Dibentuk Menjadi Manusia yang Utuh dan Seimbang

Nama lengkap saya Kezia Jelang Surya Yuanita. Nama panggilan di Panti Asuhan  Christopherus (PA Chp) dan di rumah Nita, kalau di sekolah dan di kantor, saya dipanggil Kezia.  Saya anak tunggal. Dititipkan di  PA Chp karena  Papa dan Mama  berpisah. Papa di Kalimantan dan Mama  bekerja sendiri di Semarang. Saya masuk PA Chp pada tahun 1988, sejak umur 5 tahun.  Banyak sekali pengalaman dan didikan yang saya dapatkan selama 9 tahun   tinggal di PA Chp.   Saya menerima didikan mengenai semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji dari Sr. Christine dan Sr. Margrit. Mereka tidak hanya memikirkan semuanya itu, tetapi melakukannya sebagai  bentuk teladan tindakan nyata bagi kami, anak-anak didiknya. Saya sangat terkesan dengan prinsip yang ditanamkan kepada anak-anak, segala sesuatu harus diawali dengan doa. PA Chp benar-benar mempersiapkan dan membentuk kami menjadi manusia yang utuh dan seimbang. Anak-anak di PA Chp dibudayakan untuk hidup sehat. Suster dan pengasuh sangat memerhatikan menu makan dan kesehatan kami. Semua yang disediakan harus dimakan, tidak boleh membuang makanan. Mereka juga memperhatikan hari-hari spesial bagi anak-anak (misalnya saat ulang tahun, liburan sekolah, hari raya Kristen, dan lain-lain). Kami diajar untuk hidup dekat dengan Tuhan, saling mengasihi dan memerhatikan, tahu sopan santun, bagaimana bersikap terhadap tamu, suster, pengasuh dan orang yang lebih tua. Kami juga dibentuk supaya hidup teratur, tertib dan bertanggung jawab. Anak yang besar membantu adiknya yang kecil.  Ada tugas pagi, siang, dan malam, tertib sesuai jadwal. Rincian jadwal tugas semua anak ditempel di dinding antara dapur dan kamar mandi tengah. Setiap sore belajar 1 jam (Pukul 16.30 – 17.30). Minta maaf kalau berbuat salah. Kami diberi pelajaran ketrampilan sesuai dengan bakat dan minat masing-masing,  juga diberi ketrampilan mencari solusi untuk setiap masalah. Selesai bermain dan memakai alat, semua harus kembali pada tempatnya semula.Loker buku dan lemari pakaian selalu harus tertata rapi. Kami juga diajak untuk mengingat dan peduli kepada orang lain. Kami diajak berbagi roti, susu, dan putih telur yang kami terima dengan berlimpah ke orang-orang kampung dan panti asuhan yang lain. Kami sering diajak mengunjungi panti jompo, panti pemulihan jiwa di Ungaran dan panti asuhan yang lain. Kami diminta untuk mengajak  anak-anak kampung ikut acara Gelanggang Ria, seperti Sekolah Minggu tapi diadakan pada hari Sabtu. Setiap Minggu siang makan enak, minggu malam di piring cuma ada nasi. Jadi kami hanya makan nasi dengan kecap atau garam, untuk mengingat mereka yang tidak bisa makan. Kami menerima uang saku bulanan, jumlah setiap anak berbeda, sesuai dengan  jatah pekerjaan dan prestasi yang dihasilkan masing-masing anak.  Selain itu ada hadiah utk anak-anak yang nilai rapornya bagus dan yang berprestasi. Tapi juga ada hukuman menulis untuk yang melanggar peraturan, sebanyak  jumlah kelasnya kali 10, misalnya kelas 5 SD, 5×10 = 50 kali; kelas 2 SMP, 8X10 = 80 kali.  Selain itu bagi anak-anak yang masih mempunyai orangtua dan tinggal di Semarang, diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing, satu tahun 2 kali  selama 1 minggu, yaitu saat liburan natal dan liburan kenaikan kelas. Pesan untuk adik-adik: Jangan berkecil hati, jangan merasa rendah diri, hidup kita semua berharga. Tuhan merancang hidup kita semua untuk menjadi indah. Taat pada Firman Tuhan dan pada ibu pengasuh. Cari Tuhan dengan sungguh-sungguh, sekolah yang rajin, cari uang yang halal, sabar dalam segala hal. Semua indah pada wktu-Nya. Pesan untuk pengasuh: Saya mendoakan, kiranya Tuhan memampukan, memberi kekuatan, sukacita, panjang sabar, penuh kasih sayang dan cinta yang tulus pada para pengurus dan Ibu-ibu pengasuh dalam melayani, mendampingi dan merawat adik-adik yang masih di PA Chp sampai saat ini. (pg/sb)

Tidak Boleh Dilakukan Ala Kadarnya

