B A N J I R

B A N J I R

Saudaraku, kejadian banjir di beberapa wilayah di Pulau Jawa mestinya bisa dipetakan karena rutin. Seperti banjir di kawasan Bukit Duri Jatinegara Jakarta, jalur Semarang – Sayung, sekitar Semarang Stasiun Tawang, daerah aliran Sungai Bengawan Solo di Bojonegoro, dan beberapa daerah lainnya.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa kejadian-kejadian rutin ini berulang sehingga dapat disebut force majeur? Adakah upaya Pemerintah dan warga untuk mengatasi atau mengurangi banjir rutin ini? Atau hanya pasrah dan setiap tahun mesti menganggarkan bansos untuk tempat-tempat yang rutin banjir itu?

Di zaman Pak Harto ada upaya membuat waduk Gajah Mungkur untuk mengendalikan luapan Bengawan Solo sejak hulu. Gubernur Sutijoso membuat Banjir Kanal Timur untuk mengurangi air sungai yang melimpah ke Jakarta, dilanjutkan Ahok yang menata Sungai Ciliwung hingga menggusur puluhan rumah di Jatinegara untuk membuat akses sungai ke Banjir Kanal Timur. Ini dia yang mungkin kurang diingat, Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1879 membangun Banjir Kanal Barat Semarang dan pada tahun 1889 membangun Banjir Kanal Timur Semarang. Apakah di zaman itu sudah ada excavator, traktor dan dump truck?

Memang banyak usaha yang dilakukan pemerintah bagi warga untuk mengatasi banjir, dan mestinya warga dapat menjaga kelangsungan proyek yang sudah ada. Namun berjalannya waktu dan pergantian kepemimpinan sering warga lupa dan melakukan tindakan-tindakan yang merusak lingkungan, seperti pembuangan sampah ke sungai, pembangunan perumahan di sekitar aliran sungai yang menyedot banyak air tanah sehingga permukaan tanah turun. Mungkin orang berpikir banjir hanya terjadi sesekali, bukan rutin bulanan, saat banjir tidak lama, dan banjir pasti diakibatkan oleh perubahan cuaca, apalagi saat banjir pasti ada bansos.

Saudaraku, saat aku menulis renungan ini, banjir di beberapa daerah di Jawa Tengah belum surut juga. Hujan masih sering turun, bahkan disertai dengan angin yang cukup deras. Tuhan berbisik lembut agar aku merenungkan Mazmur 46:1-4. 

Sesungguhnya setiap orang memiliki pergumulannya masing-masing. Tidak seorang  pun dari kita manusia yang bisa melepaskan diri dari pergumulan dan kesesakan hidup. Kehidupan yang tanpa masalah adalah sebuah kemustahilan. Sebagai orang percaya, kita pun tak luput dari problematika kehidupan. Pergumulan bisa saja datang silih berganti. Namun, hanya satu yang tetap, yakni Tuhan sumber pertolongan kita.

Bangsa Israel selalu berpegang teguh pada satu keyakinan. Mereka percaya bahwa Allah adalah sumber pertolongan serta perlindungan. Keyakinan ini, oleh Pemazmur, digambarkan dengan Allah sebagai “Kota Benteng”. Artinya, Allah, selayaknya benteng, akan selalu berdiri teguh melindungi manusia dari mara bahaya. Ia adalah penolong dalam kesesakan.

Bahkan, Pemazmur melukiskan Allah dengan cara yang dahsyat. Ia mengatakan sekalipun bumi berubah dan gunung-gunung berguncang manusia akan tetap merasa aman (Ayat 3-4). Biarpun perang berkecamuk dan bangsa-bangsa saling menghancurkan, Allah akan menjadi Kota Benteng yang teguh. Ia akan tetap menjaga orang-orang yang berdiam di dalamnya. Bahkan pada akhirnya, Ia akan mendatangkan kedamaian pada dunia.

Dalam hidup ini, pergumulan hebat pasti pernah menimpa kita. Dalam kondisi itu, mungkin reaksi kita adalah pergi menjauhi Allah. Kita bahkan mungkin melancarkan protes kepada-Nya atas keadaan yang terjadi. Alih-alih masuk dalam dekapan Allah, Sang Kota Benteng yang teguh, kita malah dengan sengaja pergi menjauhi-Nya.

Saudaraku, pada hari ini, kita diingatkan oleh Pemazmur. Ia menasihati agar kita yakin dengan iman yang teguh kepada Allah pada saat kita mengalami pergumulan hidup, himpitan hidup, dan kesesakan hidup. Ia adalah Kota Benteng yang teguh sehingga di dalam Allah saja kita berdiam, merasa aman, tenteram, dan damai. (Surhert)

Renungan Lainnya