Bangkit Sebagai Yang Sulung

Bacaan Alkitab: ”Tetapi yang benar ialah, bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal.” (1 Korintus 15:20) Konrad Adenauer, mantan kanselir Jerman Barat, berkata, “Jika Yesus Kristus hidup, maka dunia memiliki harapan. Jika tidak, saya tidak dapat melihat seberkas pun sinar harapan bagi dunia.” Kemudian ia menambahkan, “Saya percaya kebangkitan Kristus merupakan salah satu fakta sejarah yang paling sahih.” Kebangkitan Kristus dan kebangkitan kita adalah satu. Demikianlah pemikiran Paulus dalam 1 Korintus 15. Dan jika Kristus tidak bangkit dari kubur, apa yang tersisa? Pengajaran yang kosong (1 Korintus 15:14), kesaksian palsu (1 Korintus 15:15), iman yang sia-sia (1 Korintus 15:17), dosa yang tidak terampuni (1 Korintus 15:17), tidak adanya kehidupan setelah kematian (1 Korintus 15:18), dan tidak adanya harapan (1 Korintus 15:19). Namun, Kristus benar-benar bangkit dari kubur. Paulus menegaskan bukti kebangkitan-NYA dalam ayat 1-11. Ia menyebutkan daftar para saksi terpercaya yang menyaksikan kebangkitan Tuhan: Petrus (ayat 5), 500 orang (ayat 6), semua murid (ayat 7), dan Paulus sendiri (ayat 8). Ketika filsuf Yunani Sokrates terbaring sekarat, teman-temannya bertanya, “Akankah kita hidup lagi?” Ia hanya bisa menjawab, “Saya harap demikian.” Sebaliknya, malam sebelum penulis dan penjelajah Sir Walter Raleigh dipenggal kepalanya, ia menulis dalam Alkitabnya, “Dari bumi ini, kubur ini, debu ini, TUHANku akan membangkitkan aku.” Jika kita memercayai Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, kita tidak akan mengatakan, “Saya harap demikian” mengenai kebangkitan kita. Kebangkitan Kristus memberikan harapan yang pasti kepada kita, bukan semoga, bukan mudah-mudahan. Hikmat hari ini: Kebangkitan Kristus adalah jaminan bagi kebangkitan kita sendiri. Selamat memasuki hari baru hari ini, ”Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus.” (1Korintus 11:1). Tetap jalani protokol kesehatan di era New Normal dengan setia dan tulus hati. Jesus Christ bless you (sp).

