SUKACITA MENJADI ANAK-ANAK ALLAH

Albert Schweitzer, seorang dokter, teolog, dan musisi terkenal, meninggalkan kehidupannya yang nyaman di Eropa untuk melayani di Afrika. Ketika ditanya mengapa ia rela meninggalkan semua itu, ia menjawab, “Saya tidak melakukan ini untuk penghargaan manusia. Saya melakukannya karena saya tahu saya anak Allah, dan kasih itu memanggil saya untuk membagikannya.” Meski menghadapi kesulitan di lingkungan yang serba terbatas, Schweitzer selalu memancarkan sukacita dalam pelayanannya karena ia tahu hidupnya memiliki tujuan yang kekal. Sebagai anak-anak Allah, kita telah menerima kasih yang luar biasa kasih yang mengubah segalanya. Ayat ini mengingatkan kita bahwa menjadi anak Allah merupakan status istimewa yang diberikan oleh kasih karunia-Nya, bukan usaha kita. Dunia mungkin tidak memahami panggilan hidup kita, tetapi kita tahu bahwa identitas kita berasal dari Allah sendiri.  Sukacita kita tidak ditentukan oleh keadaan, tetapi oleh hubungan kita dengan Bapa.  1 Yohanes 3:1 mengatakan, “Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah. Karena itu dunia tidak mengenal kita, sebab dunia tidak mengenal Dia.” Ketika kita memahami betapa besar kasih-Nya, kita akan memiliki kekuatan untuk menghadapi segala situasi dengan hati yang penuh sukacita dan syukur. Seperti Albert Schweitzer, kita dipanggil untuk membagikan kasih itu, bahkan di tempat yang sulit, karena itulah bagian dari hidup sebagai anak-anak Allah. Sebagai anak Allah, sukacita sejati tidak bersumber dari keadaan, melainkan dari hubungan yang intim dengan Bapa. Kasih-Nya yang besar memberi makna dan kekuatan, bahkan dalam keadaan sulit karena sukacita menjadi anak Allah bukanlah sesuatu yang ditemukan di luar, tetapi lahir dari hati yang mengenal kasih Bapa.(sTy)

SUKACITA DALAM RELASI DENGAN ALLAH

Helen Keller, seorang tunanetra dan tunarungu, pernah berkata, “Kebahagiaan sejati tidak bergantung pada keadaan luar, melainkan berasal dari keadaan batin.” Meski hidupnya penuh keterbatasan namun Helen Keller menemukan sukacita dalam hubungannya dengan Tuhan dan orang-orang di sekitarnya. Ia percaya bahwa setiap tantangan yang dihadapinya merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam keterbatasan, ia menemukan makna hidup yang mendalam. Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya sebagaimana tercatat dalam  Yohanes 16:11b (TB)  “… karena penguasa dunia ini telah dihukum.”. Itu merupakan pernyataan kemenangan bahwa kuasa kegelapan telah dikalahkan oleh karya Kristus di atas kayu salib, maka hubungan kita dengan Allah memberi kita penghiburan dan sukacita yang melampaui keadaan duniawi.  Sukacita dalam hubungan dengan Allah tidak bergantung pada situasi yang kita hadapi. Sama seperti Helen Keller yang menemukan damai dalam keterbatasannya, kita pun dapat merasakan sukacita sejati saat kita menyadari bahwa Allah telah mengalahkan segala sesuatu yang berusaha memisahkan kita dari-Nya. Sukacita ini merupakan anugerah yang diberikan kepada mereka yang percaya kepada-Nya dan hidup dalam kebenaran-Nya. Dalam setiap pergumulan, kita dipanggil untuk kembali mengingat bahwa Tuhan Yesus telah menang. Hubungan kita dengan Allah bukan hanya membawa pengampunan, tetapi juga mengisi hati kita dengan damai yang melampaui segala pengertian. Hubungan yang erat dengan Allah membawa sukacita yang tidak tergantung pada keadaan duniawi. Saat kita menyadari bahwa kuasa kegelapan telah dikalahkan, kita dapat hidup dalam damai dan menjadi saluran sukacita bagi dunia di sekitar kita. (sTy)

