Saudaralu, mari kita membaca dan merefleksikan surat Roma 12:15: “Bergembiralah dengan orang yang bergembira, dan berdukalah dengan orang yang berduka.”
Nasihat Rasul Paulus tersebut merangkum hakikat empati dengan mendorong kita untuk turut merasakan emosi orang lain, entah suka maupun duka, sehingga terjalin rasa kebersamaan dan keterhubungan yang mendalam.
Aku dan keluargaku baru saja menyelesaikan makan malam di sebuah rumah makan. Setelah membayar kami pun segera beranjak keluar. Kukatakan kepada suamiku untuk mampir di sebuah supermarket ada beberapa barang yang kuperlukan. Aku cukup sering berbelanja di toko ini, karena selain tidak jauh dari rumah, toko ini juga cukup lengkap. Karena itu, aku jadi sudah cukup hafal dan kenal dengan beberapa orang pramuniaga di toko ini.
Malam itu setelah mendapatkan semua barang yang kuperlukan, aku segera berjalan menuju kasir. Sampai di depan kasir aku baru sadar bahwa aku belum pernah melihat kasir ini sebelumnya. Dia begitu hati – hati dalam mengerjakan pekerjaannya. Hmm …, aku sudah bisa menebak ini pasti anak baru. Beberapa kali kesalahan saat memindai barcode tidak lepas dari pengamatanku. Beberapa barang belanjaanku seperti sabun dan shampo dimasukkan ke dalam plastik yang sama dengan makanan dan snack.
Kuingatkan dia sambil mulai membantu menata barang-barang itu serta memisahkan belanjaan yang memang tidak boleh dicampur dalam plastik yang sama. Aku bisa melihat sekali kegugupannya yang memang tidak akan bisa tersembunyikan. Sangat kentara. Sangat jelas.
Entah kenapa aku bisa membayangkan dan merasakan seandainya aku di posisi yang sama dengan gadis muda ini. Sambil menata, kutanya dia: “Baru ya?”. Sambil tersenyum dan masih gugup dia mengiyakan. Ini hari pertamanya bekerja sebagai kasir. Lalu setelah semua selesai dihitung, tanpa memerhatikan tas-tas belanjaan aku mengambil uang di dompet dan membayar. Biasanya tas-tas itu sudah dibawa oleh suami dan anak-anak ke mobil.
Pada saat inilah satu hal yang lucu terjadi! Setelah membayar aku langsung mengajak suamiku pergi meninggalkan toko. Aku pikir dia sudah memasukkan belanjaan ke mobil dan menyusul aku ke toko lagi. Lah kok ternyata malah dia bertanya “Belanjaannya mana?” “Loh … ???” Spontan aku melihat kasir baru tadi. Mendadak wajah polosnya panik dan dan mulutnya berteriak “Aduh, maaf sekali Bu, kok belanjaannya malah saya letakkan di bawah sini… *di bawah meja kasir*, Aduuh bagaimana sih saya ini…”
Melihat dia gugup dan sekarang terlihat takut-takut, sambil tersenyum kukatakan kepadanya: “Hei, tidak apa-apa ini hari pertama ya, tetap semangat, dan terus belajar, nanti pasti bisa dan tidak akan salah-salah lagi”. Kutepuk-tepuk tangannya untuk menenangkan. Bisa kulihat wajahnya yang panik dan takut mulai berangsur tersenyum: “Terima kasih Bu, iya saya akan belajar terus. Sekali lagi maaf untuk kesalahan ini”
Ada rasa haru menyelimuti hatiku, melihat gadis yang masih sangat muda itu. Dalam hati aku berdoa untuknya, supaya dia bisa belajar dengan baik dan mendapatkan tempat yang baik bagi masa depannya. Aku sebagai seorang Ibu, juga merasa diingatkan bahwa di masa depan anak-anakku juga akan melewati fase ini. Fase di mana mereka akan masuk ke dunia kerja dan tiba pada hal-hal baru yang belum pernah mereka injak sebelumnya.
Di dalam perjalanan kehidupan kekristenan yang sesungguhnya, pelajaran berempati seperti inilah yang seharusnya terus menerus dipraktikkan. Karena kita semua pasti pernah merasakan apa yang disebut dengan Pengalaman Pertama.
Pengalaman pertama, adalah fase di mana kita belum memahami hal yang harus kita kerjakan. Di mana kita akan mengalami dan melakukan banyak kesalahan. Di mana akan banyak tatapan sebelah mata, sindiran, bahkan juga kemarahan yang akan kita terima dari kesalahan-kesalahan tersebut.
Kita sungguh bersyukur, karena Kasih Kristus mengajar kita untuk berempati, belajar menempatkan diri di posisi mereka yang sedang berada di fase menjalani Pengalaman Pertama seperti gadis muda yang kutemui di toko malam ini.
Saudaraku, terkadang, tanpa sadar kita memandang sesuatu hanya melalui sudut pandang kita sendiri. Melihat gadis muda yang sedang belajar bekerja itu, bisa saja pikiran kita langsung menghakimi bahwa gadis itu tidak kompeten. Bahkan bisa terpikir, kok bisa-bisanya toko ini memilih pekerja yang kurang pintar. Kita lupa, bahwa dulu kita juga pernah berada di fase di mana kita juga tidak paham apa-apa. Perjalanan hiduplah yang memampukan kita melewati fase demi fase kehidupan.
Ekstra sekian menit yang kuhabiskan untuk mengajari dan menunggu gadis kasir baru itu menghitung belanjaanku, sangatlah kecil nilainya dibandingkan dengan senyum semangat yang terbangkitkan di wajah gadis muda berjilbab ini. Masih termemori dengan jelas, sesaat ketika aku meninggalkan meja kasir, sekali lagi kulihat dia. Dia sedang menghela nafas lega dan mengguman “Alhamdulilah” dengan senyum di bibirnya. “God bless her” batinku.
Selamat Berempati! Selamat membuat lebih banyak senyum di wajah-wajah anak muda yang sedang berjuang merenda masa depan mereka! (Novi Reksanto).