
Saudaraku, ada banyak alasan seseorang ‘melukai’ orang lain, baik secara verbal maupun fisik. Salah satu penyebabnya adalah luka hati yang belum tersembuhkan. Mari kita belajar dari kehidupan seorang perempuan yang terluka dengan membaca Kejadian 16 : 1-6.
Sarai digambarkan sebagai seorang perempuan yang cantik dan kecantikannya telah membius Abimelekh dan Firaun sehingga para penguasa ini patah hati dan mengusir Abram dan Sarai dari wilayah mereka. Walau Sarai sudah lama menjadi pusat perhatian para lelaki, namun diam-diam Sarai menanggung luka hati karena ia belum mampu memberikan keturunan untuk Abram. Karena saat itu anak adalah ukuran berkat Tuhan dan jaminan kelanggengan keluarga, maka tidak heran betapa terlukanya Sarai menghadapi kenyataan bahwa dia belum bisa memberi seorang putra mahkota untuk Abram. Sarai terikat dan tenggelam dalam luka hati itu sehingga ia pesimis dengan janji Tuhan (Kejadian 18:13) dan dengan caranya sendiri ia melakukan berbagai cara untuk merdeka dari luka hatinya (Kejadian 16:3). Sayangnya upaya Sarai untuk merdeka dari lukanya malah menjadi bumerang baginya. Kehamilan dan sikap arogan budaknya yang sengaja diberikan kepada Abram, sungguh memperdalam luka Sarai sehingga ia menggunakan kekuasaannya untuk mempersekusi sang budak hingga lari dari rumahnya (Kejadian 16:6). Sarai belum merdeka, esame melukai orang yang lebih lemah.
Salah satu ciri seorang yang merdeka adalah kemampuannya untuk berbesar hati menerima segala luka yang dimiliki. Menerima luka bukan berarti terbelenggu dengan luka itu, melainkan kesediaan menerima kerapuhan dirinya dan menyadari kebutuhan akan anugerah Tuhan yang mengisi ruang kosong yang ditimbulkannya. Menerima kerapuhan berarti memberi ruang kepada Tuhan yang pernah menjalani jalan penderitaan. Menerima kerapuhan dan mengisi ruang kosongnya dengan kasih Allah adalah kemerdekaan sejati karena lukanya sudah disembuhkan oleh cinta Allah yang pernah menempuh jalan kerapuhan untuk memberi anugerah bagi manusia. Mazmur 147 : 3 mengatakan,”Tuhan menyembuhkan orang yang patah hati, dan membalut luka-luka mereka.” Ketika kita sudah merdeka, maka tak lagi ada keinginan untuk melukai, apalagi mengalihkan rasa sakit kepada sesama yang lebih lemah. Sudahkah kita merdeka dari luka hati kita? Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)