MELANGKAH DENGAN HARAPAN

Di tahun 1871, Chicago dilanda kebakaran hebat yang memusnahkan sebagian besar kota. Dalam kebakaran itu, seorang pengacara sukses bernama Horatio Spafford kehilangan hampir seluruh asetnya. Belum pulih dari kejadian tersebut, ia kehilangan empat putrinya dalam kecelakaan kapal saat mereka menuju Eropa. Dalam perjalanan melintasi samudra untuk menyusul istrinya yang selamat, Horatio menulis lirik lagu yang menjadi terkenal hingga kini: It is Well with My Soul (Tenanglah Jiwaku). Meski di tengah kehilangan, ia tetap menemukan pengharapan dalam Tuhan. Amsal 3:5 berkata,“Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.”.  Ayat ini mengingatkan setiap orag percaya untuk berani mempercayakan jalan hidupnya dengan utuh kepada Tuhan, meskipun situasi di depan terlihat gelap dan tidak pasti. Seperti Horatio, melangkahlah dengan keyakinan bahwa Tuhan memiliki rancangan yang baik, bahkan di tengah penderitaan sekalipun. Tahun baru tak hanya membawa harapan, namun juga kecemasan akan hal-hal yang tidak pasti. Ketika orang percaya memilih untuk bersandar kepada Tuhan, ia tidak hanya mendapat kekuatan untuk melangkah, tetapi juga damai yang melampaui segala akal.  Mari memulai tahun baru dengan penuh percaya dan mengijinkan Tuhan melatih iman anak-anakNya. Seperti sebuah kapal yang berlayar di tengah badai, hidup  orang yang berani berserah akan lebih kokoh jika menjatuhkan jangkar dan menambatkannya pada Tuhan, sebagaimana kata bijak mengatakan,”Urip kuwi ora mung ngliwati banyu lan geni, nanging uga ngugemi pengarep-arep ing Gusti. “ (Hidup itu bukan hanya melewati air dan api, tetapi juga memegang pengharapan dalam Tuhan).  Mari terus menampatkan harapan kepadaNya dan berani terus mempercayakan diri untuk melangkah bersamaNya.  (sTy)

ANUGERAH ALLAH MEMBONGKAR SEKAT

Saudaraku, kalau ada seorang yang harus mengubah pemikiran secara radikal demi pekerjaan Allah maka nama Petrus akan disebutkan.  Kejadian di rumah Simon Penyamak Kulit memaksa Petrus membuka mata kepada perbedaan, satu hal asing bagi seorang Yahudi tulen.  Mari merenungkan Kisah Para Rasul 10. Betapa kagetnya Petrus ketika hingga tiga kali Tuhan mengatakan kepadanya ,”apa yang dinyatakan halal bagi Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram.” (Kisah Para Rasul 10:15).  Perkara halal haram suatu makanan adalah hal yang sangat serius bagi seorang Yahudi bahkan melampaui rasa lapar.  Lebih baik mati kelaparan daripada makan makanan haram, begitu prinsipnya.  Bukankah Tuhan begitu serius menetapkan makanan halal dan haram sebagaimana tertulis dalam Imamat 11 dan mengapa Ia seperti membatalkan yang ditetapkanNya sendiri?  Dalam kasus Kornelius, Tuhan menghendaki Petrus untuk menjangkau keluarga Kornelius yang bukan Yahudi karena anugerahNya menembus segala sekat.  Anugerah keselamatan dalam Kristus membuat semua bangsa diijinkan untuk menikmatinya.  Butuh waktu bagi Petrus untuk memahami dahsyatnya anugerah Tuhan.  Petrus harus mengubah pemikirannya secara radikal dalam waktu singkat sebelum ia menerima utusan Kornelius dan meluncur menuju rumah keluarga itu untuk membaptis mereka keesokan harinya.  Hanya Tuhan saja yang bisa mengubah Petrus dengan radikal sehingga ia mau bertemu dengan mereka sebagaimana dikatakannya,”… Allah menunjukkan kepadaku bahwa aku tidak boleh menyebut orang najis atau tidak tahir. Itulah sebabnya aku tidak berkeberatan ketika aku dipanggil lalu datang kemari.” (Kisah Para Rasul 10:28-29).  Perubahan karena Tuhan sungguh radikal.  Tuhan meruntuhkan sekat yang dibuat manusia karena anugerahNya. Sejatinya Tuhan menginginkan setiap orang percaya memiliki pemikiran melampaui sekat, sebagaimana pesan Rasul Paulus kepada jemaat di Kolose,”Oleh sebab itu, tidak ada lagi perbedaan antara orang Yahudi yang bersunat dengan bangsa-bangsa lain yang tidak bersunat. Kita pun tidak lagi membeda-bedakan orang berdasarkan asal usul maupun kedudukannya … Yang terpenting bagi kita adalah bahwa kita semua sudah menjadi satu umat karena bersatu dengan Kristus!” (Kolose 3:11, TSI).  Kristus sudah menyatukan semua dalam anugerah, pengampunan dan  diikat dalam darahNya, maka anak-anakNya perlu untuk membongkar sekat yang masih tersisa: sekat etnis, ekonomi, pendidikan bahkan sekat generasi.  Mari belajar untuk memahami bahwa anugerah Tuhan sajalah yang menyatukan anak-anakNya maka buatlah jembatan dan bukan tembok dalam komunitas iman.  Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)

