Saudaraku, Pada suatu pagi yang tenang, seorang laki-laki berjalan sendirian di tengah padang pasir yang luas. Matahari mulai menyengat, dan rasa haus perlahan-lahan menggerogoti tenggorokannya. Di kejauhan, dia melihat kilauan air. Dengan penuh harap, dia bergegas menuju kilauan itu, berharap menemukan oase yang akan menyegarkan tubuhnya yang lelah. Namun, saat dia tiba, harapannya hancur. Kilauan itu hanyalah fatamorgana, ilusi yang menipu matanya. Tak ada air, hanya pasir yang semakin menambah rasa hausnya.
Kisah laki-laki di padang pasir ini bisa menjadi gambaran kehidupan banyak orang di zaman sekarang. Kita hidup di dunia yang menawarkan banyak sekali kilauan: Kekayaan, popularitas, dan kesenangan instan, yang terlihat seolah-olah bisa memuaskan kehausan kita. Namun, kenyataannya, semua itu seringkali berakhir seperti fatamorgana, meninggalkan kita dengan kehausan yang lebih dalam dan rasa kecewa yang tak terhindarkan.
Di dalam kitab Yeremia, Tuhan menyampaikan keluhan-Nya terhadap umat-Nya: “Sebab dua kali umat-Ku berbuat jahat: mereka meninggalkan Aku, sumber air yang hidup, untuk menggali kolam bagi mereka sendiri, yakni kolam yang bocor yang tidak dapat menahan air” (Yeremia 2:13).
Ayat tersebut menggambarkan bagaimana umat Israel, dalam upaya mereka mencari kepuasan, justru menjauh dari Tuhan dan memilih untuk menggali “kolam-kolam bocor” yang tak mampu memuaskan dahaga mereka.
Kolam-kolam bocor ini bisa berbentuk apa saja dalam hidup kita. Mungkin itu ambisi yang tak ada habisnya untuk mencapai puncak karier, keinginan untuk memiliki harta yang melimpah, atau pencarian tanpa akhir akan pengakuan dari orang lain. Kita mungkin berpikir bahwa jika kita bisa mencapai hal-hal ini, kita akan bahagia dan puas. Tetapi, seperti halnya laki-laki di padang pasir, kita seringkali menemukan bahwa apa yang kita kejar ternyata tidak lebih dari ilusi. Bukannya merasa puas, kita justru semakin haus, merasa ada yang kurang, dan akhirnya, kita hanya merasa lebih lelah dan hampa.
Namun, di tengah kehausan ini, ada kabar baik. Tuhan menyebut diri-Nya sebagai “sumber air yang hidup.” Dia adalah satu-satunya yang bisa benar-benar memuaskan kehausan terdalam dalam jiwa kita. Seperti yang dikatakan Yesus kepada perempuan Samaria di sumur, “Barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya” (Yohanes 4:14). Air kehidupan yang ditawarkan Tuhan ini bukanlah ilusi, melainkan sesuatu yang nyata dan kekal.
Mungkin dalam hidup kita, kita sudah terlalu sering menggali kolam-kolam bocor, berharap mendapatkan kepuasan dari hal-hal duniawi yang sementara. Tetapi, ketika kita berbalik kepada Tuhan dan minum dari air kehidupan-Nya, kita akan menemukan sesuatu yang jauh lebih besar. Kepuasan yang Dia berikan bukanlah sesuatu yang bisa ditemukan dalam kekayaan, ketenaran, atau hal-hal duniawi lainnya, melainkan kedamaian sejati, sukacita yang tak tergoyahkan, dan kasih yang tidak bersyarat.
Sebagai manusia, wajar jika kita merasa haus, baik secara fisik maupun rohani. Tetapi, penting bagi kita untuk menyadari ke mana kita mengarahkan kehausan itu. Apakah kita akan terus mengejar fatamorgana yang tidak pernah bisa benar-benar memuaskan, ataukah kita akan datang kepada sumber air yang hidup, yang siap memberikan kepuasan sejati?
Saudaraku, ketika kita memilih untuk menggali kehausan yang sejati, yakni mencari Tuhan dan mendekat kepada-Nya, kita akan menemukan bahwa apa yang kita butuhkan bukanlah hal-hal yang sementara, melainkan hubungan yang mendalam dengan Sang Pencipta. Di situlah kita akan menemukan air yang memuaskan, yang tidak pernah habis dan selalu tersedia, tidak peduli seberapa kering padang gurun kehidupan kita. (EBWR).