KERINDUAN KEPADA ALLAH

Selamat jumpa para Pendukung Kristus, apa kabar? Di kala fajar menyingsing, lihatlah ke arah Timur,  sang mentari menyapa kita penuh persahabatan sebagai pertanda hari baru telah datang. Sudahkah kita mengucap syukur kepada Tuhan atas berkat, kasih, pemeliharaan dan perlindungan-Nya yang sempurna?  Pagi merupakan awal hari dan jika kita mengawali hari dengan benar, dengan mencari wajah Tuhan dan bersekutu dengan-Nya, sebelum memulai segala sesuatunya, kita akan mengalami sukacita, pertolongan, mukjizat dan kekuatan dari Tuhan sepanjang hari.  Pagi hari bisa diibaratkan sebuah fondasi bangunan;  jika kita memulai dengan fondasi yang benar maka bangunan itu akan tetap tegak berdiri dengan kokoh, meskipun ada hujan badai. Hari ini saya mengajak Saudara untuk belajar dari Mazmur 63:1-12. LAI memberi judul perikop tersebut: “Kerinduan kepada Allah.” Sesunggguhnya Mazmur 63  merupakan ungkapan kerinduan Daud kepada Tuhan ketika ia berada di padang gurun Yehuda.  Apa yang dikatakan Daud ini merupakan ungkapan yang benar-benar keluar dari lubuk hatinya yang terdalam.  Mengapa Daud sampai harus pergi ke padang gurun kalau hanya untuk mengungkapkan kerinduannya kepada Tuhan?  Bukankah ia seorang raja?  Tidak cukupkah ia mengungkapkan isi hatinya itu di istananya yang megah, tanpa harus bersusah payah pergi ke padang gurun?  Bagi Daud, kerinduannya kepada Tuhan tak ternilai harganya, tidak bisa diukur dengan materi atau kemewahan yang ia miliki.  Ia pergi ke padang gurun untuk mengingat-ingat bagaimana Allah menyertai dan memberkati nenek moyangnya saat perjalanan menuju ke tanah perjanjian.  “Aku hendak mengingat perbuatan-perbuatan Tuhan, ya, aku hendak mengingat keajaiban-keajaiban-Mu dari zaman purbakala.”  (Mazmur 77:12).  Daud belajar untuk menjadi orang yang tidak sombong walau ia memiliki kedudukan tertinggi di Israel;  ia sadar bahwa semua itu karena Tuhan. Bagaimana dengan kita, seberapa besar kerinduan hati kita kepada Tuhan?  Kerinduan Daud kepada Tuhan tidak hanya digambarkan seperti tanah yang tandus dan kering, tetapi dilukiskan pula seperti rusa yang merindukan aliran sungai (Mazmur 42:2).  Seekor rusa pasti tidak dapat menahan diri apabila ia sudah haus akan air.  Bahkan rusa-rusa itu tidak peduli terhadap bahaya yang mengancam (mungkin ada binatang buas yang hendak memangsanya) apabila ia sudah ingin menikmati kesejukan air sungai.  Begitu pula kerinduan hati Daud kepada Tuhan, tidak ada seorang pun yang dapat menahan atau menghalangi dia untuk bertemu dengan Tuhan.  Hal ini bukan karena kedudukan dia sebagai raja yang berkuasa, sehingga tak seorang pun bisa menghentikan niatnya, tetapi itu karena kekuatan cintanya yang luar biasa kepada Tuhan.  Marilah kita pun memiliki hati yang rindu, haus dan lapar kepada Tuhan.  Selagi ada kesempatan mari kita kejar hadirat Tuhan!  Yesaya berpesan, “Carilah Tuhan selama Ia berkenan ditemui;  berserulah kepada-Nya selama Ia dekat!” (Yesaya 55:6). Coba bertanya kepada diri kita masing-masing,  seberapa besar kerinduanku kepada Tuhan? Berikut ungkapan kerinduan Daud kepada Tuhan, “Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau, jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku rindu kepada-Mu, seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair.”(Mazmur 63:2). GBU & Fam. (pg).

