Silent Obedience

Silent Obedience

DIAM. Sahabat, kata orang bijak, diam selalu mengandung berjuta makna. Bisa positif, tapi lebih sering negatif, entah marah, kecewa, atau putus asa. Diam biasanya merupakan jalan terakhir untuk bersuara, ketika berkata tidak lagi bermakna. 

Ada ungkapan yang sangat beken di masyarakat, “Diam adalah Emas” yang berarti seseorang memilih diam dan tenang karena percaya akan lebih mendatangkan manfaat baik daripada melakukan respons tertentu.

Sesungguhnya, terkadang yang  susah  bukan harus diam atau berbicara, melainkan dapat mengetahui kapan harus diam dan kapan perlu berbicara. Terlalu banyak bicara (asal berbicara, tanpa dasar yang benar) sama negatifnya dengan selalu menutup mulut (padahal perlu untuk menyuarakan sesuatu yang benar). Memilih diam mungkin pada kasus tertentu perlu dilakukan agar suasana tidak semakin runyam. Namun ada kalanya dalam beberapa kondisi mengharuskan kita berbicara, khususnya untuk menjelaskan fakta yang sebenarnya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diam memiliki tiga arti: Tidak bersuara (tidak berbicara); tidak berbuat (tidak berusaha apa-apa); dan tidak bergerak (tetap di tempat). Dalam diam, seseorang mungkin juga  memiliki tiga maksud: Setuju, tidak setuju ataupun tidak peduli. Apa pun sikap kita,  pasti mengandung konsekuensi.  

Sahabat, hanya dalam diam, Tuhan sebagai bahasa kebenaran punya ruang untuk hadir di relung hati, menemani kita dalam sunyi. Seperti kata Bunda Theresa, “Tuhan adalah karib kesunyian. Pepohonan, bunga, dan rerumputan tumbuh dalam kesunyian. Tengok juga bintang, bulan, dan matahari, semua bergerak dalam sunyi.”

Dalam menyambut natal, hari ini kita akan merenungkan tentang Yusuf dengan topik: “Silent Obedience (Ketaatan dalam Diam)”. Yusuf  seorang pribadi yang punya peran yang  sentral dalam peristiwa natal. Seorang pribadi yang unik. Dia sangat irit berbicara. Kita tidak menjumpai percakapan dia dengan malaikat yang menjumpainya dalam mimpi. Kita juga tidak menjumpai pernyataan-pernyataannya. Kita justru menjumpai ketaatannya dalam diam.

Sahabat, pertama,  saya ajak untuk menyimak Injil Matius 1:18-25. Pada awalnya, dalam diri Yusuf timbul rasa ragu dan konflik batin, saat ia mengetahui tunangannya hamil. Ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam (Ayat 19). Menariknya, Yusuf secara spontan membatalkan niatnya untuk menceraikan Maria setelah malaikat yang menjumpainya dalam mimpi menjelaskan  duduk perkara yang sebenarnya (Ayat 20-24). 

Di sini terlihat respons iman Yusuf memiliki kemiripan dengan iman Abraham (Kejadian 12:4). Tanpa negosiasi dan secara spontan, ia  berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan kepadanya. Ia menerima Maria sebagai istrinya dengan hati yang teguh (Ayat 24). Yusuf menerima penugasan Tuhan sebagai sebuah kehormatan yang mesti dijalaninya dengan bertanggung jawab.  

Kedua, saya ajak Sahabat untuk menyimak Injil Matius 2:13-15. Yusuf pasti baru saja merasakan sukacita karena kelahiran Yesus dan karena kedatangan orang majus yang disertai bawaan berbagai persembahan yang bernilai tinggi. Namun, sukacitanya itu harus berganti dengan perasaan was-was karena malaikat menjumpainya dalam mimpi dan berkata, “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia.” (Ayat 13).

Tanpa negosiasi dan dengan segera Yusuf merespons:  “Maka Yusuf pun bangunlah, diambilnya Anak itu serta ibu-Nya malam itu juga, lalu menyingkir ke Mesir,” (Ayat 14). Peristiwa menyingkir ke Mesir pada malam hari itu menjadi satu peristiwa yang mengkhawatirkan, meresahkan, bahkan menakutkan bagi Yusuf dan Maria. Betapa kalutnya mereka saat harus menempuh perjalanan dari Betlehem ke wilayah Mesir. Perjalanan jauh yang melelahkan dan bisa jadi berbahaya.

Ketiga dan keempat, saya ajak Sahabat untuk menyimak Injil Matius 2:19-23. Sebagai seorang ayah, Yusuf tahu apa yang paling dibutuhkan oleh Yesus saat itu, yaitu perlindungan dan rasa aman dari rencana jahat dan ancaman Herodes. Kabar tentang kematian Herodes Agung yang diberitahukan oleh malaikat Tuhan dan seruan untuk meninggalkan Mesir, tanpa basa basi dan negosiasi segera ditanggapi oleh Yusuf (Ayat 20-21). 

Yusuf berjalan menuju ke Yudea, mungkin akan ke Betlehem tempat Yesus dilahirkan (Ayat 21). Dalam perjalanan tersebut Yusuf kembali mendapat pemberitahuan bahwa raja pengganti Herodes adalah raja yang lalim juga (Ayat 22). Karena itu, Yusuf mengubah tujuan perjalanannya dari semula ke Yudea menjadi ke wilayah Galilea yang lebih aman bagi Yesus karena tidak terjangkau oleh Arkhelaus yang wilayah kekuasaannya hanya Yudea.

Sahabat, saat persoalan yang kita hadapi seakan tidak ada jalan keluar, pilihlah untuk TETAP TAAT  pada kehendak Tuhan. Untuk dapat mengetahui kehendak Tuhan, kita perlu tekun membaca firman Tuhan dan berdoa. 

Dalam suasana Natal saat ini, apakah Sahabat  tengah menghadapi pergumulan berat? Jika ya, teladanilah apa yang dilakukan oleh Yusuf. Yakinlah, KETAATAN akan membuka PINTU KETERLIBATAN TUHAN dalam HIDUP KITA. Selamat Natal Sahabatku. Bersukacitalah! (pg).

Renungan Lainnya