DISUNTING ULANG

Seorang editor memiliki tugas untuk menyunting tulisan atau gambar pendukung agar bacaan yang diterbitkan dapat dipahami dan dinikmati oleh pembacanya.  Bayangkan saja kalau tidak ada seorang editor dalam sebuah karya tulisan, maka seringkali tulisan akan menjadi ‘mentah’ sehingga kurang dapat dinikmati. Hidup ibarat sebuah karya dan penulis Amsal mengatakan “Serahkanlah perbuatanmu kepada TUHAN, maka terlaksanalah segala rencanamu.” (Amsal 16:3, TB) Thomas Edison, seorang penemu besar,  suatu malam dia kehilangan laboratoriumnya karena kebakaran. Semua hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun hangus dalam sekejap. Ketika anaknya mencari-cari ayahnya di tengah-tengah reruntuhan, ia ayahnya menemukannya sedang berdiri tenang, memandang api. Edison berkata, “Semua kesalahan kita terbakar habis. Terima kasih Tuhan, kita bisa memulai dari awal.”  Meski kehilangan segalanya, Edison melihat kesempatan untuk memulai dari awal lagi ia akhirnya menciptakan lebih banyak inovasi setelah peristiwa kebakaran itu. Terkadang Tuhan “mengedit” rencana-rencana anak-anakNya dengan mengijinkan mereka melalui masa sulit, namun hasil akhirnya adalah sesuatu yang lebih baik daripada yang pernah dibayangkan. Manusia sering mulai memasuki babak baru dengan sederet daftar rencana dan target. Namun, sering kali rencana itu tidak berjalan seperti yang diharapkan. Amsal 16:3 mengingatkan bahwa ketika manusia menyerahkan segala rencana kepada Tuhan, itu berarti mengijinkan Tuhan untuk “mengedit” langkah kita demi tujuan yang lebih besar dan lebih baik.  Tentunya proses ini tidak mudah, karena manusia cenderung ingin mengontrol segalanya. Namun, kalau dia percaya bahwa Tuhan merupakan editor yang sempurna, maka ia akan menerima setiap perubahan yang dibuatNya dengan sukacita. Di tahun 2025 ini, mari membuka hati untuk membiarkan Tuhan menyunting bagian  kurang selaras dengan kehendak-Nya, sehingga hidup ini berkenan di hati-Nya. Mari ijinkan Tuhan untuk menjadi editor dalam setiap rencana kita dan terus belajar berserah kepada-Nya sebagaimana sebuah kalimat bijak mengatakan: “Sopo sing nyumanggake diowahi dening Gusti, bakal luwih cedhak marang rahmat lan berkah.”  (Siapa bersedia diubah oleh Tuhan, akan lebih dekat pada rahmat dan berkat-Nya). (sTy)