TUHAN CAMPUR TANGAN MEMBENTUK SAYA

Saya masih ingat benar, pada tahun 1977 orangtua saya bercerai,  saat saya masih berusia 4 tahun bersama kakak dan dua adik saya, yang saat itu masih di bawah 5 tahun. Saya terima keputusan mereka dan saya harus berpisah dengan mama dan adik bungsu yang masih bayi. Dari Solo kami pindah ke Bandung, memulai hidup baru dengan papa sebagai single father. Dia begitu sayang kepada kami, antara bekerja dan merawat kami dengan bantuan seorang pembantu dari Solo yang kami panggil dengan sebutan Mbok. Meski cuma 3 tahun, masa kecil saya di bawah asuhan papa sangat indah, sampai tahun 1980 papa memutuskan untuk keluar negeri untuk mencari peluang pekerjaan yang lebih baik. Papa menitipkan kami di bawah asuhan orangtuanya di Semarang dengan janji dalam satu tahun kami akan dijemput lagi. Kakek dan nenek saya dan keluarga besar Papa meski Kristen memiliki gaya tentara dalam pengasuhan anak, karena terpengaruh budaya Belanda. Tahun berganti tahun, Papa tidak kembali, saya dan saudara-saudara sangat tertekan. Sebagai anak perempuan, saya sangat merindukan Papa. Saat umur 7 tahun terlintas keinginan untuk mati saja karena saya tidak tahan hidup jauh dari Papa. Keadaan kami sangat miskin, saya ingat jelas, kami kadang cuma makan nasi dan kecap, kalau air mati, kami tidak bisa mandi. Saat sekolah, kami tidak punya sepatu. Sepatu rusak, saya harus ikat dengan gelang karet. Dan Nenek sudah berusaha untuk merawat kami meski tubuhnya lemah dan keuangan sangat terbatas, akhirnya harus mencari jalan lain. *** Nenek sangat aktif ikut persekutuan dan Beliau rajin ikut persekutuan di rumah Pak Adi Sutjipta di jalan Imam Bonjol. Kami selalu ikut ke mana Nenek pergi, karena kakek lebih tidak sabar lagi untuk menjaga kami. Semua saudara-saudara Papa sudah memiliki keluarga masing-masing dan kemampuan ekonomi mereka sangat terbatas sehingga tidak punya kemampuan untuk mengasuh kami bertiga. Pada tahun 1984-an, Pak Adi memperkenalkan  Nenek saya diperkenalkan dengan panti asuhan Christopherus. Saya sangat sedih saat saya ditinggal oleh Nenek  di panti asuhan. Saya menangis karena sudah berpisah dari Mama, dari Papa, akhirnya saya pun harus berpisah  dengan saudara dan nenek  yang meski galak, dia sayang kepada saya. Tetapi suster Christine yg sangat tinggi dan murah senyum dan suster Margrit yang rambutnya putih dan keriting dan sangat ramah menyambut saya dengan penuh cinta. Saat itu ada suster Indonesia juga, suster Lydia dan suster Puryati. Mereka menjadi pengganti Papa dan Mama selama 9 tahun di panti asuhan. Saya adalah anak perempuan ketiga yang diterima di Panti Asuhan Christopherus (PA Chp). Meski masih umur 11 tahun, saya merasa paling besar di panti. Saya belajar ikut rutinitas dan aktivitas PA, termasuk membantu memasak, membersihkan kamar, menyapu kebun dan lain-lain. Setiap hari kami harus lakukan tugas masing-masing. Saya mulai betah, karena kebutuhan fisik saya terpenuhi, saya bisa makan dengan baik 3 kali sehari dan ada morning tea dan afternoon tea, dan kadang ada special dessert yang suster Margrit buat. Perlahan saya merasakan panti adalah rumah saya dan anak-anak di panti adalah kakak dan adik saya. Saya jadi berubah dalam waktu setahun di PA, nilai sekolah membaik, saya menemukan banyak kelebihan yang saya miliki seperti kesukaan menggambar atau seni seperti drama dan menulis puisi, merangkai bunga, dan menyanyi. Suster Christine terutama memberi banyak perhatian pada keadaan emosi saya, karena trauma masa kecil, saya merasa sangat minder, malu,dan tidak percaya diri. Saya perlahan-lahan punya harga diri yang membaik, saya merasa diterima, dicintai dan dijaga dengan kasih. Saya belajar berteman, belajar memimpin, belajar melayani dan belajar mengampuni adalah sesuatu yang saya tanamkan terutama hidup di keluarga besar di panti Asuhan. Sembilan tahun di panti meski saya sudah beradaptasi baik dan merasa sangat betah, kadang saya merasa kuatir dan berharap hidup saya berubah dengan mengharapkan untuk ketemu papa lagi. Saya sangat takut dan khawatir akan masa depan saya, terutama karena saya sudah SMA saat itu, dan PA tidak mungkin akan membiayai biaya kuliah. Saya banyak berdoa dan belajar pegang akan janji Tuhan di Yeremia 29:11 dan Kitab Pengkhotbah 3: 11. Di tahun 1990 waktu saya kelas SMA satu, saya dibaptis dan suster Christine memperbolehkan saya memilih nama baptis sendiri, dan saya pilih Yoela, yang berarti Tuhan menolong. Saya mulai aktif melayani di Komisi Remaja Ebenhaezer di GKMI Semarang sampai saya lulus SMA, dari pelayanan musik ke pengurusan remaja. Satu titik poin di masa remaja saya, saya mulai menyadari panggilan saya untuk menjadi seperti suster Christine, suster Margrit dan suster Puryati yang mengabdikan hidup mereka untuk melayani Tuhan di PA. Di kaum remaja saya belajar leadership skill dan saat retret remaja, saya tertarik dengan penyelesaian studi kasus, di bawah bimbingan pengurus remaja saat itu. Tuhan sudah menanamkan benih-benih masa depan di hati tanpa saya sadari. Setelah lulus SMA Karangturi di tahun 1992 tepatnya bulan Oktober, impian saya terkabulkan, saya akhirnya bisa ke Sydney Australia untuk bisa berkumpul dengan Papa dan Kakak saya. Momentum yang sangat penting saat saya mulai beradaptasi di kehidupan dan negara yang baru. Ternyata kehidupan di Sydney tidak semudah yang selalu saya impikan, Papa meski masih sayang dengan saya telah mempunyai istri lagi yang tidak bisa menerima saya. Dan saya mengerti saat itu mengapa sembilan tahun di PA sangat penting di kehidupan saya, untuk mempersiapkan pribadi saya dengan masa-masa yang lebih sulit di negara asing. *** Perjalanan hidup saya berhasil semata hanya kasih anugerah Tuhan. Benih- benih cinta, kasih dan iman yang tertanam saat saya di PA bertumbuh kuat di kepribadian saya. Kerinduan untuk melayani Tuhan di bidang anak-anak yang mengalami trauma juga sudah terwujud sejak saya masih remaja. Selama 20 tahun lebih saya terlibat di Children dan Youth Ministry di berbagai gereja, lalu saya meniti  karier selama beberapa tahun dengan berkecimpung di pendidikan anak- anak di kindergarten dan penitipan anak, dilanjutkan bekerja di Fusion, menolong anak-anak muda dari broken home yang menjadi orangtua muda (young parents). Di situlah saya memulai karier saya di case worker dan pekerjaan sosial selama 8 tahun. Saat bekerja di organisasi Fusion, Tuhan wujudkan impian saya untuk menulis buku yang saya dedikasikan kepada suster-suster yang mengasuh saya dan untuk single mothers di Fusion. Buku ini diinspirasi oleh tulisan puisi saya waktu saya masih SMP, yang …