Nama saya Ribka Lilik. Ketika saya tinggal di Panti Asuhan  Christopherus (PA Chp) saya dipanggil Ribka, tapi kalau di rumah saya dipanggil Lilik. Saya anak ketiga dari empat orang bersaudara. Ayah dan ibuku berpisah setelah pernikahan mereka berjalan selama 15 tahun. Saya masih ingat benar, pada tahun 1994, Ibu membawa keempat anaknya (perempuan semua) dari Jakarta ke Semarang naik kereta api. Perjuangan Ibu semakin berat setelah berpisah dengan ayah, walaupun secara psikologis Ibu bebas dari ayah, tapi Ibu harus berjuang seorang diri membesarkan keempat anaknya. Pada tahun 1999 kakak saya yang pertama menikah. . Karena ibu kurang matang perhitungannya, maka untuk biaya pesta pernikahan kakak, ibu  harus menanggung hutang yang cukup besar. Syukur ibu bertemu dengan seorang kenalannya yang menjadi pengurus panti asuhan. Ibu diberi jalan keluar oleh temannya itu,   diminta menjadi asisten rumah tangga teman dari kenalan ibu yang tinggal di Singapura. Gaji ibu dibayar di muka untuk melunasi hutangnya. Sedangkan saya dan adik saya (Ester Marlina) dititipkan di PA Chp, Pada awalnya kami sangat sedih ketika harus tinggal di Panti Asuhan,karena harus berpisah dengan Ibu yang sangat kami sayangi, biasanya susah senang kami bersama.  Namun, inilah jalan yang Tuhan bukakan untuk menolong kami.   PA Chp sangat   mengedepankan disiplinan dan pendidikan. Di sinilah saya terus dibentuk, saya justru semakin berprestasi. Saya semakin menyadari bahwa untuk meraih masa depan, saya harus belajar dengan sungguh-sungguh, meraih prestasi setinggi-tingginya. Setelah 2  tahun lamanya kami tinggal di PA Chp, saya pun lulus SMK dengan nilai yang sangat memuaskan, kedua terbaik saat itu. Di PA Chp  saya disadarkan bahwa untuk berhasil, kita harus berdoa dan berjuang dengan sungguh-sungguh, segala sesuatu tidak boleh dilakukan dengan ala kadarnya. Saya bersyukur di PA Chp saya mendapatkan 1 (satu) ruang belajar bersama dengan Mbak Ruth yang mempunyai jiwa misi yang sangat tinggi. Saya tidak hanya mendapatkan kesempatan intensif untuk belajar, tetapi juga bersekutu dengan Tuhan bersama-sama dengan Mbak Ruth. Saya diubahkan Tuhan di tempat ini, saya menemukan bahwa Tuhan tidak sekadar ada di Alkitab atau nyanyian semata. Saya menemukan Tuhan melalui kesaksian hidup yang saya lihat melalui Sr Christine, Sr Margrit, Sr Puryati dan semua Ibu pengasuh di PA Chp. Walaupun sakit saat saya dibentuk oleh mereka, ketika menemukan bahwa saya salah dalam berbagai hal kedisiplinan dan kejujuran. Selain itu, semangat mereka melayani membuat saya terpanggil untuk melayani Tuhan dan memakai hidup saya untuk kemuliaan Tuhan. Setelah saya lulus SMK, adik masih di Panti Asuhan, sedangkan saya yang duduk di bangku kuliah diperbolehkan tinggal diluar di Kos. Kakak kedua saya yang ada di Jakarta sudah bekerja dan sangat ingin keluarga kami bisa berkumpul kembali bagaimanapun keadaannya. Rumah yang kami tinggalkan selama 6 tahun sangat buruk keadaannya. Saat saya kuliah semester 3, tahun 2003, saya memutuskan untuk bisa bersama-sama dengan Ibu kembali. Adik diambil dari PA yang saat itu sudah kelas 2 SMP. Dengan penuh perjuangan dan anugerah dari Tuhan kami menata kembali rumah kami yang rusak. Saya bekerja sambil kuliah dan uangnya kami kumpulkan untuk membetulkan rumah seadanya. Bila perlu saya ikutan jadi tukang tak apa. Syukurlah saya tetap bisa kuliah sambil bekerja di toko meubel meski harus angkat-angkat kasur tiap buka toko dan tutup toko. Yang terpenting pemilik toko memperbolehkan saya bekerja sambil kuliah. Saya juga bersyukur, bisa bekerja sebagai asisten dosen di Perguruan Tinggi, karena dosen sangat puas dengan prestasi saya. Dengan kemurahan Tuhan, saya bersyukur bisa dipertemukan kembali dengan Ayah. Meskipun keadaan Ayah saya sudah lemah karena stroke, hanya sedikit-sedikit bisa mengenal saya. Yang menjadi masalah adalah Ibu saya yang belum bisa menerima Ayah. Kami anak-anak berdoa tak henti-hentinya agar Ibu saya dapat menerima Ayah kembali ke rumah. Tahun 2004, Suatu anugerah Ibu mau menerima Ayah yang  menderita stroke.  