Saudaraku, renungan kali ini saya tulis berdasarkan 1 Raja-Raja 19:4 dan 12.
Dalam dunia yang serba cepat ini, kita sering kali tenggelam dalam overthinking, terus memikirkan masalah hingga semuanya terasa lebih besar dari yang sebenarnya. Kita terjebak dalam kekhawatiran dan skenario terburuk yang belum tentu terjadi. Padahal, semakin kita memikirkannya, semakin kita kehilangan ketenangan. Bagaimana jika kita, seperti Elia, bisa belajar untuk berhenti sejenak dan memercayai Tuhan di tengah semua kebingungan?
Elia, seorang nabi yang penuh kuasa, baru saja menyaksikan kemenangan besar di Gunung Karmel, ketika Tuhan membuktikan diri-Nya lebih besar dari Baal. Namun, tak lama setelah itu, ancaman Izebel membuatnya lari ketakutan. Di tengah ketakutannya, Elia duduk di bawah pohon arar dan meminta Tuhan untuk mengakhiri hidupnya. “Cukuplah itu, ya Tuhan, ambillah nyawaku”, katanya dalam keputusasaan (1 Raja-Raja 19:4). Elia yang berani ini, tiba-tiba terjebak dalam overthinking, merasa kalah dan tidak berguna, meskipun baru saja meraih kemenangan besar.
Sering kali, kita pun terjebak dalam pola yang sama. Kita merasa takut dan tidak berharga ketika dihadapkan pada masalah yang tampak besar. Pikiran kita dipenuhi kecemasan, dan kita lupa bahwa Tuhan yang menyertai kita kemarin masih ada bersama kita hari ini. Seperti Elia, kita sering melupakan siapa yang berdaulat di tengah badai kita. Ketakutan dan overthinking membuat kita buta terhadap kuasa Tuhan.
Namun, Tuhan tidak meninggalkan Elia dalam keadaan putus asa. Dia tidak muncul dalam gemuruh angin, gempa, atau api, melainkan dalam suara angin sepoi-sepoi (1 Raja-Raja 19:12). Tuhan mengingatkan Elia, dan juga kita, bahwa Dia hadir dalam keheningan, bukan dalam kebisingan. Di tengah kekacauan pikiran dan kecemasan, Tuhan berbicara dengan lembut, memberi kita ketenangan.
Pelajaran ini sangat relevan bagi kita hari ini. Kita hidup dalam dunia yang bising, di mana segala sesuatu bergerak cepat dan sering kali membuat kita terjebak dalam overthinking. Namun, Tuhan memanggil kita untuk berhenti sejenak, tenang, dan mendengarkan suara-Nya. Dia mengajarkan kita bahwa kepercayaan kepada-Nya tidak memerlukan kepanikan atau usaha berlebihan, melainkan keyakinan bahwa Dia bekerja dalam cara yang mungkin tidak selalu terlihat.
Jadi, bagaimana kita mengatasi overthinking dalam hidup sehari-hari? Pertama, KITA HARUS MENGALIHKAN FOKUS KITA, dari masalah yang tampak besar ke Tuhan yang lebih besar. Ketika pikiran kita dipenuhi dengan kecemasan, kita harus memilih untuk menyerahkan kekhawatiran kita kepada Tuhan. Elia merasa sendirian, tapi Tuhan memberitahunya bahwa masih ada ribuan orang yang setia. Ini mengingatkan kita bahwa meskipun kita merasa terisolasi dalam masalah kita, Tuhan selalu memiliki rencana, dan kita tidak pernah benar-benar sendirian.
Kedua, KITA HARUS MENDENGARKAN TUHAN DALAM KETENANGAN. Dalam dunia yang sibuk, kita cenderung mencari jawaban dalam kebisingan, lebih banyak kerja, lebih banyak analisis, lebih banyak usaha. Namun, Tuhan mengundang kita untuk berhenti dan mendengarkan. Dalam momen tenang itu, kita dapat merasakan kehadiran-Nya yang memberi damai. Overthinking hanya akan membawa kita lebih jauh dari Tuhan, tetapi kepercayaan pada-Nya membawa kita mendekat pada ketenangan sejati.
Ketiga, KITA HARUS PERCAYA PADA RENCANA TUHAN, bahkan ketika kita tidak mengerti semua detailnya. Elia merasa segalanya sudah berakhir, tapi Tuhan masih memiliki rencana besar untuknya. Begitu juga dengan kita. Ketika kita merasa tidak ada jalan keluar, Tuhan sedang bekerja dalam keheningan. Dia memanggil kita untuk percaya, untuk melepaskan kendali, dan membiarkan Dia memimpin.
Kisah Elia mengajarkan bahwa overthinking adalah lawan dari iman. Ketika kita terus memikirkan semua yang bisa salah, kita lupa bahwa Tuhan yang berkuasa. Namun, ketika kita menyerahkan kekhawatiran kita kepada Tuhan dan memilih untuk percaya, kita menemukan ketenangan. Seperti Elia, kita dipanggil untuk berhenti sejenak dan mendengarkan suara Tuhan yang lembut di tengah kekacauan pikiran.
Percaya kepada Tuhan tidak berarti kita memahami segala sesuatu; itu berarti kita berserah, bahkan ketika jalan di depan kita tampak gelap. Tuhan tidak hanya bekerja dalam hal-hal besar, tetapi juga dalam momen-momen kecil yang penuh kedamaian. Di tengah badai pikiran kita, Dia memanggil kita untuk percaya, berhenti overthinking, dan menemukan damai dalam hadirat-Nya. (EBWR).