Masih Ada Harapan

Bacaan Alkitab: ”Maka berangkatlah Petrus dan murid yang lain itu ke kubur. Keduanya berlari bersama-sama, tetapi murid yang lain itu berlari lebih cepat dari pada Petrus sehingga lebih dulu sampai ke kubur.” (Yohanes 20:3,4) Tatkala hari gelap yang mewarnai penyaliban Yesus berakhir, tampaknya segala yang terindah dalam kehidupan ini telah berakhir pula. Selama beberapa tahun yang singkat, Kristus telah membuat takjub banyak orang dan para pengikut-Nya melalui hikmat pengajaran serta mukjizat-Nya yang luar biasa. Namun Yesus memilih untuk tidak menyelamatkan diri-Nya dari kayu salib, dan kini kehidupan-Nya telah berakhir. Tampaknya tak ada lagi yang dapat diharapkan dari diri-Nya. Namun, pengharapan tersebut kembali muncul pada pagi-pagi benar di hari pertama kebangkitan-Nya. Sebuah lukisan karya Eugene Burnand menggambarkan Petrus dan Yohanes sedang berlari-lari menuju kubur Yesus. Tak lama setelah fajar menyingsing, Maria Magdalena memberitahu mereka bahwa ia dan teman-temannya telah mendapati kubur Yesus tersebut telah kosong. Dalam lukisan Burnand, wajah Petrus dan Yohanes tampak sangat sedih sekaligus lega, berduka sekaligus terkejut. Dengan putus asa dan keheranan mereka berlari menuju kubur Yesus. Tatapan mata mereka yang tampak penuh kesungguhan telah menarik perhatian orang-orang lain untuk mengarahkan pandangan ke kuburan tersebut. Apa yang mereka jumpai? Kubur Yesus yang telah kosong, Sang Juruselamat telah bangkit! Kristus tetap hidup. Namun banyak dari kita yang menjalani hidup ini dari hari ke hari seolah-olah Dia masih berada di dalam kubur. Alangkah lebih baik bila kita mengarahkan pandangan melintasi kubur yang kosong kepada Pribadi yang dapat memenuhi hidup kita dengan kuasa kebangkitan-Nya!  Hikmat hari ini: Kurban Jumat Agung itu menjadi pemenang di hari Paskah. Selamat memasuki hari baru hari ini, ”Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?” (1Korintus 15:55). Tetap jalani protokol kesehatan di era New Normal dengan setia dan tulus hati. Jesus Christ bless you (sp).