Ayah kembali ke rumah kecil kami satu-satunya yang masih kami miliki. Kami bersyukur, pengampunan terjadi dan Ayah meninggal 2,5 bulan setelah kami berkumpul bersama serumah. Saya akhirnya lulus sebagai lulusan terbaik. Pada tahun  2006 saya menikah  dengan Suhaji dan 3 tahun kemudian saya diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil. Saat ini kami dikaruniai Tuhan dua orang anak, Obed dan Elzi.   Kami tidak pernah menyangka jalan kami akan menjadi seperti ini, sepertinya masa depan suram, tapi ternyata Tuhan terus membentuk kami. Saya semakin meyakini waktu Tuhan selalu indah pada waktu-Nya. Perjuangan saya belum berakhir, harus terus berjuang sampai dengan Tuhan memanggil saya kembali. Perjuangan iman dalam bekerja, mengasuh dan mendidik anak-anak untuk menjadi alat Tuhan Yesus selama hidupnya. Semua merupakan perjuangan saya untuk dapat hidup menyenangkan hati Tuhan. (pg/sb)

DIPERSIAPKAN UNTUK MENJADI ORANG YANG BERHASIL

Nama saya Ria Pujiastuti. Biasa saya dipanggil Ria. Saya anak pertama dari 3 orang bersaudara.  Saya mau bersaksi sedikit tentang kesan saya selama tinggal di Panti Asuhan  Christopherus (PA Chp). Alasan saya dan adik saya (Nia Pujiastuti) dimasukkan ke PA Chp karena ketika saya kelas 5 SD, Mama dipanggil Tuhan setelah menderita sakit paru-paru akut dan bersamaan dengan itu  Papa kena PHK. Pada bulan Juni 1998 ketika musim kenaikan kelas, saya kelas 1 SMP & Nia kelas 6 SD, akhirnya kami berdua dimasukkan ke PA Chp. Saat itu saya tidak bisa menerima keadaan kenapa saya harus dimasukkan ke PA dan tidak bisa seperti anak-anak lain yang hidup bahagia bersama keluarga. Karena saking sedihnya selama 1 bulan pertama,  setiap malam sebelum tidur saya selalu menangis di tempat tidur. Waktu itu saya ingat Kak Ani yg sekamar dengan saya terus menghibur saya setiap malam dan selalu membuat cerita yang lucu-lucu supaya saya tidak sedih. Hari demi hari, bulan demi bulan berlalu dan akhirnya saya bisa merasakan bahwa PA adalah  tempat tinggal saya. Semua kegiatan dan pola hidup menjadi berubah total setelah saya masuk ke PA.  Setiap hari harus bangun jam 5 pagi untuk berdoa, kemudian tugas piket membersihkan halaman PA, mandi, sarapan dan kemudian berangkat sekolah. Sepulang sekolah sudah tersedia makan siang dan buah-buahan. Setelah makan siang harus tidur siang, setelah bangun di sore hari makan kue, melakukan tugas piket lagi  mandi, makan malam dan harus belajar sampai jam 9 malam. Jam 9 malam semua anak-anak harus masuk kamar & harus tidur. Makanan di PA semua bergizi & enak-enak, kue juga terjamin dan melimpah, baju anak-anak  juga bersih semua. Setiap pagi anak-anak makan dan minum teh manis, ke sekolah kami diberi bekal kue, kemudian makan siang ada nasi sayur lauk dan buah. Makan malam nasi, sayur, dan lauk. Jadi untuk kenyamanan, justru tinggal di PA-lah saya mendapat kenyamanan secara jasmani karena semua kebutuhan makanan yang bergizi bisa terpenuhi. Tiap awal bulan di Minggu pertama, orangtua kami diperbolehkan untuk mengunjungi kami. Kebetulan Papa dan adik laki-laki  selalu rutin berkunjung. Ketika saya menginjak kelas 3 SMP dan bisa lulus dengan nilai NEM masuk 3 besar di SMP Yohanes, Papa bangga sekali, sampai meneteskan air mata ketika melihat nilai di ijazah saya.  Saya juga bangga bisa mendapat nilai yang sangat-sangat memuaskan. Karena saya mendapat nilai yang bagus, Sr. Christine dan Sr. Margrith memberi kesempatan kepada  saya untuk melanjutkan ke  SMA yang saya harapkan. Sesuai pilihan dari Papa, akhirnya saya masuk ke SMA YSKI.   