PERAN KECIL ANANIAS

Saudaraku, peran figuran memang seakan tak sebanding dengan pemeran utama dalam sebuah pertunjukan.  Kamus Besar Bahasa Indonesia memuat makna figuran sebagai pemain yang memegang peran tak berarti.  Namun siapapun yang bergulat di dunia pertunjukan mengakui pengaruh figuran untuk kesuksesan mereka.   Sepertinya inilah peran Ananias dari Damsyik sebagaimana dikisahkan dalam Kisah Para Rasul 9:10-18. Ada rencana Tuhan yang besar untuk Saulus, seorang Yahudi garis keras yang mengalami perjumpaan dengan Yesus sendiri.  Sungguh tidak masuk akal.  Walau Ananias butuh waktu untuk memahami pikiran Tuhan yang belum terpahami olehnya, namun ketaatan Ananias membuatnya mampu melaksanakan tugasnya.  Segala prasangka Ananias tentang Saulus lenyap dan berganti dengan ketulusan seorang saudara seiman dengan memanggil Saulus dengan sebutan saudaraku (Kisah Para Rasul 9: 17) dan membaptiskan Saulus.  Dan begitulah kisah masuknya Saulus dalam bilangan orang yang percaya, fokus lensa sejarah mulai terarah kepadanya dan pada akhirnya nama Ananias tak disebutkan lagi di Kisah Para Rasul.  Peran Ananias bagaikan figuran yang kecil namun mempengaruhi alur cerita. Sering kali Tuhan menempatkan manusia menjadi figuran bagi sesamanya.  Mungkin hanya menjadi teman seperjalanan di satu tempat, bertemu sekilas dalam urusan bisnis dan lain-lain. Namun orang percaya punya tugas untuk menjadi garam dan terang untuk membawa pengaruh positif bagi orang lain dalam upaya untuk mengabarkan Kabar Baik supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga (Matius 5:16). Mungkin orang yang mendapat dampak positif tak mengingat nama kita, namun fokus kita hanyalah melaksanakan tugas untuk memberitakan Kabar Baik agar nama Tuhan dimuliakan.  Mari terus meminta Tuhan memberi kesadaran ini karena sekecil apapun perbuatan kasih yang dilakukan akan membawa dampak yang besar bagi sesama.  Kiranya nama Tuhan makin harum  melalui kehidupan orang percaya yang terus membawa dampak positif bagi dunia. Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)

BERKAT TUHAN DALAM PERENCANAAN

Tahun baru kadang diidentikkan dengan resolusi, sebuah keputusan yang diambil berdasarkan harapan.  Ada orang yang menyamakan dengan  target yang akan dicapai.  Sebuah resolusi tidak akan bisa menjadi kenyataan tanpa tindakan atau usaha untuk mewujudkannya.  Bagi orang percaya, harapan memang harus ditindak lanjuti dengan semangat dalam penyerahan penuh kepada Tuhan.  Mari renungkan Mazmur 37:6 yang berkata,”Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak”. Ketika Ludwig van Beethoven kehilangan pendengarannya, ia menghadapi masa-masa sulit yang hampir menghancurkan kariernya sebagai komposer. Namun, Beethoven tidak menyerah. Dengan keberanian dan keyakinan, ia terus berkarya dan  menciptakan beberapa karya terbesar sepanjang masa. Dalam suratnya kepada saudaranya, ia menulis, “Aku akan memegang takdirku sendiri di bawah panduan Tuhan.” Ia percaya bahwa ada kuasa ilahi yang menuntunnya, bahkan dalam keterbatasan. Kebanyakan manusia memulai tahun baru dengan segudang rencana dan harapan, menyusun daftar tujuan, tetapi seringkali lupa bahwa tanpa campur tangan Tuhan, semua itu bisa saja menjadi sia-sia. Amsal 37:6 menyatakan agar manusia menyerahkan semua rencana kepada Tuhan dan  percaya bahwa Dia akan bertindak sesuai dengan kehendak-Nya yang terbaik.  Menyerahkan rencana kepada Tuhan bukan berarti pasrah pasif tanpa usaha. Sebaliknya, manusia diajak untuk bekerja keras sambil percaya bahwa Tuhan, dalam hikmat-Nya yang sempurna, akan menyempurnakan semua rancangan yang ditetapkan. Ketika Tuhan dilibatkan dalam setiap langkah, berkat-Nya akan turun, memberikan damai sejahtera bahkan di tengah tantangan. Rencana manusia mungkin terlihat sempurna di atas kertas, tetapi hanya Tuhan yang tahu apa yang terbaik. Mari jalani tahun ini dengan langkah iman, menyerahkan seluruh rencana kepada-Nya  karena Dialah Allah yang setia dan sanggup melakukan jauh lebih banyak daripada yang kita pikirkan.  Ingatlah sebuah  kalimat bijak:  “Gusti paring dalan kanggo wong kang sabar lan pasrah marang kersane.” (Tuhan menyediakan jalan bagi mereka yang sabar dan berserah kepada kehendak-Nya). (sTy)

