GALILEA? MENGAPA TIDAK?

GALILEA? MENGAPA TIDAK?

Saudaraku, tidak banyak orang yang mau mengangkat nama daerah yang kecil, tidak dikenal dan bahkan tidak memiliki reputasi yang baik.  Namun Allah memilih menggunakan daerah itu untuk menjadi bagian dari rencana penyelamatan agung.  Mari hari ini  kita melanjutkan belajar dari Injil Matius dengan merenungkan Matius 2:19-23.

Ketika Yusuf ayah Yesus disuruh Allah untuk membawa kembali keluarganya dari pengungsian di Mesir, ia memilih Galilea sebagai tempat domisilinya karena alasan keamanan, karena Arkhelaus telah menjadi Raja baru di Yudea dan ia dikenal sebagai raja yang memberatkan hidup rakyat. Keluarga ini memulai kehidupan baru di kota itu hingga Yesus dewasa sehingga Ia menyandang status sebagai Orang Nazaret (Matius 2 : 24) atau Orang Galilea (Yohanes 1:46, Yohanes 7: 41, Yohanes 7 : 52).

Dikenal sebagai orang Galilea tidak terlalu menyenangkan karena pada masa Yesus hidup, orang Yahudi Galilea dikenal sebagai orang yang kurang terdidik dan kurang terhormat dibandingkan daerah lain.  Galilea juga menjadi tempat pertemuan berbagai bangsa, sehingga kerohanian orang Yahudi asal Galilea diragukan.  Walaupun begitu, Allah mengizinkan Yusuf membawa-Nya ke Galilea, daerah yang dianggap sinis oleh orang Yahudi sendiri.  Bahkan Yesus tidak keberatan dibesarkan di daerah itu, di Nazaret.

Ada dua hal yang bisa direnungkan dari ayat-ayat ini :

  1. Allah tidak dibatasi oleh stereotipe buatan manusia.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, stereotipe adalah prasangka yang didasarkan pada penilaian atau anggapan berdasarkan perilaku orang lain.  Seperti Yesus yang berasal dari Galilea, maka Natanael yang sangat Yahudi itu menyikapi sinis saat pertama bertemu dengan-Nya (Yohanes 1:46).  Natanael berpikir Yesus akan sama dengan Yahudi Galilea yang lain, padahal Yesus berbeda.  Mengapa Yesus tidak dibesarkan di Provinsi Yudea saja supaya lebih mudah bagi-Nya mengabarkan tentang Kerajaan Allah?  Karena stereotipe tidak dapat membelenggu karya Allah untuk menyelamatkan manusia. Allah tidak menciptakan stereotipe maka Ia tidak dibatasi olehnya.  Buktinya hingga akhir hayatnya Natanael yang juga Bernama Bartolomeus itu tetap mengikut Yesus sampai akhir dan bahkan menurut tradisi gereja ia meninggal sebagai martir. 

  • Apa yang dianggap tidak layak, bisa menjadi alat yang baik untuk Kerajaan Allah.

Yesus tidak keberatan memulai pekerjaan dari Nazaret. Walaupun sepertinya orangtuanya mengambil keputusan yang darurat saat memilih Nazaret untuk menjauhi Raja Arkhelaus, namun ternyata memang itu adalah bagian dari rencana Tuhan.  Penghinaan terhadap Galilea tidak akan menyurutkan rencana Allah yang besar untuk umat manusia.  Allah mampu untuk memakai apa yang dianggap hina untuk sebuah karya yang besar.

Dari perenungan ini ada beberapa hal yang bisa dipikirkan bersama :

  1. Apakah kita masih terkungkung dengan stereotipe dan menilai sesama berdasarkan hal itu?
  2. Yakinkah kita bahwa Tuhan sanggup mengangkat yang hina menjadi yang mulia?
  3. Beranikah kita menanggalkan stereotipe dan menilai sesame dengan anugerah Allah?

Kiranya apa yang dilakukan Allah membuat kita mengikuti jejak-Nya dan memberanikan kita untuk lepas dari belenggu stereotipe dalam menilai diri sendiri dan orang lain. Tuhan memberkati. Selamat bertumbuh dewasa.  (Ag)

Renungan Lainnya