Pada saat  kelulusan SMP itu saya mengalami masa yang sedih  karena pada saat itu Sr Christine diminta  untuk  kembali ke Jerman. Kami semua sedih sekali seperti kehilangan seorang Ibu kandung. Setelah acara perpisahan dan  Sr Chistine sudah pulang ke Jerman, selama 1 bulan kami semua penghuni PA Chp  bersedih & tidak bersemangat. Kami  kehilangan seorang Ibu, seorang mentor dan seorang yang benar-benar  mengasihi kami. Waktu terus berputar dan satu tahun kemudian Sr. Margrit juga harus pulang ke Jerman. Setelah  Sr. Christine dan Sr. Margrit kembali ke Jerman, kami benar-benar merasa kehilangan. Tidak ada kasih sayang yang tulus yang bisa menyamai ketulusan mereka. Tapi di  sisi lain  kami juga tidak boleh egois karena banyak anak-anak dan orang lanjut usia  di Jerman juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang mereka. Saat awal masuk PA, saya sangat sedih, tapi seiring berjalannya waktu, saya sangat menikmati dan merasa bahagia dan bersukacita tinggal di PA. Saya bisa mengenal Sr. Christine, Sr. Margrtih, Bu Yanti, Bu Hin, Bu Lydia, Bu Topo, Pak Rudi yang saya anggap sebagai  pengganti orangtua saya. Dari merekalah saya belajar tulusnya hati seorang yang melayani Tuhan dengan sungguh-sungguh. Oh  iya ketika saya sekolah  di SMA YSKI pun, Tuhan tidak pernah mempermalukan saya. Dari kelas 1 sampai  kelas 3 IPA saya selalu masuk rangking 10 besar di kelas. Bahkan ketika saya kelas 2 SMA  semester 1 saya sempat masuk rangking 5 besar. Oh iya selama tinggal di PA, saya belajar bercocok tanam, menjahit, menyulam kruistik & juga prakarya. Bu Yanti yang waktu itu  menggantikan Suster, sempat memberi tugas kepada saya untuk membuat 300 kartu Natal sebelum saya keluar dari PA. Saya senang bisa berkarya lewat kartu untuk dikirimkan kepada para sponsor dari Indonesia dan juga dari luar negeri. Jadi saya tinggal di PA selama 6 tahun. Rasanya banyak hal yang harus saya tulis di sini tentang pengalaman di PA. Banyak suka duka tinggal di PA, tapi setelah saya keluar dari PA, justru yang selalu saya ingat adalah hal-hal yang menyenangkan. Pesan untuk adik-adik yang masih tinggal di PA,  jangan menyerah & jangan berkecil hati atau sedih karena kalian tinggal di PA. Percayalah kehidupan di PA Chp jauh lebih asyik, lebih terjamin dam membuat adik-adik menjadi pribadi yang kuat dan disiplin. Kalian sedang dipersiapkan untuk menjadi orang yang berhasil. Nanti setelah kalian keluar dan lulus dari PA, kalian akan merasakan betapa bahagianya bisa tinggal di PA Chp. Berkat didikan dan pengenalan akan Tuhan di PA Chp, sampai sekarang Ria melayani anak-anak Sekolah Minggu dan sudah dua periode menjadi Ketua Komisi Sekolah Minggu di GKMI Gloria Patri. “Sungguh saya sangat bersyukur, Tuhan telah mempertemukan saya dengan James Suryadi Kurniawan, seorang suami yang cinta Tuhan, Segala puji dan kemuliaan hanya bagi Tuhan Yesus,” Ria menutup kesaksiannya. (pg/sb) 

TUHAN CAMPUR TANGAN MEMBENTUK SAYA

Saya masih ingat benar, pada tahun 1977 orangtua saya bercerai,  saat saya masih berusia 4 tahun bersama kakak dan dua adik saya, yang saat itu masih di bawah 5 tahun. Saya terima keputusan mereka dan saya harus berpisah dengan mama dan adik bungsu yang masih bayi. Dari Solo kami pindah ke Bandung, memulai hidup baru dengan papa sebagai single father. Dia begitu sayang kepada kami, antara bekerja dan merawat kami dengan bantuan seorang pembantu dari Solo yang kami panggil dengan sebutan Mbok. Meski cuma 3 tahun, masa kecil saya di bawah asuhan papa sangat indah, sampai tahun 1980 papa memutuskan untuk keluar negeri untuk mencari peluang pekerjaan yang lebih baik. Papa menitipkan kami di bawah asuhan orangtuanya di Semarang dengan janji dalam satu tahun kami akan dijemput lagi. Kakek dan nenek saya dan keluarga besar Papa meski Kristen memiliki gaya tentara dalam pengasuhan anak, karena terpengaruh budaya Belanda. Tahun berganti tahun, Papa tidak kembali, saya dan saudara-saudara sangat tertekan. Sebagai anak perempuan, saya sangat merindukan Papa. Saat umur 7 tahun terlintas keinginan untuk mati saja karena saya tidak tahan hidup jauh dari Papa. Keadaan kami sangat miskin, saya ingat jelas, kami kadang cuma makan nasi dan kecap, kalau air mati, kami tidak bisa mandi. Saat sekolah, kami tidak punya sepatu. Sepatu rusak, saya harus ikat dengan gelang karet. Dan Nenek sudah berusaha untuk merawat kami meski tubuhnya