Lewat Tengah Malam (Based on True Story)

Setelah melihat istrinya  terlelap, Pdt. Petra (panggil saja demikian) bangkit dari tempat tidur dan  melangkah menuju ke meja bacanya. Sudah lewat tengah malam. Bahkan lewat jam 01.00. Badan sudah capek sekali, tapi dia ingin sekali berdoa. Mengadu kepada Tuhan. Dia buka sedikit daun jendela, di depan  meja bacanya itu. Supaya ada udara segar masuk ke kamar. Dia duduk menghadap ke jendela itu. Melipat tangan. Memejamkan mata. Dia hendak berdoa. Tapi sampai beberapa saat, dia tak berucap kepada Tuhan. Dia tak bersuara kepada Allahnya. Dia diam. Meneduhkan hati. Hati yang sedang bergelora. *** Pak Petra adalah seorang pendeta yang beberapa tahun lagi akan pensiun. Sejak muda dia dikenal orang yang sangat mencintai Tuhan. Aktif dalam pekerjaan-Nya. Kemampuan berbahasa Inggrisnya sangat bagus. Khotbahnya pun memikat banyak orang. Keseriusannya dalam pelayanannya diketahui oleh banyak orang. Baik di gereja lokal, tingkat sinodal maupun internasional. Selain khotbah, dia pun giat menulis. Tulisan-tulisan pembinaan, teologi bahkan juga menerjemahkan pujian-pujian bagi Tuhan. Sulit mencari bandingan dengan Pak Petra. Dia pun dipakai Tuhan untuk memulihkan gereja-gereja yang mengalami perpecahan. Dia terlibat aktif dalam pelayanan oikumene.Di universitas-universitas. Di Persekutuan Gereja-gereja di Indoensia (PGI). Bahkan di daerah pelosok. Untuk urusan khotbah, hampir semua tema yang disampaikannya selalu dilakukan dengan persiapan yang sungguh-sungguh. Ketika melakukan pembinaan kepada kaum muda, dalam sehari dia bisa menyampaikan beberapa makalah. Orang yang mengenalnya tak meragukan kesungguhan pelayanannya. Orang yang mengenalinya tak meragukan bahwa dia dipakai Tuhan menjadi alat-Nya. Pelayanannya diurapi Tuhan. *** Beberapa jam lalu, dia barusan ke ruang praktik dokter. Mengantar istrinya. Di sana dia sungguh terkejut, ketika mendengar diagnosis dokter atas sakit separuh jiwanya. Sakit serius. *** Pak Petra masih menundukkan kepala. Tangannya masih terkatup. Dadanya sesak. Matanya basah. Memikirkan sakit rekan seperjalanan hidupnya. Dengan segala kesesakan di dada, dia bertanya kepada Tuhan: “Ya Tuhan, kurangku iki opo?” (Ya Tuhan, kurangku ini apa?) Diulanginya kalimat di atas dengan isakan, “ Kurangku iki apa Tuhan?” Saat itu suasana hening. Hening sekali. Pak Petra masih menunduk. Masih memejamkan mata. Tiba-tiba beberapa saat kemudian, dia mendengar suara. “Petra, kurang-Ku iki opo? “ Terulang lagi, “Petra, kurang-Ku iki opo karo kowe?” (Petra kurang-Ku  apa kepadamu?) Petra langsung tersungkur dan tersedu-sedu. Ketika dia diperlihatkan, bagaimana Yesus tersalib dengan berdarah-darah demi dia. Bagaimana Yesus berkorban dan menyelamatkan dia. Petra menangis. Dia berkata dalam doanya, “Ampuni aku Tuhan… ampuni hamba-Mu yang tak tahu diri ini!” Kemudian tenang. Hening kembali. Hati Petra teduh. Dia menutup jendela. Lewat tengah malam itu. (Tulisan ini kupersembahkan kepada semua saudaraku, para kekasihku yang dalam pergulatan hidup dan memasuki lorong gelap panjang. Dan barangkali sempat bertanya kepada Tuhan, “Ya Tuhan, kurangku iki opo?”) Setio Boedi/pg

Tiara, Mengapa Kau Menangis?