DON’T JUGDE A BOOK BY ITS COVER

Selamat jumpa para Pendukung Kristus, apa kabar? Semoga hari iniDON kita tetap energik menjalani dan menikmati masa tua kita, karena Tuhan menilai seseorang tidak dari penampilan fisiknya, tapi dari hatinya. Tuhan tetap bersama-sama dengan kita dalam menjalani hidup di usia senja. Ia tetap menggendong, mengasihi, dan memelihara kita walau rambut kita sudah memutih semua. (Yesaya 46:4) Masih ingatkah teman-teman  dengan idiom dalam bahasa Inggirs yang berbunyi, “Don’t jugde a book by its cover” (Jangan menilai seseorang hanya dengan melihat penampilannya, apalagi bila belum mengenalnya). Tapi cukup banyak diantara kita yang menjadikan faktor fisik  menjadi faktor utama dalam menilai sesamanya. Karena itu tidak usah heran kalau operasi plastik di Korea Selatan, Thailand, dan di banyak tempat yang lain begitu berkembang sangat cepat. Untung Tuhan tidak berlaku demikian, “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.”  (1 Samuel 16:7).  Bagi Tuhan hal-hal jasmaniah sama sekali tidak masuk penilaian!  Yang Tuhan nilai adalah hati.  Ini berbicara tentang kerohanian atau karakter.  Hari ini saya mengajak Saudara belajar dari Timotius. Rasul Paulus bertemu dengan Timotius untuk pertama kalinya saat ia berada di Listra.  Timotius adalah pemuda yang memiliki reputasi yang baik di daerahnya.  Ia memiliki latar belakang keluarga yang takut akan Tuhan.  “… ibunya adalah seorang Yahudi dan telah menjadi percaya, sedangkan ayahnya seorang Yunani.”  (Kisah 16:1b).  Tidak hanya itu, neneknya (Lois) juga seorang percaya.  Adalah sangat tepat jika Paulus memilih Timotius untuk menjadi rekan dalam pelayanannya.  Dan sudah terbukti, Timotius begitu setia menjalanankan tugasnya sebagai seorang pelayan Tuhan. Karena ketekunan dan kesetiaannya mengerjakan tugas yang dipercayakan, Timotius beroleh promosi dari Tuhan dan ia dipercaya sebagai pemberita Injil serta menggembalakan jemaat di Efesus.  Sungguh benar,  “…bukan dari timur atau dari barat dan bukan dari padang gurun datangnya peninggian itu, tetapi Allah adalah Hakim:  direndahkan-Nya yang satu dan ditinggikan-Nya yang lain.” (Mazmur 75:7-8).  Perhatikan pernyataan Paulus tentang Timotius:  “…aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas,…”  (2 Timotius 1:5).  Hal ini menunjukkan bahwa Timotius memiliki iman yang tulus, tidak ada kepura-puraan atau keterpaksaan.  Paulus juga menambahkan,  “…tak ada seorang padaku, yang sehati dan sepikir dengan aku dan yang bersungguh-sungguh memperhatikan kepentinganmu;  sebab semuanya mencari kepentingannya sendiri, bukan kepentingan Kristus Yesus.  Kamu tahu bahwa kesetiaannya telah teruji dan bahwa ia telah menolong aku dalam pelayanan Injil sama seperti seorang anak menolong bapanya.”  (Filipi 2:20-22). Timotius memiliki karakter yang tidak perlu disangsikan lagi:  setia, suci, tulus ikhlas, berhati hamba, peduli akan orang lain dan sangat terbeban terhadap pekerjaan Tuhan.  Karakter seperti Timotius inilah yang Tuhan cari!  Ingatlah! Sebagai pengikut Kristus kita wajib memiliki karakter seperti Kristus.  Karakter inilah yang membedakan kita dengan orang-orang di luar Tuhan.  Karakter Kristus terbentuk di dalam kita melalui proses yang harus kita jalani seumur hidup.  Karena itu milikilah hati yang rela diubah dan dibentuk Tuhan.  “Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya. Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku.” (Yohanes 15:7-8). GBU & Fam. (pg)

