HOME SWEET HOME

HOME SWEET HOME

Saudara, aku ingin menyaksikan pekerjaan Tuhan bagi kelompok yang terpinggirkan di sekitar gereja kami. Sekitar awal 1986 gereja kami mulai merintis pelayanan cell group, khususnya untuk menjangkau keluarga-keluarga yang tinggal di gang-gang sempit di kawasan jalan Labu yang padat di belakang gereja. Mereka umumnya tinggal di rumah yang sederhana. Jalanan di depan rumah hanya cukup untuk berpapasan becak dan gerobak tukang sayur. Got yang sering mampat dan bau, juga beberapa kali saat hujan deras pasti banjir menggenang.

Pernah ada beberapa anggota jemaat yang mencoba pelayanan ke mereka, membagikan sembako dan mengajak ke gereja, namun nyaris nihil. Mereka minder bila mesti datang ke gereja di hari Minggu, karena mungkin tidak memiliki pakaian yang warnanya cerah tidak pudar, juga mungkin lebih banyak yang pakai sandal jepit atau sandal Asahi, sandal dari plastik yang dipakai asal kaki diselobokkan saja. 

Sementara angota gereja banyak yang datang memakai mobil maupun motor, dan yang kaum perempuan mungkin memakai parfum yang baunya dapat dibaui dalam jarak 2 meter. Tentu ada perbedaan strata sosial dan ukuran kantong …

Namun bagaimanapun setiap jiwa dipandang sangat berharga oleh Tuhan, tapi bagaimana menjangkau mereka? Ini yang perlu dipikirkan dan direnungkan.

Suatu hari ada seorang encik usia 50 tahun lebih, ibu Chai Mei, seorang janda yang baru ditinggal mati oleh suaminya. Saat dia mengalami kesusahan, ada beberapa anggota gereja yang mengenalnya melayat, dan ibu Chai Mei terkesan sekali dengan perhatian yang diberikan. 

Kemudian dia percaya pada Tuhan dan mengatakan kepada bapak Gembala Sidang bahwa dia ingin mempersembahkan rumah sederhana yang disewanya agar dapat dijadikan tempat pelayanan bagi tetangga sekitarnya. Ada sebuah peluang yang baik, namun bagaimana strategi yang mesti dipilih, karena tingkatan sosial dan budaya lingkungan yang akan dilayani berbeda dengan kondisi jemaat.

Beberapa orang guru Sekolah Minggu (SM) yang aktif di Komisi Pemuda mengambil kesempatan ini, mereka dari kalangan menengah saja, menjadi guru SM biasa blusukan ke rumah murid-murid membawa gitar mengajak memuji Tuhan, juga kalau ngomong ya pakai bahasa yang mudah dimengerti. Ternyata kehadiran anak-anak muda ini mudah diterima oleh ibu Chai Mei dan tetangganya, ngobrol dengan bahasa sehari-hari, mengajak menyanyi gembira memuji Tuhan dengan bertepuk tangan, dan Firman Tuhan juga disampaikan oleh para guru SM ini, bukan oleh rohaniwan yang mungkin memakai istilah-istilah teologi yang rumit.

Hadirin yang datang mencapai 25 orang kadang lebih, dari kalangan tua maupun anak muda, sedangkan tim yang berkunjung 3-5 orang, ruangan yang sempit, tidak cukup meskipun duduk di tikar hampir jongkok. Jadilah seminggu dua kali diadakan persekutuan, jadi semua dapat hadir. Dari rumah kontrakan sederhana dan sempit akhirnya menjadi “home sweet home” bagi warga, karena dari tempat ini dapat mendengarkan berita tentang keselamatan dan penebusan Tuhan Yesus untuk umat yang berdosa. Dan dari rumah ini pula timbul kerinduan dan keberanian dari warga untuk datang beribadah di gereja pada hari Minggu, khususnya di kebaktian pagi jam 6.30 dan jam 18.00 petang.

Berjalan beberapa bulan, beberapa warga yang hadir tergerak ikut kelas katekisasi. Gembala Sidang dengan senang segera mengadakan kelas khusus katekisasi, tidak menunggu berlama-lama sesuai jadwal regular katekisasi yang rutin diadakan setahun 2 kali. Akhirnya pada tanggal 7 Desember 1986 Gembala Sidang dapat membaptis  22 orang anggota persekutuan jalan Labu dalam Kebaktian Minggu di gereja jam 6.30 dan 18.00. Inilah awal cell grup yang ada di gereja kami.

Saat acara baptisan jam 18.00 aku berkesempatan menjadi juru foto baptisan. Foto anggota baptisan dengan Gembala Sidang dan Ibu ternyata menjadi salah satu foto paling bersejarah di gereja kami, karena menunjukkan bagaimana Tuhan juga mengasihi warga dari kalangan sosial yang berbeda dan kemudian para warga ini ternyata dapat bergaul dengan anggota jemaat yang ada. 

Saudaraku, jadi foto sejarah gereja bukan tentang gedung gereja yang dibangun atau peresmian, atau pas ada retret atau KKR, tapi foto baptisan. Beberapa puluh tahun kemudian aku juga melihat foto ini disimpan oleh Pak Gembala Sidang di salah satu albumnya, sebagai kenangan yang manis dalam perjalanannya sebagai Hamba Tuhan.

Oh ya, mari kita hayati dengan mendalam penggalan perumpamaan yang dituturkan oleh Tuhan Yesus: “Siapakah di antara kamu yang mempunyai seratus ekor domba, dan jikalau ia kehilangan seekor di antaranya, tidak meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di padang gurun dan pergi mencari yang sesat itu sampai ia menemukannya?” (Lukas 15:4). 

Selamat HUT Ke-52 Yayasan Christopherus. Pf.: 3 Mei 2024.  Dukunglah pelayanan Yayasan Christopherus dengan DOA, DANA, dan KARYA. (Surhert).

Renungan Lainnya