KASIH KARUNIA YANG MEMULIHKAN

Natal merupakan bagian dari demonstrasi kasih karunia Allah yang kekal kepada manusia yang berdosa.  Sebagaimana Yohanes 3:16-17 mengatakan, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.”  Mari renungkan ayat ini. Florence Nightingale, pelopor keperawatan modern, merupakan kesaksian nyata bagaimana kasih karunia dan kerendahan hati dapat memulihkan banyak orang. Saat masih muda, Florence merasa terpanggil untuk merawat mereka yang menderita. Pada masa itu, pekerjaan sebagai perawat dianggap rendah, namun ia dengan kerendahan hati menyerahkan hidupnya untuk melayani orang sakit, terutama saat Perang Krimea (1853–1856 antara Kekaisaran Rusia melawan aliansi Kekaisaran Ottoman, Inggris, Prancis, dan Kerajaan Sardinia).  Dengan penuh kasih, ia merawat para prajurit yang terluka di medan perang, membersihkan luka-luka mereka, dan memberikan penghiburan. Dedikasinya bukan hanya menyembuhkan tubuh mereka, tetapi juga memulihkan semangat mereka yang nyaris hancur. Florence bekerja tanpa lelah, meskipun sering mendapat hinaan dan penolakan dari banyak pihak. Tindakan Florence mencerminkan kasih karunia Allah yang memulihkan. Dalam Yohanes 3:16-17, kita melihat bahwa Allah mengutus Anak-Nya untuk menyelamatkan dan memulihkan dunia, bukan untuk menghakimi. Begitu pula, kita dipanggil untuk menunjukkan kasih yang memulihkan kepada sesama dengan rendah hati, seperti yang diteladankan oleh Florence. Kasih karunia merupakan hadiah yang tidak layak kita terima, tetapi Allah memberikannya dengan murah hati. Ketika kita rendah hati, kita membuka hati untuk menerima kasih-Nya dan membagikannya kepada orang lain. Mari terimalah kasih karunia itu dan teruslah berjuang untuk memberikan dampak nyata kepada sesama dan lingkungan.  (sTy)

