Saudaraku, pernah mengikuti pelatihan jurnalistik, seorang wartawan senior memberikan petunjuk dalam penulisan berita, yakni jangan menggunakan kata aku atau saya dalam menuliskan berita, sebab itu tidak obyektif dan tergantung ego atau kemauan si wartawan sendiri.
Dalam suatu laporan berita sampaikan hal-hal yang paling obyektif, mengungkapkan peristiwa dari banyak sudut pandang supaya pembaca mempunyai gambaran yang jelas tentang suatu berita, jangan menggiring pembaca ke suatu opini. Jadi jelas, jika suatu berita atau laporan menampilkan kata-kata aku atau saya, berarti itu opini, bukan sesuatu yang obyektif.
Seperti kita melihat di tiktok banyak influencer yang mempromosikan suatu restoran. Menyampaikan narasi berita dan gambar: “Ini lho sudah aku nikmati bakmi ini, wuah rasanya seperti apa, uenaknya, dagingnya demikian crispy dan lezatnya, sayurannya tetap berwarna hijau terang, dan sebagainya.” Semua di video dengan warna yang dibuat cerah, jadi menggiring opini orang yang melihatnya, padahal kalau benar-benar kita datang dan membeli bakmi yang dipromosikan, ternyata ya rasanya biasa-biasa saja, bahkan pemakaian micin atau vetsin demikian banyak, yang menstimulasi otak supaya mengatakan rasa enak …
Nah ini, ketika kita membaca ayat di Mazmur 18:3 Terjemahan Baru (TB), ternyata ini satu-satunya ayat di Alkitab yang paling banyak menyebutkan opini kata aku. Perhatikan ya: Ya TUHAN, bukit batuku (1), kubu pertahananku (2) dan penyelamatku (3), Allahku (4), gunung batuku (5), tempat aku (6) berlindung, perisaiku (7), tanduk keselamatanku (8), kota bentengku! (9). Ada 9 kata aku.
Ternyata di terjemahan King James Version (KJV) juga sama. Psalm 18:2 The LORD is my (1) rock, and my (2) fortress, and my (3) deliverer; my (3) God, my (4) strength, in whom I (5) will trust; my (6) buckler, and the horn of my (7) salvation, and my (8) high tower. Ada 8 kata my dan I.
Saudaraku, kalau dipikir-pikir, bagaimana jika kata-kata aku dihilangkan dari Mazmur 18:3? Mungkin jadinya seperti ini: Ya TUHAN, bukit batu, kubu pertahanan dan penyelamat, Allah, gunung batu, tempat berlindung, perisai, tanduk keselamatan, kota benteng!
Nah, jadinya aneh ya, sepertinya Tuhan itu ada di posisi sendiri nun jauh di sana, dan kita hanya memandang dari kejauhan. Mungkin seperti Saudara berdiri di Simpang Lima Semarang dan memandang Gunung Ungaran di kejauhan.
Aku jadi ingat pengalaman ketika berkunjung ke Great Wall di Badaling sebelah utara Beijing. Berdiri berfoto di salah satu sisi Great Wall yang demikian megah dan tinggi, membayangkan tembok ini lebih dari 10.000 km membentang, dibangun dalam kurun waktu ratusan tahun, oleh ratusan ribu rakyat dari beberapa generasi dan kekaisaran.
Saat itu bermanfaat untuk menahan serbuan dari suku-suku asing dari utara negeri China. Ya, musuh dari posisi bawah menggunakan kuda, kereta, panah dan tombak, pasti tidak bisa melawan tentara yang ada di atas tembok pertahanan yang menjulang tinggi. Tapi kalau perang zaman sekarang, ya bubar, karena ada peluru kendali, tank, apalagi helikopter yang bisa menembak dari atas. Jadi tembok perlindungan zaman dulu tidak berlaku untuk perlindungan zaman now.
Seperti kata-kata aku yang sembilan kali disebutkan Daud di Mazmur 18:3, itu merupakan pengalaman Daud terhadap Tuhan, ditulis sekitar tahun 1000 Sebelum Masehi. Zaman now, saat ini, sudah 3000 tahun dari saat penulisan ayat itu, ternyata kata-kata aku yang sembilan kali disebutkan itu tetap berlaku, bahwa Tuhan tetap menjadi perlindungan dan penyelamat bagi diri kita.
Entah umur Saudara hari ini 20 tahun atau 50 tahun bahkan 80 tahun, ayat tersebut tetap tidak berubah, bahwa TUHAN, adalah bukit batuku, kubu pertahananku dan penyelamatku, Allahku, gunung batuku, tempat aku berlindung, perisaiku, tanduk keselamatanku, kota bentengku!
Saudaraku, Daud bersyukur kepada Allah karena Dia telah menyertainya dan memberi kemenangan dengan cara menjadi tempat perlindungan terkokoh bagi Daud. Semoga demikian juga dengan engkau dan aku. (Surhert)