SUKACITA DALAM PENYERTAAN ROH KUDUS

Eric Liddell, seorang pelari asal Skotlandia yang dijuluki “The Flying Scotsman,” dikenal sebagai seorang atlet yang mengutamakan imannya lebih dari segalanya. Pada Olimpiade Paris 1924, Eric memutuskan untuk tidak bertanding di nomor lari 100 meter nomor andalannya karena jadwalnya jatuh pada hari Minggu, yang dianggapnya sebagai hari kudus untuk Tuhan. Keputusan ini mengejutkan dunia, tetapi Eric Lidell tetap berpegang pada keyakinannya. Meski demikian, Tuhan memberi dia kemenangan luar biasa di nomor 400 meter, di mana ia mencetak rekor dunia.  Eric Lidell selalu mengatakan bahwa sukacita sejati datang dari mengikuti kehendak Tuhan dan merasakan kehadiran-Nya di setiap langkah hidup. Bahkan saat menjadi misionaris di Tiongkok di tengah perang, Eric Lidell tetap memancarkan sukacita yang berasal dari Roh Kudus. Kisah Eric Liddell mengingatkan kita bahwa sukacita sejati tidak tergantung pada keadaan atau pencapaian duniawi, melainkan pada kehadiran Allah yang menyertai kita. Dalam Roma 15:13, Rasul Paulus menuliskan,”Semoga Allah, sumber pengharapan, memenuhi kamu dengan segala sukacita dan damai sejahtera dalam iman kamu, supaya oleh kekuatan Roh Kudus kamu berlimpah-limpah dalam pengharapan.”.  Di ayat tersebut Rasul Paulus menekankan bahwa Allah (melalui Roh Kudus) memberikan sukacita dan damai sejahtera yang melampaui segala situasi. Seperti Eric Lidell yang tetap memancarkan sukacita meski berhadapan dengan tantangan berat, kita pun bisa memiliki sukacita sejati ketika hidup kita dipenuhi oleh kekuatan Roh Kudus. Penyertaan-Nya membawa harapan baru yang menguatkan kita untuk melangkah dengan iman, bahkan di tengah badai hidup.  Jadi hidup dalam penyertaan Roh Kudus berarti memilih untuk bersukacita meski dalam pergumulan. Kekuatan-Nya memberi kita pengharapan yang melimpah, seperti pelari yang tidak pernah kehilangan semangatnya meskipun berada di lintasan yang berat. Ingatlah selalu bahwa  sukacita sejati bukanlah sekadar keberhasilan, tetapi berjalan bersama Roh Kudus yang memberi kekuatan dalam setiap langkah hidup. (sTy)

MEMPERTANYAKAN KETAATAN YOAB

Saudaraku, tokoh Yoab anak Zeruya menjadi pilar penting bagi kerajaan Israel di era Daud. Ia adalah prajurit tangguh yang dipercayai oleh Daud. Yoab sangat peduli pada raja.  Yoab adalah prajurit yang tegas, pekerja keras, berani dan setia menjalankan tugasnya.  Ia tidak pandang bulu menyingkirkan orang-orang yang akan membahayakan Raja dan mungkin membahayakan posisinya sendiri.  Yoab menyingkirkan Abner, paman Saul walau ia Daud sangat menghormati Abner.  Yoab juga  tanpa ampun membunuh Absalom walau Raja Daud sudah memohon supaya Absalom dibiarkan hidup. Yoab bahkan menyingkirkan Amasa, orang yang sedang menjalankan tugas Raja.   Yoab berada dalam circle Raja Daud namun tak pernah total mematuhi Daud.  Berkali-kali Yoab melanggar perintah raja dan menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri.  Akibatnya sebelum wafat Raja Daud meminta Salomo untuk menyingkirkan Yoab terlebih dahulu (1 Raja-raja 2:5-6) karena ketidak taatannya. Ketaatan adalah pilihan untuk menundukkan ambisi dan kepentingan dibawah sebuah otoritas.  Mengikut Tuhan membutuhkan ketaatan tanpa batas.  Yesus sendiri menaati rencana Bapa di Surga sampai mati di kayu salib walau dalam prosesnya penuh dengan pergumulan sebagaimana kondisi Yesus di Getsemani. Rasul Paulus mengatakan “Ia merendahkan diri, dan hidup dengan taat kepada Allah sampai mati–yaitu mati disalib.” (Filipi 3:8, BIS).  Ketaatan inilah yang juga menjadi indikator seseorang mengasihi Tuhan karena Yesus sendiri berkata, “Orang yang mengasihi Aku, akan menuruti ajaran-Ku. Bapa-Ku akan mengasihi dia. Bapa dan Aku akan datang kepadanya dan tinggal bersama dia. (Yohanes 14:23, BIS).  Oleh karena itu ketaatan menjadi penyeimbang dari kerja keras dan keberanian.  Ketaatan tidak bisa hanya sebagian dan disesuaikan dengan kebutuhan.  Ketaatan adalah totalitas.  Mari belajar untuk hidup dalam ketaatan yang total karena ketaatan yang hanya sebagian akan membahayakan.  Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)