Tiara termangu. Dia berdiri di dekat pembaringan suaminya. Ranjang di ruang ICU yang paling jauh dari meja para dokter dan suster. Oleh Linda, Tantenya, dia dipeluk. Dirangkul. Diusap kepalanya. Sambil berbisik, “Yang kuat ya Tiara!”        Baru saja dia melihat perjuangan para perawat untuk menyelamatkan David, suaminya dengan  alat kejut jantung, ketika detak jantungnya berhenti. Tapi gagal. David akhirnya meninggal dunia. Sementara para perawat membereskan selang-selang  monitor, ventilator, selang makanan, infus dan  kateter  yang masih melekat di tubuh David, Tiara diajak Linda melangkah menjauhi ranjang itu. Mengurus apa-apa yang perlu ditanda tangani dan diselesaikan guna proses keluarnya jenazah David. Usai  tanda tangan beberapa lembar kertas, jasad David sudah siap dibawa ke kamar jenazah. * Dalam perjalanan ke ruang jenazah itulah, memori  Tiara membongkar ingatan masa lalu. David adalah cinta pertamanya sejak SMA. Dan mereka pun sepakat untuk kuliah di kota yang sama, Jakarta. Betapa indahnya saat itu, bukan hanya menikmati kehangatan cinta tetapi juga bersama-sama melakukan kesepakatan-kesepakatan demi masa depan mereka bersama. Meski  mereka belum menikah, mereka belajar mengelola keuangan bersama. Mengangsur rumah. Mencicil mobil. Semua untuk rencana  berkeluarga. Meski orangtua  termasuk orang berada, mereka pengin tidak terlalu menganggu orangtua. Tapi hidup memang tak bisa diduga. Tak lama dari pernikahan mereka di tahun 2007,  tepatnya setelah bayi Sammy hadir di awal tahun 2009, David kepincut dengan perempuan lain. Kelak Tiara tahu nama perempuan itu, Nia! Akhirnya mereka minggat berdua. Kabarnya saat itu ke Kalimantan. Entah di kota apa. Sedang Tiara  mengisi hari-harinya tetap di sini dengan air mata. Dia rawat dan besarkan Sammy  sendirian, tanpa kehadiran Papanya. * Tekanan hidup sungguh sangat besar bagi Tiara. Memang  biaya hidup tak masalah bagi Tiara, karena ditolong oleh orangtuanya, tetapi tatapan mata teman-teman, tetangga, di mal  bahkan juga di gereja  kadang membuat dia risih di hari-hari itu. Seakan mereka berkata, “Kenapa lelaki loe sampai pergi?” Bertahun-tahun dia  menjalani  hari-hari buruk. Yang entah tidak tahu berhentinya kapan…. Saat itulah dia berjumpa dengan seorang  seorang guru spiritual yang baik.  Yang banyak terjun melayani  masyarakat marjinal. Suatu saat  guru, yang dia panggil Pak Tua itu berkata, “Tiara hidup itu  sejatinya belum tentu  sesuai yang kita pikirkan. Kalau ada orang sehat, banyak duit dan semuanya lancar  itu  katanya berhasil! Belum tentu! Kalau ada orang sakit, miskin, menderita katanya hidupnya gagal! Belum tentu! Kalau ada orang kaya, hidupnya mewah katanya diberkati Tuhan! Belum tentu! Kalau ada orang yang terkena musibah,  sengsara tiada henti katanya dilaknat Tuhan! Juga belum tentu! Di dunia ini  hanya sebagian dari perjalanan. Belum selesai. Keberhasilan atau kegagagalan hidup orang, baru kelihatan jelas ketika masuk dalam alam kekekalan. Jusru itu dalam kefanaan dunia ini, jangan buru-buru berpikir  bahwa orang yang selamanya