PONTIUS PILATUS

PONTIUS PILATUS

Dalam Pengakuan Iman Rasuli yang diucapkan di Gereja-Gereja Kristen dan Katolik, terdapat kalimat: “Yang menderita sengsara di bawah pemerintahan Pontius Pilatus.” Nah, siapakah beliau yang selalu disebut ini? Mengapa bukan menyebut nama Rasul Petrus atau Rasul Paulus yang menjadi Rasul-rasul pilihan?

Pontius Pilatus (Pontios Pīlātos) adalah gubernur ke-5 dari Provinsi Judea Kekaisaran Romawi, menjabat tahun 26–36 M, pada zaman kaisar Tiberius. Dialah yang mewakili pemerintah Romawi di Yerusalem untuk mengadili Yesus Kristus. Setelah menginterogasi Yesus, Pilatus mengakui bahwa tidak menemukan kesalahan Yesus, namun Pilatus tidak mampu untuk membebaskan Yesus begitu saja, bahkan sebaliknya ia tunduk pada keinginan massa untuk menyalibkan Yesus.

Di Yohanes 18:38 diceritakan: Keluarlah Pilatus mendapatkan orang-orang Yahudi dan berkata kepada mereka: “Aku tidak mendapati kesalahan apapun pada-Nya.”  Pilatus memang mengetahui, bahwa imam-imam kepala telah menyerahkan Yesus karena dengki (Markus 15:10). 

Lebih lanjut Pilatus berkata: “Kamu telah membawa orang ini kepadaku sebagai seorang yang menyesatkan rakyat. Kamu lihat sendiri bahwa aku telah memeriksa-Nya, dan dari kesalahan-kesalahan yang kamu tuduhkan kepada-Nya tidak ada yang kudapati pada-Nya. Dan Herodes juga tidak, sebab ia mengirimkan Dia kembali kepada kami. Sesungguhnya tidak ada suatu apa pun yang dilakukan-Nya yang setimpal dengan hukuman mati. Jadi aku akan menghajar Dia, lalu melepaskan-Nya.” (Lukas 23:14-16)

Bahkan  Pilatus berkata untuk ketiga kalinya kepada mereka: “Kejahatan apa yang sebenarnya telah dilakukan orang ini? Tidak ada suatu kesalahan pun yang kudapati pada-Nya, yang setimpal dengan hukuman mati. Jadi aku akan menghajar Dia, lalu melepaskan-Nya.” (Lukas 23:22)

Saudaraku, saat mengadili Yesus, sebenarnya Pilatus memiliki 2 kesempatan untuk membebaskan Yesus, yakni tidak mendapati kesalahan Yesus, dan mestinya sebagai penguasa mewakili Kaisar Romawi berhak membebaskan Yesus. Kesempatan kedua, Pilatus sadar bahwa Yesus tidak setimpal dihukum mati, maka dia menawarkan untuk menghajar Yesus dan dilepaskan. Kalau pengadilan Pilatus melepaskan Yesus, dan memindahkan Yesus ke suatu tempat yang aman tentu dengan pengawalan sangat ketat oleh pasukan yang jago berperang yang tidak mungkin diterobos orang-orang Yahudi.

Bahkan  ketika Pilatus sedang duduk di kursi pengadilan,  istrinya mengirim pesan kepadanya: “Jangan engkau mencampuri perkara orang benar itu, sebab karena Dia aku sangat menderita dalam mimpi tadi malam.” (Matius 27:19). Tapi Pilatus tunduk pada hasutan imam-imam kepala dan tua-tua orang Yahudi, padahal orang-orang ini merupakan rakyat negara jajahan. Apalagi barter tahanan antara Barabas atau Yesus juga divoting massa 100% untuk membebaskan Barabas. 

Ketika Pilatus melihat bahwa segala usaha akan sia-sia, malah sudah mulai timbul kekacauan, ia mengambil air dan membasuh tangannya di hadapan orang banyak dan berkata: “Aku tidak bersalah terhadap darah orang ini; itu urusan kamu sendiri!” (Matius 27:24)

Itulah Pontius Pilatus, mengetahui tentang kebenaran Yesus, tapi tunduk pada tekanan imam-imam kepala dan tua-tua orang Yahudi. Akhirnya dia mencuci tangan di depan massa, dan tunduk pada keinginan massa agar Yesus disalibkan.

Saudaraku, berapa banyak kita tunduk pada tekanan lingkungan dan mengikuti keinginan lingkungan padahal itu merupakan pelanggaran hukum? Mari dengan hati yang teduh kita merenungkan kitab Keluaran 23:1-3. 

Ada yang menarik ketika Musa menuliskan, “Janganlah memihak kepada orang miskin dalam perkaranya.” (Keluaran 23:3). Kebenaran firman itu menegaskan bahwa keadilan berlaku bagi semua orang. Orang yang kekurangan secara ekonomi bukan berarti bebas melakukan apa pun, termasuk berbuat jahat atau melanggar hukum. 

Tindakan membela perkara orang miskin, apalagi ketika memang orang tersebut salah, jelas merupakan tindakan yang keliru. Itulah sebabnya, ketika ada orang miskin harus menghadapi pengadilan, jangan berusaha membebaskan orang tersebut dari konsekuensi atas perbuatannya, oleh karena dia miskin. Jika harus memihak, berpihaklah dan belalah orang yang kita yakini sedang berbuat benar.

Setiap orang perlu belajar untuk menaati hukum yang berlaku, juga bersikap adil terhadap orang yang bersalah. Tindakan mendisiplin dan memberi sanksi bukanlah tanda ketiadaan kasih, melainkan wujud nyata dari kasih yang sejati. Sudahkah kita menyatakan kasih dengan cara yang tepat, terutama ketika ada yang melakukan kesalahan? 

Saudaraku, kebenaran sejati hanya akan memihak kepada orang yang hidup benar, bukan orang kaya atau orang miskin. (Surhert).

Renungan Lainnya