Walau Hancur DIA Hidup

Bacaan Alkitab: “Kepada mereka Ia menunjukkan diri-Nya setelah penderitaan-Nya selesai, dan dengan banyak tanda Ia membuktikan, bahwa Ia hidup. …” (Kisah Para Rasul 1:3a) Ketika menara World Trade Center (WTC) runtuh disertai suara gemuruh bangunan yang hancur berkeping-keping, warga kota New York mengalami apa yang sudah dialami oleh banyak orang dari belahan dunia lain, yaitu ketakutan akan terorisme. Berbagai serangan susulan di negara-negara lain telah meningkatkan keprihatinan bahwa umat manusia mungkin sedang menuju kehancuran diri. Semua kerusuhan di dunia mungkin membuat kita berpikir bahwa masa depan kita tampak begitu suram. Kita bahkan mungkin menyimpulkan bahwa dunia ini bukanlah tempat yang layak untuk membesarkan anak-anak. Meskipun demikian, tetap ada secercah cahaya pengharapan yang dapat menerangi pandangan kita akan masa depan. Bill Gaither menggambarkan hal itu dalam lagunya yang berjudul “S’bab Dia Hidup”. Gagasan tentang lagu itu muncul di kepalanya pada akhir tahun 1960-an. Saat itu sedang terjadi kerusuhan sosial di AS dan konflik di Asia Tenggara. Istrinya, Gloria, sedang hamil, dan mereka berpendapat bahwa saat itu bukanlah saat yang tepat untuk melahirkan seorang anak ke dunia. Namun ketika anak laki-lakinya lahir, Bill berpikir tentang Juruselamat yang hidup, lalu kata-kata ini melintas di dalam benaknya: “Anak ini dapat menghadapi hari-hari yang tidak pasti karena Dia hidup.” Dua ribuan tahun yang lampau Yesus Kristus bangkit dari kubur dan memberikan banyak tanda bahwa Dia hidup (Kisah Para Rasul 1:3). Karena itu, kita dapat terus melangkah saat menghadapi ketakutan. Sebab Yesus Kristus hidup, kita dapat menghadapi hari esok.  Hikmat hari ini: Kubur Kristus yang kosong memenuhi kita dengan harapan. Selamat memasuki hari baru hari ini, Tuhan Yesus bersabda: “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Matius 28:20b). Tetap jalani protokol kesehatan di era New Normal dengan setia dan tulus hati. Jesus Christ bless you. (sp).