lemah dan keuangan sangat terbatas, akhirnya harus mencari jalan lain. *** Nenek sangat aktif ikut persekutuan dan Beliau rajin ikut persekutuan di rumah Pak Adi Sutjipta di jalan Imam Bonjol. Kami selalu ikut ke mana Nenek pergi, karena kakek lebih tidak sabar lagi untuk menjaga kami. Semua saudara-saudara Papa sudah memiliki keluarga masing-masing dan kemampuan ekonomi mereka sangat terbatas sehingga tidak punya kemampuan untuk mengasuh kami bertiga. Pada tahun 1984-an, Pak Adi memperkenalkan  Nenek saya diperkenalkan dengan panti asuhan Christopherus. Saya sangat sedih saat saya ditinggal oleh Nenek  di panti asuhan. Saya menangis karena sudah berpisah dari Mama, dari Papa, akhirnya saya pun harus berpisah  dengan saudara dan nenek  yang meski galak, dia sayang kepada saya. Tetapi suster Christine yg sangat tinggi dan murah senyum dan suster Margrit yang rambutnya putih dan keriting dan sangat ramah menyambut saya dengan penuh cinta. Saat itu ada suster Indonesia juga, suster Lydia dan suster Puryati. Mereka menjadi pengganti Papa dan Mama selama 9 tahun di panti asuhan. Saya adalah anak perempuan ketiga yang diterima di Panti Asuhan Christopherus (PA Chp). Meski masih umur 11 tahun, saya merasa paling besar di panti. Saya belajar ikut rutinitas dan aktivitas PA, termasuk membantu memasak, membersihkan kamar, menyapu kebun dan lain-lain. Setiap hari kami harus lakukan tugas masing-masing. Saya mulai betah, karena kebutuhan fisik saya terpenuhi, saya bisa makan dengan baik 3 kali sehari dan ada morning tea dan afternoon tea, dan kadang ada special dessert yang suster Margrit buat. Perlahan saya merasakan panti adalah rumah saya dan anak-anak di panti adalah kakak dan adik saya. Saya jadi berubah dalam waktu setahun di PA, nilai sekolah membaik, saya menemukan banyak kelebihan yang saya miliki seperti kesukaan menggambar atau seni seperti drama dan menulis puisi, merangkai bunga, dan menyanyi. Suster Christine terutama memberi banyak perhatian pada keadaan emosi saya, karena trauma masa kecil, saya merasa sangat minder, malu,dan tidak percaya diri. Saya perlahan-lahan punya harga diri yang membaik, saya merasa diterima, dicintai dan dijaga dengan kasih. Saya belajar berteman, belajar memimpin, belajar melayani dan belajar mengampuni adalah sesuatu yang saya tanamkan terutama hidup di keluarga besar di panti Asuhan. Sembilan tahun di panti meski saya sudah beradaptasi baik dan merasa sangat betah, kadang saya merasa kuatir dan berharap hidup saya berubah dengan mengharapkan untuk ketemu papa lagi. Saya sangat takut dan khawatir akan masa depan saya, terutama karena saya sudah SMA saat itu, dan PA tidak mungkin akan membiayai biaya kuliah. Saya banyak berdoa dan belajar pegang akan janji Tuhan di Yeremia 29:11 dan Kitab Pengkhotbah 3: 11. Di tahun 1990 waktu saya kelas SMA satu, saya dibaptis dan suster Christine memperbolehkan saya memilih nama baptis sendiri, dan saya pilih Yoela, yang berarti Tuhan menolong. Saya mulai aktif melayani di Komisi Remaja Ebenhaezer di GKMI Semarang sampai saya lulus SMA, dari pelayanan musik ke pengurusan remaja. Satu titik poin di masa remaja saya, saya mulai menyadari panggilan saya untuk menjadi seperti suster Christine, suster Margrit dan suster Puryati yang mengabdikan hidup mereka untuk melayani Tuhan di PA. Di kaum remaja saya belajar leadership skill dan saat retret remaja, saya tertarik dengan penyelesaian studi kasus, di bawah bimbingan pengurus remaja saat itu. Tuhan sudah menanamkan benih-benih masa depan di hati tanpa saya sadari. Setelah lulus SMA Karangturi di tahun 1992 tepatnya bulan Oktober, impian saya terkabulkan, saya akhirnya bisa ke Sydney Australia untuk bisa berkumpul dengan Papa dan Kakak saya. Momentum yang sangat penting saat saya mulai beradaptasi di kehidupan dan negara yang baru. Ternyata kehidupan di Sydney tidak semudah yang selalu saya impikan, Papa meski masih sayang dengan saya telah mempunyai istri lagi yang tidak bisa menerima saya. Dan