MENJAGA IKATAN SUCI

MENJAGA IKATAN SUCI

Saudaraku, perceraian menjadi hal yang sering dan bahkan lazim dilakukan dalam masa digital ini.  Bahkan sekarang perceraian dapat terjadi karena masalah sepele.  Ternyata perceraian sejak masa Yesus sudah menjadi pembicaraan yang hangat.  Mari kita merenungkan  Markus 10:1-12.

Pembahasan tentang perceraian merupakan topik yang seru untuk dibicarakan pada masa Yesus sekaligus menjadi topik yang sensitif dan memiliki muatan politis.  Maka ketika para Farisi mengangkat topik perceraian, tujuannya memang satu yaitu menguji pemikiran Yesus yang bisa saja jawaban-Nya menjerumuskan diri-Nya sendiri.  Para guru Yahudi sudah membuat aturan berdasar pada Ulangan 24:1 yang mengatakan “Apabila seorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya,”  untuk menghalalkan perceraian.  Namun berdasar ayat tersebut yang Yesus menyatakan pandangan-Nya sendiri, yaitu:

  1.  Pernikahan adalah tanggung jawab bersama

Aturan pernikahan yang mendasarkan dari Ulangan 24:1 menunjukkan dominasi laki-laki dan menjadikan perempuan sebagai benda yang bisa dikembalikan ke rumah orangtuanya kapan saja. Bagi Yesus laki-laki atau perempuan diciptakan segambar dengan Allah (Kejadian 1:27, Markus 10:6) dan ketika menikah mereka menjadi pasangan yang bertanggung jawab dengan keputusan mereka sendiri (Kejadian 2:24, Markus 10: 7 dan 8).  Yesus menyatakan bahwa aturan yang berlaku saat itu berasal dari hukum Musa yang kondisional (Markus 10:5), sehingga banyak penyimpangan yang terjadi karena dominasi kaum laki-laki makin menjadi.  Yesus membela posisi perempuan dengan menempatkan pernikahan pada tempat yang sebenarnya.

  • Menjaga pernikahan adalah penghormatan kepada Tuhan

Pernikahan merupakan karya Allah ketika manusia menyatukan diri dalam sebuah komitmen dengan pasangannya (Markus 10 : 9), maka seorang laki-laki yang menceraikan  istrinya adalah orang yang tidak menghargai pekerjaan Tuhan.  Tuhan tidak pernah gagal dalam karya-Nya, termasuk menjodohkan manusia.  Egosentris manusialah yang membuat pekerjaan suci-Nya gagal dan terjadi perceraian.  Oleh karena itu setiap manusia yang menikah harus selalu sadar bahwa ada Tuhan dibalik perjodohan itu dan mempertahankan ikatan suci itu adalah bentuk penghargaan tertinggi kepada apa yang sudah dikerjakan Tuhan dalam hidup mereka.

Pandangan Yesus tentang perceraian memang berbeda dari pandangan para guru sezamannya dan bahkan hingga saat ini.  Bagi Yesus pernikahan bukan hanya berlangsung untuk kesenangan, transaksi atau berbagai motivasi yang egois.  Pernikahan itu kudus dan harus diperjuangkan bersama karena memiliki muatan yang holistis. Pernikahan bukanlah kehendak satu orang, namun kehendak tiga orang: Laki-laki, perempuan dan Tuhan. 

Siapa pun yang menikah mereka harus menyadari bahwa sejak pertemuan hingga menikah, semua terjadi karena izin dan pekerjaan Allah saja.  Kehadiran dan campur tangan Allah-lah yang membuat pernikahan memiliki nilai kekudusan. 

Selain memiliki muatan penghargaan antara laki-laki dan perempuan, pernikahan juga menampilkan wajah Allah di dalamnya.  Maka pernikahan harus diperjuangkan keutuhannya dan tidak gampang diceraikan karena egosentris manusia.  Karena menjaga komitmen pernikahan adalah penghormatan terhadap karya Allah sekaligus penghormatan kepada Pribadi-Nya maka suami istri harus berjuang bersama mempertahankan ikatan itu. Semua hanya untuk Tuhan saja.  Ya, untuk Tuhan.   Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)

Renungan Lainnya