HARAPAN DALAM KEMALANGAN

HARAPAN DALAM KEMALANGAN

Saudaraku, manusia cenderung menolak hal-hal yang buruk dan menganggapnya sebagai hukuman bila ia mengalaminya.  Rasa trauma ini membuat manusia juga menilai kondisi sesamanya saat mereka dalam masa sulit dan bahkan tak jarang memberikan vonis kepada yang mengalami kemalangan.  Mari merenungkan Yohanes 9:1-3 untuk melihat sikap unik Yesus kepada mereka yang tertimpa kemalangan.

Menyandang disabilitas dianggap sebuah kemalangan.  Pada zaman Yesus menjadi seorang difabel memiliki beban yang bertumpuk.  Ia dianggap sebagai seorang yang tidak diberkati karena ia tidak bisa beribadah di Bait Suci dan dianggap menanggung akibat dosa yang dilakukannya atau dilakukan orangtuanya.  Penyandang disabilitas akan dilarang untuk dapat mengunjungi Bait Suci sehingga mereka terdiskriminasi.  

Mereka menderita lahir dan batin.  Sang difabel yang dituliskan dalam Yohanes 9:1-7 agaknya berada dalam lingkungan Bait Allah dan meminta-minta di sana.  Ia berada begitu dekat dengan rumah Allah namun seakan ia tidak layak menerima berkat karena disabilitas yang disandangnya.  Ia tunanetra sehingga bahkan ia tak bisa melihat Bait Suci sejak lahirnya.  

Padahal bagi orang Israel, melihat Bait Suci adalah berkat yang luar biasa.  Maka para murid menanyakan hal yang sangat krusial kepada Yesus: Siapa yang melakukan dosa sehingga orang ini mengalami kemalangan seumur hidupnya?   Jawaban Yesus memberikan pembelajaran kepada para murid bahwa :

  1. Kemalangan bukan vonis akhir manusia.

Penderitaan adalah realitas manusia dan setiap manusia tidak menginginkan untuk berada di dalamnya namun manusia harus siap menghadapi kemalangan saat ia tiba.  Pertanyaan para murid tentang siapa yang bertanggung jawab dengan kondisi si difabel, menunjukkan pandangan umum masyarakat Yahudi yang menganggap penderitaan selalu diakibatkan dosa baik keluarganya atau pun yang bersangkutan sendiri.  

Maka Yesus membuka opsi ketiga dari pertanyaan para murid dengan mengatakan  bahwa ada Allah dibalik penderitaan itu untuk menyatakan diri-Nya.  Maka sebaiknya para murid tidak menyalahkan siapa pun atas kemalangan orang lain dan menjatuhkan vonis atas mereka. 

  1. Allah bekerja dalam kemalangan.

Dalam opsi ketiga yang diucapkan Yesus, Ia hendak menyatakan bahwa pekerjaan Allah tidaklah bergantung pada kondisi manusia.  Siapa yang bisa menyembuhkan orang buta sejak lahirnya?  Namun Yesus mengatakan bahwa Allah bisa bekerja untuk menyatakan kemuliaan kepada apa yang dianggap mustahil oleh manusia.  Dalam penderitaan yang terberat seumur hidup seperti yang dialami difabel pengemis itu, masih ada Allah yang bekerja baginya dan semuanya bertujuan supaya Allah dimuliakan.

Sebagai guru, Yesus mengajar para murid sebuah hal baru bahwa ada harapan dalam kemustahilan dan bahwa pekerjaan Allah tidak dapat dihalangi oleh apa pun termasuk kemalangan.  Maka manusia yang memercayai pekerjaan Tuhan yang tak terbatas akan memiliki optimisme dalam setiap masa sulitnya karena Allah saja.  

Para murid diajar untuk tidak saling menghakimi dan bahkan memberikan vonis akhir pada kemalangan sesamanya karena Allah bisa mengubah kemalangan menjadi sukacita pada waktu yang tepat dan dengan berbagai cara.  

Saudara, mari BELAJAR MENAHAN DIRI  dari memberikan nilai buruk yang permanen kepada sesama karena Allah sanggup mengubah KEMALANGAN  menjadi HARAPAN.  Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)

Renungan Lainnya