saya mengerti saat itu mengapa sembilan tahun di PA sangat penting di kehidupan saya, untuk mempersiapkan pribadi saya dengan masa-masa yang lebih sulit di negara asing. *** Perjalanan hidup saya berhasil semata hanya kasih anugerah Tuhan. Benih- benih cinta, kasih dan iman yang tertanam saat saya di PA bertumbuh kuat di kepribadian saya. Kerinduan untuk melayani Tuhan di bidang anak-anak yang mengalami trauma juga sudah terwujud sejak saya masih remaja. Selama 20 tahun lebih saya terlibat di Children dan Youth Ministry di berbagai gereja, lalu saya meniti  karier selama beberapa tahun dengan berkecimpung di pendidikan anak- anak di kindergarten dan penitipan anak, dilanjutkan bekerja di Fusion, menolong anak-anak muda dari broken home yang menjadi orangtua muda (young parents). Di situlah saya memulai karier saya di case worker dan pekerjaan sosial selama 8 tahun. Saat bekerja di organisasi Fusion, Tuhan wujudkan impian saya untuk menulis buku yang saya dedikasikan kepada suster-suster yang mengasuh saya dan untuk single mothers di Fusion. Buku ini diinspirasi oleh tulisan puisi saya waktu saya masih SMP, yang …

DOA MENJADI KENYATAAN

Saya menyadari bahwa berdirinya Yayasan Christopherus ini karena panggilan untuk melaksanakan Amanat Agung Tuhan kita Yesus Kristus. Dimulai dari persekutuan doa dan lahirlah Yayasan Christopherus yang diwujudkan dalam Akte Notaris tanggal 3 Mei 1972. Peristiwa tersebut adalah awal perjalanan melangkah bersama dengan Yesus. Tahun 1972, Christopherus adalah sebuah nama yang tidak dikenal, tidak memiliki kekayaan yang bisa diandalkan. Dimulai dengan persembahan Pengurus yang sebesar Rp 43.500,-. Tidak mempunyai tempat dan tidak ada pengalaman berorganisasi bagi pengurus. Yang ada hanyalah nama-nama pengurus balk yang ada di Semarang maupun yang ada di luar kota Semarang. Yayasan ini  dimulai berjalan melangkah dengan iman dan terus berjalan. Bpk. Andreas Christanday dan istri yang saat itu bersedia menjadi eksekutif penuh waktu melayani dalam wadah Yayasan Christopherus. Hidupnya bergantung pada Tuhan Yesus, tanpa jaminan honor yang memadai, tidak ada jaminan tempat tinggal, “cukup indekos” dan bersedia tinggal dalam satu kamar yang disediakan pengurus di jalan Tanjung 15 Semarang, tanpa membayar. DOA itu Indah Doa meneguhkan hati akan panggilan Tuhan, ini terjadi saat saya bersama bapak. Andreas Christanday membawa mobil persembahan untuk pelayanan Christopherus dari Jakarta, lewat Bandung menuju ke Semarang. Di luar dugaan dan tanpa tahu apa sebabnya terjadi kecelakaan di desa Demangharjo, Tegal, tepatnya tanggal 30 September 1972 pukul 10.30, yang hampir merenggut jiwa kami. Kami hanya yakin, pasti Tuhan izinkan peristiwa ini terjadi, tapi apa maksud-Nya? Kami tidak berani melanjutkan perjalanan pulang sampai Tuhan menjawab pergumulan kami; apakah Tuhan tidak berkenan kami melayani di ladang yang baru? Maka kamipun berdoa… dan Tuhan menjawab dengan rhema dari Hosea 10:12, “… Bukalah bagimu tanah baru, sebab sudah waktunya untuk mencari TUHAN …” Kemudian Tuhan juga menegur agar kami harus mengutamakan apa yang utama yaitu mengabarkan Injil (Markus 1:38) dan bukan lebih dulu mengejar dana dan sarana. Kami bersyukur dengan jawab yang tegas dan jelas ini, lalu kami berdua tanda tangan di hadapan Tuhan untuk sepakat dan setia, barulah kami pulang dalam damai sejahtera. Tuhan izinkan peristiwa ini untuk memantapkan komitmen kami terjun dalam pelayanan yang baru di Christopherus Selanjutnya tempat kegiatan dipindahkan di rumah kontrakan jalan Pringgading Dalam 2, rumah separuh papan dan tembok itu bekas tempat pelacuran dan perjudian. Di situlah keluarga bapak Andreas Christanday tinggal, berkantor, mengadakan persekutuan doa dan sebagai pusat pelayanan’. Sampai-sampai DR. Joseph Tan dari Ambassador of Christ, waktu berkunjung terheran-heran melihat kantor Christopherus jikalau dibanding dengan pelayanannya yang “hebat”; beliau bertanya dengan heran: “Is it your headquater?”