SAAT TEDUH MENJADI GAYA HIDUP

Selamat jumpa para Pendukung Kristus , apa kabar? Siapa yang mau menjadi orang yang berbahagia? Pemazmur berkata bahwa orang yang berbahagia ialah orang yang suka akan firman Tuhan dan merenungkan firman Tuhan siang dan malam (Mazmur1:1-2). Lebih lanjut Pemazmur menyatakan keberadaan orang yang tinggal dalam firman  “…seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.”  (Mazmur 1:3). Wouw! … Ternyata kunci untuk menjadi orang yang berhasil adalah tinggal di dalam firman. Banyak orang, termasuk saya,  berpikir bahwa keberhasilan hidup seseorang sangat ditentukan oleh kecerdasan intelektual atau kecerdasan dalam bidang akademik  (IQ)  sepenuhnya.  Benarkah?  Ternyata tidak. Riset  menunjukkan bahwa kecerdasan intelektual  (IQ)  ternyata hanya menyumbang 20% dari keberhasilan seseorang, sedangkan 80% sisanya ditentukan oleh faktor lain yaitu kecerdasan emosional  (EQ).  Kecerdasan emosional  (EQ)  adalah kemampuan untuk mengenali, memahami dan mengelola emosi kita sendiri dan emosi orang lain secara positif.  Karena itu orang yang memiliki kecerdasan emosional  (EQ)  tinggi akan mampu berkomunikasi lebih baik, membentuk hubungan yang lebih kuat dan mencapai sukses yang lebih besar di tempat kerja ataupun dalam kehidupan sehari-hari lainnya.Kecerdasan emosional  (EQ)  berbicara tentang karakter atau perilaku hidup seseorang.  Bagi orang percaya pedoman utama untuk meningkatkan kecerdasan emosional  (EQ)  adalah Alkitab, sebab  “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (2 Timotius 3:16).  Penting sekali memiliki pengenalan yang benar tentang firman Tuhan.  Ada tertulis:  “Umat-Ku binasa karena tidak mengenal Allah; karena engkaulah yang menolak pengenalan itu maka Aku menolak engkau menjadi imam-Ku; dan karena engkau melupakan pengajaran Allahmu, maka Aku juga akan melupakan anak-anakmu.”  (Hosea 4:6).  Nah, untuk memiliki pengenalan yang benar tentang firman Tuhan, tidak ada cara yang lain,  kita harus menyediakan waktu untuk membaca, mempelajari dan merenungkan firman Tuhan. Kita perlu mendisiplin diri untuk bersaat teduh. Jadikan saat teduh sebagai gaya hidup. Pilihlah waktu yang paling tepat, boleh pagi, boleh siang atau malam. Saat teduh menjadi saat yang menyenangkan, seperti Daud yang berkata,  “…Taurat-Mu adalah kegemaranku.”  (Mazmur 119:77). Ingatlah! “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” (Mazmur 119:105). GBU & Fam. (pg).

Dialah Pusat Kehidupan Ini

Bacaan Alkitab: Jawab Yesus: “Akulah kebangkitan dan hidup; barang siapa percaya kepada-KU, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, …”  (Yohanes 11:25) Dalam upacara pemakaman seorang jemaat, Pendeta Eloy Pacheco mengatakan bahwa Yesus adalah satu-satunya sumber penghiburan yang abadi. Kemudian datanglah seorang wanita kepadanya dan berkata, “Semua pendeta memang sama saja. Yang selalu Anda bicarakan hanyalah Yesus, Yesus, Yesus!” “Benar,” jawab Pendeta itu dengan ramah. “Namun, penghiburan seperti apa yang bisa Ibu berikan kepada keluarga yang sedang berkabung?” Ibu itu terdiam sebentar, kemudian menjawab, “Anda benar. Setidaknya Anda mempunyai Yesus.” Cepat atau lambat orang yang kita cintai akan meninggal, dan kita ingin dihibur. pelukan, ungkapan belasungkawa dan air mata, serta kehadiran seorang teman, bisa sedikit meringankan penderitaan yang begitu pedih. Namun, semua ini tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan kita yang paling mendesak: *Apa yang terjadi setelah kematian? Di manakah orang yang kita cintai itu sekarang? Apakah kita akan dipersatukan kembali di surga? Bagaimana saya bisa mendapat kepastian mengenai kehidupan kekal? Jawaban atas semua pertanyaan itu ada pada diri Tuhan Yesus Kristus. Dia-lah yang telah mengalahkan dosa dan kematian dengan wafat di kayu salib bagi kita dan bangkit dari kubur (1 Korintus 15:1-28, 57). Karena DIA hidup, semua yang beriman kepada-Nya akan hidup selamanya (Yohanes 11:25). Ketika orang yang percaya kepada Kristus meninggal, kita yang ditinggalkan bisa menemukan penghiburan dan menaruh kepercayaan kepada-Nya. Maka marilah kita tetap membicarakan Yesus. DIA-lah Pusat Kehidupan Ini. Hikmat hari ini: Dalam hidup dan mati Yesus Kristus satu-satunya harapan kita. Selamat memasuki hari baru hari ini, Selamat beraktivitas. Tetap jalani protokol kesehatan di era New Normal dengan setia dan tulus hati. Jesus Christ bless you (sp)