HATI YANG TUNDUK KEPADA ALLAH

Tiap manusia memiliki mimpi dan harapan untuk dirinya dan anak-anaknya.  Itulah sebabnya mereka berusaha maksimal untuk mencapai mimpi-mimpi itu.  Tak jarang mereka mengejar mimpi itu begitu rupa sehingga melupakan etika dan kasih karunia sehingga menjadi ambisius dan minimalis dalam belas kasih.  Mari renungkan bersama nilai penundukan diri dalam Natal dengan membaca Yakobus 4:6 yang berkata, “Tetapi kasih karunia, yang dianugerahkan-Nya, lebih besar. Karena itu Ia katakan: ‘Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.” William Wilberforce, seorang politisi dan reformis Inggris yang memimpin perjuangan menghapus perbudakan.  Wilberforce termasuk salah satu tokoh dalam sejarah dunia yang menunjukkan hati yang tunduk kepada Allah. Meskipun ia memiliki posisi yang tinggi dan pengaruh besar, Wilberforce memilih untuk menempatkan kehendak Allah di atas ambisi pribadinya. Ia memahami bahwa perjuangannya bukan hanya tentang kebebasan manusia, tetapi juga tentang menaati panggilan Allah untuk mencintai sesama dan memperjuangkan keadilan. Kerendahan hati Wilberforce tampak dalam doa-doanya yang penuh pengakuan akan kelemahan dirinya dan keyakinan bahwa hanya oleh kasih karunia Allah ia dapat menjalankan tugas besar itu. Hatinya yang tunduk membuka jalan bagi Allah untuk bekerja melalui hidupnya, menghasilkan perubahan besar yang berdampak hingga hari ini. Seperti Wilberforce, kita diundang untuk tunduk kepada Allah. Dalam ketundukan, kita tidak menyerahkan harga diri kita, melainkan membebaskan diri dari ego dan keangkuhan. Kasih karunia Allah akan melimpah dalam hati yang rendah hati, memberi kita kekuatan untuk menjalani panggilan hidup kita dengan sukacita dan damai sejahtera. Kerendahan hati merupakan jalan untuk mengalami kasih karunia Allah secara penuh. Ketika kita tunduk kepada-Nya, kita membiarkan Allah mengendalikan hidup kita, dan di sana kita menemukan damai sejati. Sama seperti lilin yang menyala terang saat diletakkan dalam ketenangan, demikian pula hidup kita bersinar ketika kita rela menyerahkan segala sesuatu kepada kehendak-Nya.  Mari tundukkan diri dalam rencana Allah sehingga Dia memakai hidup kita untuk memberi dampak bagi sesama.  (sTy)

DIPANGGIL KELUAR DARI KEGELAPAN

Tuhan memanggil manusia dari kegelapan dosa untuk masuk dalam terangNya.  Saat manusia merespon panggilan itu, ia akan menemukan anugerah kekal yang mengubah kehidupannya.  1 Petrus 2:9 menyatakan,  “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang Ajaib.”  Mari renungkan ayat ini. Corrie ten Boom merupakan sosok yang pernah mengalami kegelapan di kamp konsentrasi Ravensbrück selama Perang Dunia II. Bersama keluarganya, Corrie menolong banyak orang Yahudi melarikan diri dari kekejaman Nazi. Namun, tindakannya ini menyebabkan ia dan keluarganya dipenjarakan. Di tengah penderitaan dan kegelapan yang mendalam, Corrie teguh memegang imannya. Dalam salah satu kesaksiannya, ia berkata, “Tidak ada tempat yang terlalu gelap bagi kita yang tidak dapat dijangkau oleh kasih Allah.” Seperti Corrie, kita dipanggil untuk meninggalkan kegelapan dosa dan berjalan dalam terang kasih Allah. Hidup dalam kegelapan berarti terpisah dari Allah, tetapi melalui Yesus Kristus, Allah memberikan kita kesempatan untuk keluar dari gelap itu menuju terang-Nya yang ajaib.   Karena Dia, kita memiliki identitas baru yaitu bangsa terpilih, imamat rajani, bangsa kudus, dan umat kepunyaan Allah. Status ini bukan sekadar gelar, tetapi merupakan panggilan untuk hidup dalam terang dan menjadi saksi kasih Allah di dunia ini. Kegelapan berarti dosa, kebingungan, dan keputusasaan. Namun, Allah yang tidak ingin kita berada di dalam kegelapan telah memanggil kita untuk mengalami pembaruan melalui pertobatan, yaitu meninggalkan cara hidup lama dan berjalan dalam jalan-Nya.  Pertobatan bukan sekadar mengakui dosa, tetapi berkomitmen untuk hidup benar. Saat kita menyadari bahwa kita telah dipindahkan dari kegelapan menuju terang, kita akan dipenuhi rasa syukur. Dari rasa syukur inilah, kita dipanggil untuk memberitakan kasih Allah yang besar kepada sesama.  Terang Kristus membawa manusia memahami kebenaran dan mendorong manusia untuk hidup di dalamnya dan menghidupkan kebenaran secara nyata untuk menerangi dunia yang gelap.  Mari terus bertumbuh dalam kasih karuniaNya dan berbuah bagi kemuliaan Tuhan.  (sTy)