. Puji Tuhan, dari pada ada kantor yang mewah tapi tanpa pelayanan. Doa itu penyerahan diri untuk menerima dan melaksanakan tuntunan tangan Tuhan. Begitulah dari tidak punya apa-apa, sekarang pelayanannya telah berkembang menjadi beberapa departemen dan komisi: Dept. Firman; Dept. Musik; Dept. Media; Dept. Diakonia; Persekutuan Biji Sesawi; Pendidikan; PUSKESMAS dan lain-lain. Dan yang sangat mengesankan saya adalah saudara-saudara pengurus dan staf Yayasan Christopherus tetap aktif dan setia dalam pelayanan melanjutkan karya Allah terjadi lewat Yayasan Christopherus. Percayalah, secara pribadi, kita masing-masing akan menerima segala berkat, kemurahan dan penyertaan=Nya bisa terjadi dalam hidup kita. Selamat Ulang Tahun ke-35. Pandang sekeliling kita masih banyak yang membutuhkan Kristus dalam hidup mereka. Pandang terus          Dia akan datang, buka hati dan laksanakan panggilan-Nya. Christopherus, maju terus !!! Dalam Dia kita bisa! (Fil. 4:13) Semarang, 27 Maret 2007 Adi Sutjipto (Ketua dalam Pengurus Pertama Yayasan Christopherus) Catatan: Kesaksian ini disampaikan dalam Perayaan HUT ke-35 Yayasan Christopherus pada tahun 2007

Indahnya Sebuah Kebersamaan di Tim Musik

Saya bergabung dengan Christopherus tahun 1979. Alasan saya bergabung, pertama interdenominasinya, dan kedua ada tim musiknya. Pada awalnya saya memilih terlibat dalam tim musiknya. Saya merasa bahagia bisa diterima oleh bapak Andreas menjadi anggota tim musik. Oleh karena itu saya ikut jadwal-jadwal latihan di hari Minggu siang, meski sebagai seorang gembala jemaat, hari dan jam latihan tersebut terasa berat, dan melelahkan. Tapi saya merasa senang, sebab hati saya ada di situ. Setelah sekian lama di Tim Musik Christopherus di bagian vokal, saya mendapati hubungan antara pimpinan dan anggota begitu manis, penuh kasih dan pengertian. Ini membuat saya jadi semakin krasan, bahkan jatuh cinta sama Tim Musik dan Yayasan ini. Saat pelayanan di berbagai gereja membuat hubungan kami antar anggota semakin akrab. Apalagi bila pelayanan ke luar kota dan menginap. Wah rasanya sangat indah, meski dengan bermacam pengalaman yang menyenangkan maupun yang kurang menyenangkan, tetap saja terasa indah. Setiap akhir pelayanan selalu kami berkumpul mengadakan evaluasi, sehingga kami tahu mana kemajuan dan kekurangan kami, balk secara pribadi maupun tim. Kalau pelayanan di luar kota pada hari Minggu, sebelum pelayanan kami gunakan waktu di pagi hari untuk melakukan ibadah sendiri, pelayannya bergantian di antara kami. Di saat istirahat di penginapan, kami satu dengan yang lain dapat saling “curhat”, berbagi suka dan duka pengalaman masing-masing. Sungguh, mengenang masa-masa indah dan manis itu, setiap personil Tim Musik Christopherus pasti punya kerinduan untuk mengulangi kembali, dengan kata lain bernostalgia begitulah! Misi Tim Musik kami bukan semata pentas, tapi juga melayani seminar-seminar musik, memberi contoh bermusik yang balk dalam bentuk tim maupun musik pengiring di gereja, serta hidup dalam kekudusan Kristus dan juga mengikuti pelayanan KKR-KKR di berbagai gereja di dalam maupun di luar kota. Band Christopherus sempat dihentikan dan diarahkan kepada pembinaan musik melalui seminar-seminar di gereja dan mendirikan sekolah musik Christopherus, karena misi awalnya telah terlaksana, yaitu dengan sudah adanya tim-tim musik di hampir setiap gereja sekarang ini. Tapi karena dari awalnya Tuhan bekerja melalui musik, maka bentuk pelayanan musik tetap diadakan, meskipun dengan corak yang sedikit berbeda, namanya CMM (Christopherus Music Ministry). Fuji Tuhan! Kalau “Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya”, maka di Yayasan Christopherus selama ini betul-betul saya alami secara pribadi pengalaman tersebut. Apalagi di Christopherus ada persekutuan doa rutin setiap hari Kamis pagi jam 06.00, yang mendukung pelayanan Christopherus. Dan nampaknya kegiatan-kegiatan bersama ini semakin membentuk dan menajamkan saya. Dalam bidston setiap Kamis pagi tersebut