Saudaraku, mari kita membaca dan merenungkan Injil Lukas 7:47: Sebab itu Aku berkata kepadamu: “Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih.”
Setiap orang menyimpan luka dalam hati. Bukan hanya luka fisik yang tampak di permukaan, tetapi juga luka batin yang tersembunyi di balik senyuman, memengaruhi emosi dan kehidupan sosial kita. Luka ini bisa berasal dari banyak sumber: Keluarga yang tak harmonis, tekanan dari masyarakat, lingkungan sekolah yang penuh persaingan, atau dunia kerja yang sering kali keras. Bahkan di tempat yang seharusnya membawa damai, seperti gereja, kita bisa terluka oleh perpecahan atau ketidakpedulian. Luka-luka ini, jika tidak dihadapi, akan mengendap menjadi rasa sakit, kepahitan, dan kesendirian yang sulit diobati.
Kita sering melihat orang yang terluka secara emosional atau sosial dalam kehidupan sehari-hari. Di tempat kerja, seseorang mungkin merasa tak dihargai atau diperlakukan tidak adil. Dalam keluarga, seorang anak mungkin tumbuh tanpa cinta yang cukup, atau pasangan suami-istri terjebak dalam konflik yang tak berujung. Bahkan di gereja, jemaat bisa merasa diabaikan karena perbedaan pandangan. Luka-luka ini meninggalkan bekas mendalam yang menghambat hubungan kita dengan sesama, dan bahkan dengan Tuhan.
ketika kita terluka, sering kali respons pertama kita adalah menutup hati. Kita meragukan kasih Tuhan dan kehadiran-Nya, merasa sendirian dalam kesakitan. Luka yang tidak pernah diakui atau dihadapi akhirnya menahan kita dari pertumbuhan rohani dan membatasi kasih yang bisa kita berikan kepada orang lain. Di sinilah kita diajak untuk membuka hati, sebab HANYA HATI YANG TERBUKA YANG BISA DISEMBUHKAN.
Saudaraku, Injil Lukas 7:36-50 menghadirkan kita pada kisah seorang perempuan yang hidupnya penuh luka, banyak yang percaya dia adalah Maria Magdalena. Sebagai seorang pendosa, Maria telah dipandang rendah oleh masyarakat. Luka sosial yang ia derita mendalam, namun Maria berani membuka hatinya. Dengan air mata penyesalan, dia mendekati Yesus, mencurahkan minyak wangi di kaki-Nya, membasuhnya dengan air matanya, dan menyeka dengan rambutnya. Sikapnya menunjukkan hati yang benar-benar terbuka, penuh kerinduan akan pengampunan dan kasih.
Yesus, alih-alih menghakimi, justru menerima dan menyembuhkan (Lukas 7:47). Tindakan Maria menunjukkan bahwa luka yang terbuka di hadapan Tuhan dapat menjadi jalan untuk pemulihan. Pengampunan yang Yesus berikan bukan hanya menghapus dosanya, tetapi juga menyembuhkan luka emosional dan sosial yang selama ini menghantuinya.
Kisah ini mengajarkan kita bahwa luka, jika DIBUKA di hadapan Tuhan, dapat menjadi SUMBER KASIH dan PEMULIHAN. Ketika kita berusaha menyembunyikan luka-luka kita, kita membiarkannya semakin dalam dan menyakitkan. Tetapi saat kita membuka diri, seberapa pun rapuhnya, Tuhan akan merespons dengan kasih yang menyembuhkan.
Langkah pertama menuju pemulihan adalah menyadari dan mengakui luka-luka itu, sebagaimana Maria membuka hatinya di hadapan Yesus.
Selain mengakui, kita juga perlu percaya bahwa Tuhan mampu menyembuhkan. Dunia mungkin menolak kita, tetapi Tuhan selalu hadir dengan tangan terbuka. Ketika orang lain menghakimi atau menolak kita, pengampunan Tuhan melampaui semua penilaian manusia. Seperti Maria yang menemukan kebebasan dalam pengampunan Kristus, kita pun bisa menemukan kebebasan dari luka-luka kita jika kita membuka hati kepada-Nya.
Saudaraku, tak hanya kepada Tuhan, kita juga harus membuka hati kepada sesama. Luka yang kita alami sering kali membuat kita lebih peka terhadap penderitaan orang lain. Tuhan memanggil kita untuk menjadikan luka kita sebagai pintu masuk bagi kasih yang lebih besar, bukan membiarkan luka itu memupuk kebencian. Mengampuni orang yang telah melukai kita adalah bagian dari proses penyembuhan itu. Ketika kita bisa mengampuni, kita mengambil bagian dalam misi Kristus untuk memulihkan dunia ini, satu hati yang terluka pada satu waktu.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa mulai dari hal-hal kecil. Perhatikan mereka yang terluka di sekitar kita, di rumah, di tempat kerja, di sekolah, atau di gereja. Sebuah kata penguatan, telinga yang mendengar, atau pelukan hangat bisa menjadi bentuk kasih yang mengalir dari hati yang telah disembuhkan Tuhan.
Saudaraku, kita semua diundang untuk terus membuka hati, kepada Tuhan dan kepada sesama. Dalam keterbukaan itu, kita akan menemukan bahwa luka-luka yang kita alami, dengan kasih Tuhan, dapat menjadi sumber kekuatan dan kasih yang menyembuhkan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. (EBWR)