Pepatah lama mengatakan, “Kita tidak dapat melarang seekor burung terbang di atas kepala kita; tetapi kita dapat melarang burung itu bersarang di atas kepala kita.” Pepatah tersebut hendak mengatakan bahwa kita tidak dapat menghindari datangnya persoalan, kekecewaan, atau penderitaan. Tetapi kita dapat menolak permasalahan atau kekecewaan atau penderitaan yang kita rasakan itu terus bersarang dalam hati dan pikiran kita.
Sahabat, pernahkah kamu menemukan dirimu kecewa dengan kenyataan hidup yang tidak sesuai harapan dan rencanamu? Mungkin ketika pengumuman penerimaan mahasiswa diumumkan, namamu tidak ada di daftar calon mahasiswa yang diterima di kampus impianmu. Mungkin ketika kamu sudah belajar dengan giat dan tekun, namun nilai yang keluar jauh di bawah harapanmu. Mungkin ketika kamu lulus kuliah dan siap memulai profesi yang kamu inginkan, namun akhirnya terpaksa bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan bidangmu karena sudah terlalu lama menganggur. Atau mungkin ketika kamu berpikir bahwa kamu sudah menemukan si dia yang tepat untukmu, namun ternyata dia tidak berpikir hal yang sama.
Jujur saja, saya juga pernah. Saya pikir kita semua pasti pernah menemukan diri kita dalam salah satu kondisi di mana hidup berjalan di luar kendali kita. Itu bukan hidup yang kita pikirkan, itu bukan jalan yang kita inginkan. Ketika saat-saat seperti itu tiba, yang paling penting bagaimana sikap kita dalam menghadapi peristiwa yang menimpa.
Untuk lebih memahami topik tentang: “SIKAP KITA atas PERISTIWA yang MENIMPA”, Bacaan Sabda pada hari ini saya ambil dari Kejadian 50:15-21 dengan penekanan pada ayat 20. Sahabat, banyak hal yang menimpa Yusuf ada di luar kendalinya: Diceburkan ke sumur, dijual sebagai budak, dijebloskan ke penjara, dan akhirnya menjadi penguasa Mesir. Semua di luar kemauan Yusuf. Dia mengalami banyak hal buruk sebelum akhirnya menjadi penguasa Mesir.
Namun, tak satu pun dari semua itu menentukan diri Yusuf sebagai manusia. Hal yang menentukan diri Yusuf sebagai manusia adalah sikap Yusuf terhadap apa yang terjadi. Jika dia mau, dia bisa membalas kejahatan saudara-saudaranya. Tetapi, dia memilih memaknai positif semua yang menimpanya (ayat 20), dan memilih tetap mengasihi saudara-saudaranya (ayat 21). Sikap yang dia ambil itulah yang menentukan siapa dia sebenarnya.
Sahabat, sebagaimana Yusuf, kita juga banyak tak bisa mengendalikan hal yang menimpa kita. Banyak hal terjadi di luar kemauan maupun kendali kita. Kita tak selalu bisa memilih atau mengontrol peristiwa yang menimpa. Tetapi, kita selalu punya peluang untuk mengontrol dan memilih sikap kita. Ketika hal buruk terjadi, kita selalu punya peluang untuk menentukan sikap kita atasnya: Marah, atau rela menerima; mendendam, atau tulus mengampuni; menjauhkan diri, atau merangkul; memelihara trauma yang timbul, atau berusaha move on.
Peristiwa dalam hidup memang bisa memengaruhi kita. Tetapi, pada akhirnya, sikap kita atas peristiwa itulah yang menentukan diri kita sebagai manusia: Menjadi manusia yang diperbudak dorongan negatif yang merusak hidup, atau menjadi manusia yang menjunjung tinggi keutamaan hidup. Haleluya!
Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini:
- Hikmat apa yang Sahabat peroleh dari perenunganmu pada hari ini?
- Apa yang Sahabat pahami dari ayat 17-18?
Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Ketika ada orang berbuat jahat kepada kita, ingatlah … Di balik itu ada rancangan Allah yang baik, sehingga kita dapat belajar untuk melepaskan pengampunan. (pg).