dalam segenap aspek kehidupannya. Bapak Pdt. Jusuf Roni dalam bukunya “Menang Atas Penderitaan” (2021) menjelaskan arti ibadah sejati adalah pencarian kudus dan kesejatian. Lebih tepatnya mengupayakan pertumbuhan dan kesempurnaan dalam kasih kepada Allah dan sesama.
Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab Zakharia dengan topik: “The Correct Worship (Ibadah yang Benar)”. Bacaan Sabda diambil dari Zakharia 7:1-14. Sahabat, bagaimanakah caranya kita menyenangkan Tuhan? Jawaban pada umumnya adalah dengan melakukan kebaikan bagi sesama. Apakah itu menyenangkan hati Tuhan, sesama, atau untuk memuliakan diri sendiri? Apakah itu berdasarkan kecintaan kepada Tuhan atau supaya kita tidak ditolak oleh lingkungan kita?
Sisa orang Yehuda masih mempertahankan kebiasaan berpuasa. Sarezer dan Regem-Melekh diutus penduduk Betel untuk melunakkan hati Tuhan dengan mengajukan sebuah pertanyaan: “Apakah umat Yehuda harus menangis dan berpantang dalam bulan kelima seperti tradisi yang telah diturunkan selama ini?” (Ayat 2-3).
Sahabat, ternyata, jawaban Tuhan sungguh mengejutkan. Berpuasa, tampaknya, sudah menjadi kebiasaan tanpa makna dalam kehidupan ibadah Israel dan Yehuda. Tuhan tahu bahwa puasa yang mereka lakukan bukan lagi untuk-Nya, tetapi untuk diri sendiri (Ayat 5-6). Hal itu menyakitkan Tuhan, sehingga Tuhan membuang mereka dari hadapan-Nya.
Sekarang yang Tuhan mau adalah mereka beribadah dengan benar dan menunjukkan kesetiaan serta kasih sayang kepada sesama, memerhatikan janda, anak yatim, orang asing, dan orang miskin, serta melarang mereka merancang kejahatan terhadap sesama (Ayat 9-10). Perintah ini menjadi petunjuk hidup baru setelah puasa mereka tidak lagi diterima.
Tuhan memperingatkan umat Yehuda agar hidup lebih baik daripada nenek moyangnya yang telah gagal dalam mempraktikkan ajaran ibadah puasa dengan benar. Sekarang mereka memiliki kesempatan untuk menjadi lebih baik setelah pulang dari pembuangan. Mereka harus memperlakukan sesama dengan baik, sama seperti Tuhan sudah memerhatikan mereka. Sudah saatnya mereka beribadah dengan iman.
Sahabat, relasi kita dengan sesama akan baik kalau persekutuan dengan Tuhan berjalan akrab. Ini adalah langkah iman yang Tuhan tunggu-tunggu dari gereja-Nya. Mari kita mencermati tindakan dan perbuatan pada sesama. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah!
Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini:
- Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu?
- Apa yang Sahabat pahami dari ayat 9-10?
Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Tanggalkan sekat-sekat pembeda yang seringkali merintangi kita untuk mengalirkan kasih Tuhan kepada sesama. (pg).