pendosa akan jadi pendosa terus. Yang selama ini hidup benar, akan seterusnya dia  menjauhi kejahatan! Semuanya itu belum tentu. Jadi yakinlah Tiara atas hidupmu. Jangan berpikir kamu sedang kena murka Allah sehingga kamu menjalaninya dengan berat. Kamu memang menderita ditinggal suami, tapi ini bukan akhir segalanya. Di depan kita semua belum tahu!” “Sepertinya ini Tiara!” ujar Linda membuyarkan lamunan Tiara. Tangan Linda menunjuk kamar jenazah. Di sana sudah hadir beberapa saudara Tiara. Baik saudara kandung dan saudara sepupu. Sementara kakak paling besar dari Tiara, yang banyak mengatur semua. Dengan handphone-nya dia menghubungi  pelayanan jasa kematian yang akan  menolong proses kedukaan. Dia juga menghubungi pihak gereja. * Sementara menanti kedatangan mobil jenazah yang akan membawa tubuh David ke rumah duka, Tiara termangu kembali. Merenungi kehidupannya. Apakah karena dia flegmatik dan David kholerik, sehingga bisa terjadi pernikahan seperti ini?   Dia nrimo saja atas apa yang dilakukan David kepadanya. Ataukah karena  terlampau besarnya cinta Tiara kepada David? Ah, nggak tahulah. Tapi memang ternyata cinta itu buta. Atau bahkan cinta itu bodoh? Tiara mengingat, ketika suatu pagi di tahun 2019 kemarin, David pulang. Tepatnya dipulangkan oleh Nia. Tiara ketemu Nia. Entah kenapa Tiara tak ada dorongan marah atau memaki, saat Nia berkata, “Kak mohon maaf. Ini Pak David minta pulang! Badannya memang kurang sehat. Di tas ini, ada semua rekaman semua pemeriksaannya dan obat-obatnya!” Setelah Nia balik, dia bingung mau ngomong dan bersikap bagaimana kepada David. Sudah sepuluh tahun berpisah, tanpa kabar sama sekali. Wajah David kurus sekali. Dan sangat tampak tidak sehat. Dia buka tas dan baca dokumen-dokumen yang ada. Hasil laborat, rontgen juga obat-obat yang ada dibaca dengan teliti. Ternyata sakit David sudah parah. Gula darahnya  menjadi masalah pertama dan utama, lalu merembet ke ginjal, jantung dan paru. Esok harinya dia langsung membawa David ke rumah sakit. (Sammy bingung Mamanya pergi dengan siapa) Dan sejak hari itulah, David dirawat dengan intensif di rumah sakit. Diinfus! Pun sempat beberapa kali cuci darah. Yang mengejutkan, Tiara  mau  dan sempat beberapa kali memberi makan David. Sayang, seminggu terakhir kondisi David menurun sehingga harus masuk ICU. Dan hari ini dia berpulang. Hampir satu bulan dia dirawat di rumah sakit.   Tak terasa air bening menetes dari kedua sudut mata  Tiara. Dalam hati, dia berkata, “Ya Tuhan kenapa Engkau hanya memberi aku kesempatan sebentar bersama David?” Benarlah yang menyatakan bahwa cinta sejati itu menutupi segala sesuatu. Menutupi kesalahan. Air mata Tiara kian deras. Dia mengambil tisu dan mengelapnya. Linda berkata kepadanya, “Tiara, mengapa kau menangis? David bertahun-tahun membuat derita panjangmu bersama Sammy!” Tiara menjawab di tengah isak tangisnya, “Karena David tetap suamiku Tante! Seburuk-buruknya dia, David merupakan belahan jiwaku dan Papa dari Sammy!” Mobil jenazah datang. Air mata Tiara kian deras. Semarang, 20 Agustus 2020 Setio Boedi