Hari Minggu kemarin saya dan istri makan siang di sebuah restoran di bilangan PIK, ruang resto tidak begitu besar, jadi meja makan antar pengunjung relatif dekat hanya muat untuk satu orang jalan. Di sebelah saya duduk satu keluarga, suami istri dan dua anaknya yang nampak remaja, sepanjang makan sepertinya makan namun tidak menikmati atau gimana, pokoknya sambil main handphone. Yang dua anak pakai Iphone, papanya pakai S dan mamahnya pakai Flip. Begitulah, satu keluarga santap bersama, tidak saling menegur, matanya hanya ke handphone.
Pada waktu aku ke kasir untuk membayar, ternyata Si Ibu di meja sebelah menanya ke istriku dalam bahasa Mandarin, “Asalmu dari mana?” Mungkin melihat tampilan istriku yang biasa-biasa dan kami saat santap sama sekali tidak menatap handphone, mungkin dianggap tidak punya handphone atau gaptek atau aneh. Istriku menjawab, dari Jawa Tengah, juga dalam bahasa Mandarin. Eh Si Ibu yang bertanya malahan nyeletuk, juga pakai bahasanya: “Eh kamu datang jauh-jauh ke Jakarta bawa uang banyak ndak?”
Istriku hanya tersenyum lalu berdiri keluar resto, kebetulan chef resto ada di pintu keluar, asli dari daratan, aku dan istri ajak ngomong sebentar kalau masakannya enak, pakai Mandarin. Keluarga yang nanya-nanya tadi melihat saja, mungkin mikir ini dua orang yang tidak bawa duit banyak ke Jakarta ternyata bisa juga bahasa Mandarin ya.
Yah itulah secuplik kehidupan di sebuah penggalan kota Jakarta yang keras, yang katanya lebih kejam dari ibu tiri. Ada kelompok orang yang memandang kita dari tampilan, dari handphone yang dibawa, dari baju yang dipakai, dari mobil yang dikendarai, dan apakah mampu berbahasa seperti bahasa asal kampungnya, yang terutama, jauh-jauh datang ke Jakarta bawa uang banyak ndak?
Semoga gaya hidup semacam ini tidak menular ke gereja kita, maunya melihat siapa yang datang, tampilannya gimana, dan kalau duitnya banyak dan sering menyumbang, pasti didekati banyak pengurus dan rohaniwan, ditarik-tarik menjadi aktivis dan panitia. Latar utamanya, ya banyak duit.
Minggu pagi kemarin di gereja pak Pendeta dari gereja lain yang khotbah bilang ada kesaksian satu orang jemaatnya yang dulu-dulunya hampir 20 tahun kerja di nightclub, keuangannya melimpah, hingga suatu hari di KKR di gereja mendapat teguran Roh Kudus atas pekerjaannya.
Dia mundur dari nightclub, lalu coba melamar ke berbagai kantor dan instansi, tidak ada yang mau menerima, keuangannya menipis, hingga akhirnya jualan roti-roti dan krupuk di foodcourt. Hingga suatu hari ketemu dengan mantan pelanggannya di nightclub, yang menawarkan adanya pekerjaan di nightclub yang baru dibukanya, gajinya lebih tinggi.
Tapi orang ini menolak, dan berani menyaksikan bagaimana kasih Tuhan meskipun kekurangan uang, tapi dia bisa lebih akrab dengan anak istri, tidak seperti dulunya setiap sore hingga pagi malahan berangkat kerja di nightclub dan tidak pernah ketemu keluarga.
Memang di kehidupan sehari lebih banyak orang yang memandang kita dari seberapa banyak uang yang kita miliki, seberapa sukses posisi kita di masyarakat, bukan seberapa dekatnya iman dan kepercayaan kita kepada Tuhan. Nampaknya kepemilikan tentang uang menjadi tolok ukur dalam kehidupan, jadi uang menjadi dewa atau raja kehidupan.
Tuhan Yesus sendiri pernah mengatakan, “Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” (Lukas 16:13)
Saudaraku, Tuhan Yesus tidak mengatakan: kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Iblis – atau menjadi pengadi setan, seperti di film tempo hari.
Jadi yang menjadi persaingan sebagai penguasa agung yang mesti disembah saat ini yakni antara Tuhan melawan Mamon sebagai pesaingnya. Mamon ini dewa baru, tidak ada di zaman Perjanjian Lama, juga di kitab Wahyu tidak disebut lagi Si Mamon ini. Namun di Perjanjian Baru, Mamon atau μαμμωνᾷ (bahasa Yunani) dibaca mammoná artinya kekayaan, umumnya dianggap berarti uang, kekayaan materi, atau entitas apa pun yang menjanjikan kekayaan, dan dikaitkan dengan keserakahan dalam mengejar keuntungan.
Karena banyak ajaran Kristen yang mengajarkan bahwa Tuhan itu sumber berkat, sumber kekayaan, persembahanmu itu bagaikan kamu menabur di padang dan kelak akan menuai 30 kali lipat, bahkan bisa 100 kali lipat, maka dekat dengan Tuhan berarti dekat dengan sumber dan janji kekayaan. Inilah, Tuhan bukan lagi sebagai sumber keselamatan tapi sudah menjadi sumber berkat, terutama uang, bahkan menjadi dewa uang.
Jadi saingan Tuhan hari ini bukanlah Si Iblis, tidak ada orang yang mau mengejar dan mengikut Iblis, kecuali di film-film horor, tapi semakin banyak orang yang dengan sukarela mau menjadi pengikut Mamon yang menjanjikan kekayaan materi, mau mengorbankan waktu, keluarga, bahkan kesehatannya dan dirinya, demi mendapatkan Mamon yang lebih banyak.
Saudaraku, coba jawab dengan jujur: “Kita masing-masing ada di pihak yang mana? Tuhan atau Mamon?” (Surhert)