Be a HUMBLE Person

Be a HUMBLE Person

RENDAH HATI. Rendah hati merupakan sebuah  SIFAT (karakter)  sekaligus sebuah SIKAP (perilaku). Rendah hati disebut sifat karena rendah hati berada di wilayah pikiran dan hati yang berperan besar dalam menghasilkan perilaku manusia. Rendah hati disebut perilaku karena rendah hati harus terwujud dalam perilaku-perilaku tertentu yang oleh masyarakat umum dikenal sebagai tanda-tanda orang yang rendah hati. 

Dengan demikian rendah hati  muncul apabila keduanya menyatu dan saling melengkapi seperti 2 sisi pada satu koin. Kita tidak dapat mengatakan seseorang itu rendah hati apabila kita tidak melihat perilaku-perilaku rendah hati dalam hidupnya. Sebaliknya, kita juga tidak serta merta dapat menyimpulkan bahwa seseorang itu rendah hati melalui perilaku-perilakunya karena ada kemungkinan sikap atau perilakunya itu merupakan suatu rekayasa dan bukan merupakan dorongan alamiah dari hatinya.

Di tengah zaman yang penuh kompetisi seperti saat ini, sangatlah sulit untuk menemukan orang yang rendah hati. Bahkan, ada sebagaian orang berpendapat bahwa rendah hati sudah tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi saat ini karena dianggap sebagai salah satu penghalang keberhasilan, sehingga rendah hati mulai ditinggalkan oleh sebagian orang. Keinginan sebagian besar orang untuk “menjadi seseorang” dan menolak untuk menjadi “bukan siapa-siapa” diduga menjadi pemicunya. Ada dorongan yang sangat kuat dalam diri setiap orang untuk menjadi penting, menjadi berarti dan mendapat pengakuan dari lingkungan sekitarnya.

Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab Daniel dengan topik: “Be a HUMBLE Person (Menjadi Orang yang RENDAH HATI)”. Bacaan Sabda diambil dari Daniel 2:1-49 dengan penekanan pada ayat 46-49. Sahabat, sebuah keberhasilan selalu disambut dengan sukacita. Setelah Daniel berhasil menafsirkan mimpi Nebukadnezar, semua orang bergembira. Di sini kita dapat membayangkan ekspresi sukacita kaum bijak yang luput dari kematian dan kelegaan yang didapatkan oleh raja atas terjawabnya mimpi tersebut. Demikian pula dengan Daniel yang ikut serta merasakan sukacita semua orang.

Sukacita dan kelegaan mendorong Raja Nebukadnezar sujud dan menyembah Daniel (ayat 46). Tindakan raja sangat mengherankan. Mengapa Daniel yang manusia biasa disembah dan disediakan kurban serta bau-bauan. Apakah dia sudah diperlakukan sebagai Allah? Sebagai orang Yahudi, semestinya Daniel menolak hal itu. Sebab di mata orang Yahudi penyembahan itu hanya diperuntukkan kepada Allah. Di sini kita perlu melihat dengan jeli dan menafsirkan tindakan Nebukadnezar sebagai pengakuan pribadi bahwa Allah Daniel adalah Allah yang hidup. Di mata Nebukadnezar, Allah Israel mengatasi segala allah yang ada di dunia. Ia adalah Allah yang berkuasa atas segala raja dan berkuasa memberi dan menyingkapkan segala rahasia (ayat 47).

Sahabat, sebagai imbalan atas jasa Daniel, raja menganugerahkan banyak hadiah dan memberikan kewenangan kepada Daniel untuk menjadi penguasa di seluruh wilayah Babel (ayat 48). Siapakah yang tidak gembira mendapatkan anugerah yang berkelimpahan? Yang terjadi adalah Daniel menyerahkan dan memercayakan kekuasaan dari raja kepada para sahabatnya (ayat 49). Mungkin kita bertanya, mengapa Daniel menolak kekuasaan itu? Karena semua kerajaan di dunia tidak abadi dan akan hancur seperti makna mimpi Nebukadnezar. Hanya kerajaan Allah saja yang akan berdiri tegak dan abadi. Alasan inilah yang menjadi dasar pertimbangan Daniel.

Keputusan Daniel merupakan cermin kerendahan hati. Sikap tersebut memperlihatkan bahwa semua kekayaan dan kekuasaan dunia bersifat fana. Sebab yang kekal hanyalah Allah dan kerajaan-Nya. Sikap ini mengantar kita untuk memuliakan-Nya. Maukah Sahabat dan saya  menjadi orang yang rendah hati. Haleluya! Tuhan itu baik.

Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini:

  1. Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu pada hari ini?
  2. Apa yang Sahabat pahami dari ayat 20?

Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Hidup makin bijaksana dalam segala keadaan dan situasi sehingga kita mampu hidup benar sekalipun dunia sekitar kita cemar. (pg).

Renungan Lainnya