saya ingin mengusahakan diri untuk selalu hadir. Karena di situ saya mendapat berkat rohani dari renungan-renungan yang dibawakan oleh rekan-rekan Christopherus sendiri, serta sharing/interaksi di antara kami yang hadir. Tak kan saya sangkal, bahwa dalam kebersamaan dengan Pengurus Yayasan ini dari waktu ke waktu, sadar atau tidak telah berdampak atas perubahan hidup saya. Saya bahagia mengalaminya. Di Christopherus orang-orang dekat di sekeliling saya yang saya kasihi dan yang mengasihi saya, khususnya bapak dan ibu Andreas Christanday telah membuat perubahan dalam membentuk hidup saya. Saya semakin sadar dan mengetahui bahwa Tuhan Yesuslah yang telah membentuk Yayasan Christopherus ini. Dalam perjalanan dan pergumulannya yang tidak mudah, dari yang semula begitu kecil dan sederhana sampai menjadi sebesar dan sekompleks ini, kehadiran Tuhan dalam diri para pengurusnya, telah membuat Yayasan ini terus diberkati dan semakin eksis. Melalui kesempatan ini saya ucapkan : “TERIMA KASIH CHRISTOPHERUS, SELAMAT HUT KE-35. TUHAN YESUS SELALU MEMBERKATIMU”. (pg) Semarang, 27 Maret 2007 Pdt. Pdt. Lukas Murjangkung (Sudah terlibat dalam pelayanan dan kepengurusan Yayasan Christopherus sejak 1979) Catatan: Kesaksian ini disampaikan dalam Perayaan HUT ke-35 Yayasan Christopherus pada tahun 2007.

Saya Senang di Christopherus

Suatu kali teman-teman yang sering berkumpul di tempat bapak Agus Suwantoro, jalan dr. Cipto 44 Pav. datang dan mengajak saya untuk bergabung mendirikan yayasan. Anggota persekutuan ini dari beberapa gereja antara lain dari: GKMI, GIA dan GKI; yang saya ingat yang darang antara lain: Adi Sutjipta; alm. Tan Kiem Gwan dan Agus Suwantoro. Waktu itu saya belum bersedia karena belum terbiasa dengan organisasi, saya hanya berjanji untuk mendukung walaupun bukan sebagai pengurus. Ternyata yayasan yang dimaksud adalah Christopherus. Setelah cukup lama saya mengikuti pelayanannya, lama-lama saya jatuh hati, bahkan pernah menjadi pengurus, sampai sekarang saya masih aktif di dalam kegiatannya. Pada awalnya Yayasan Christopherus sangat kecil; kantor dan tempat tinggal fulltimer-nya kontrak rumah papan separuh tembok di jalan Pringggading Dalam 2 (belakang restoran Pringgading). Saya setia mengikuti persekutuan doanya di tempat itu setiap Kamis pagi pukul 06.00 dan masih mengikuti sampai sekarang. Di samping saya mendukung pelayanan Christopherus dengan doa, juga saya sendiri banyak diberkati melalui Firman Tuhan dan sharing yang berlangsung. Waktu Christopherus mendirikan band, dengan senang hati saya dan keluarga bapak Nadi dan ibu Lena (Kecap Lombok waktu itu) menyediakan konsumsi dan tempat untuk berlatih; di jalan dr. Cipto 229 dan jalan Imam Bonjol Semarang. Kalau Band Christopherus ada pelayanan ke luar kota saya meminjamkan kendaraan dan saudara. Andreas Kristianto yang mengemudikannya. Pada waktu itu saudara Kristianto anggota jemaat Gereja Bethel Tabernakel Kudus; tertarik lewat pelayanan ini akhirnya ia terpanggil menjadi hamba Tuhan dan diusahakan mendapat beasiswa untuk bisa kuliah di STT Abdiel sampai lulus. Puji Tuhan! Saya senang di Christopherus bukan karena eksekutifnya, Andreas Christanday adalah adik saya, tetapi karena sifatnya yang interdenominasi, tidak mendirikan gereja tetapi berafiliasi dengan gereja-gereja; sungguh sangat indah dan saling memperkaya. Sejak berdirinya sampai sekarang pengurusnya dari berbagai gereja, banyak anggota tapi satu tubuh Kristus. Kerukunan dan kesatuan di Yayasan Christopherus yang saya senangi. Harapan saya Christopherus tetap pada visi dan misinya serta sifatnya interdenominasi dan tidak akan berubah menjadi gereja. Harapan lainnya adalah terus berkembang dan menjadi alat kemuliaan bagi Nama Tuhan Yesus Kristus. Amin ! Semarang, 20 Maret 2007 Yonathan Christano (Sudah terlibat dalam pelayanan dan kepengurusan Yayasan Christopherus sejak awal sampai sekarang) Catatan: Kesaksian ini disampaikan dalam Perayaan HUT ke-35 Yayasan Christopherus pada tahun 2007.