MENJADI KEPANJANGAN TANGAN TUHAN

Selamat jumpa para Pendukung Kristus, apa kabar? Salam sehat dan kompak-kompak selalu. Semoga di hari ini kita masih tetap bisa bersyukur. Masih bisa merasakan kasih dan campur tangan Tuhan dalam kehidupan kita. Kalau Tuhan masih membuka kesempatan bagi kita untuk menikmati hidup di dunia sampai hari ini, tentu Ia mempunyai maksud dan tujuan. Salah satu tujuan-Nya, supaya kita mau menjadi kepanjangan tangan dan kaki-Nya untuk menolong saudara-saudara kita yang saat ini sedang menanti-nantinya uluran tangan-Nya. Tuhan rindu, kita mau mendengar panggilan-Nya. Ia memanggil kita untuk menjadi berkat dan kesaksian bagi orang lain, bukan lagi hidup untuk diri sendiri atau mementingkan diri sendiri.   Saudara, pengalaman hidup saya bercerita bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya perpecahan dalam kehidupan keluarga, gereja, lembaga, yayasan, perusahaan dan organisasi kemasyarakatan adalah sikap mementingkan diri sendiri.  Mementingkan diri sendiri disebut pula selfish atau juga egois, yang dalam kamus  Webster  didefinisikan:  memerhatikan diri sendiri secara tidak pantas atau secara berlebih-lebihan, mendahulukan kenyamanan dan keuntungan diri sendiri tanpa memerhatikan, atau dengan mengorbankan kenyamanan dan keuntungan orang lain. Kita perlu menyadari, ketika seseorang mementingkan dirinya sendiri, ia akan menjadikan dirinya sebagai pusat dan tidak lagi mempedulikan kepentingan dan perasaan orang lain.  Inilah yang menjadi sumber dari banyak kekacauan dan kejahatan, “Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat.”  (Yakobus 3:16). Orang yang mementingkan diri sendiri pasti sulit menjalin kerjasama dengan orang lain sebagai anggota tim di dalam menyelesaikan sebuah tugas.  Orang yang mementingkan diri sendiri juga cenderung mudah marah, tersinggung serta tidak bisa menguasai diri.  “Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan.”  (Mazmur 37:8).  Orang yang egois memiliki kecenderungan menghakimi dan mencela orang lain karena menganggap diri sendiri paling benar dan tidak pernah salah.  Rasul Paulus mengingatkan,  “Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri; maka ia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain.”  (Galatia 6:4).  Sebagai orang percaya kita harus membuang jauh sifat mementingkan diri sendiri agar kita tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Dalam segala perkara marilah senantiasa meneladani Kristus,  “…Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan,…dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.” (Filipi 2:1, 3, 4). Ingatlah! Ini dia kuncinya: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.”  (Matius 7:12). GBU & Fam. (pg).