PENGAMPUNAN SEBAGAI HADIAH TERINDAH

Pria bernama Chris Williams pernah mengalami tragedi mengerikan di Amerika Serikat, dalam sebuah kecelakaan yang disebabkan oleh pengemudi mabuk. Istri dan tiga anaknya meninggal dunia. Namun, di tengah kesedihannya yang mendalam itu, Chris membuat keputusan yang mengejutkan: ia memutuskan untuk mengampuni pengemudi tersebut. Ia bahkan meminta agar hukuman pria itu diringankan. Chris berkata, “Saya diampuni oleh Tuhan untuk dosa-dosa saya, bagaimana saya tidak bisa mengampuni?” Matius 6:12 mengatakan, “Dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami.” Tuhan Yesus mengajarkan kita untuk mengampuni seperti Tuhan telah diampuni kita. Kisah Chris Williams mengingatkan bahwa pengampunan bukan hanya soal membebaskan orang lain, tetapi juga membebaskan diri kita dari belenggu kepahitan.  Mengampuni barangkali terasa mustahil ketika luka itu dalam, tetapi kasih Kristus memberi kita kekuatan untuk melakukannya. Pengampunan bukanlah tanda kelemahan, tetapi justru bukti kasih yang sejati. Masih dalam suasana Natal ini, biarkan kasih Kristus memimpin hati kita untuk mengampuni, seperti Dia telah mengampuni kita. Mengampuni merupakan tindakan kasih yang menyembuhkan, baik bagi yang diampuni maupun bagi yang mengampuni. Kasih Kristus memberikan kita kekuatan untuk dapat mengampuni bahkan dalam situasi tersulit.  Ingatlah sebuah kata bijak yang mengatakan,  “Wedi marang Allah, tresna marang sasama.” (Takut kepada Allah, kasih kepada sesama). Mari belajar untuk menebar kasih dan pengampunan sebagai bentuk pewartaan kabar baik bagi dunia yang haus dengan kasih karunia. (sTy)

PELUANG DALAM TANTANGAN

Saudaraku,  hal negatif akan selalu membekas dalam memori manusia.  Tak heran manusia seringkali susah untuk keluar dari cengkeraman masa lalu, rasa trauma terhadap sebuah situasi atau terhadap seseorang.  Namun sejarah gereja mencatat daya lenting gereja mula-mula yang mengagumkan dalam menghadapi tekanan.  Mari renungkan Kisah Para Rasul 11:19-30. Orang-orang yang percaya Yesus dipaksa keluar dari Yerusalem, keluar dari zona nyaman.  Mendadak setelah gugurnya Stefanus, mereka masuk dalam Daftar Pencarian Orang dan dikejar-kejar untuk dikriminalisasi. Mencekam. Menakutkan. Traumatis.  Mereka melarikan diri dari Yerusalem, ‘surga rohani’ mereka dan tersebar ke berbagai tempat hingga Fenisia, Siprus dan Antiokhia.  Walau menakutkan karena dikejar, orang-orang percaya tetap mengabarkan Injil dan membuka pos pekabaran Injil.  Bahkan mereka juga menjadikan kata Kristen yang tadinya digunakan untuk memberikan label negatif kepada mereka, malah dipakai menjadi identitas sampai saat ini.  Ada optimisme dan daya lenting yang baik dalam diri orang Kristen mula-mula yang harus terus diwariskan.  Daya lenting adalah kemampuan untuk merespon tantangan dan trauma dengan cara yang sehat dan produktif.  Orang Kristen awal tak dihentikan dengan rasa taruma dan ketakutan menghadapi kesulitan.  Bukannya mereka tidak takut dengan tekanan yang dihadapi karena faktanya mereka melarikan diri karena merasa tidak aman lagi di Yerusalem.  Namun mereka tidak tenggelam dalam ketakutan dan segera bangkit untuk mengabarkan Injil walau dengan resiko yang sama.  Apa yang menyebabkan mereka memiliki daya lenting ?  Kasih Karunia.  Mereka tak berhenti untuk mewartakan kabar baik karena mereka sadar bahwa mereka sudah menerima kasih karunia dari Allah.  Kesadaran inilah yang membuat mereka tak berhenti mengabarkan kabar baik di manapun mereka berada.  Daya lenting dapat terwujud kalau manusia sudah sampai pada tingkat kesadaran dari apa yang dia yakini. Menjadi Kristen saat ini tak lebih mudah dari masa gereja awal.  Memang orang kristen tak lagi dikejar untuk dikriminalisasi (setidaknya di daerah yang toleran), namun orang Kristen sering berhadapan dengan situasi yang seringkali traumatis dan menakutkan bagi mereka. Kondisi ekonomi yang terus berubah, kebijakan yang kadang tak berpihak pada rakyat dan situasi sosial etis yang makin parah, dapat membuat seseorang terjatuh dan merasakan tekanan hidup. Namun sebagaimana gereja mula-mula, mari miliki daya lenting yang bersumber dari Tuhan sendiri.  Hanya Tuhan yang mampu menopang anak-anakNya, sebagaimana Mazmur 37:24 mengatakan bahwa,”Tuhan menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya, apabila ia jatuh tak sampai tergeletak sebab Tuhan menopang tangannya.”  Mari terus memandang kepada kasih karunia Allah dan bangkitlah kembali saat tekanan hidup mencengkeram.  Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)

SUKACITA MENJADI ANAK-ANAK ALLAH

Albert Schweitzer, seorang dokter, teolog, dan musisi terkenal, meninggalkan kehidupannya yang nyaman di Eropa untuk melayani di Afrika. Ketika ditanya mengapa ia rela meninggalkan semua itu, ia menjawab, “Saya tidak melakukan ini untuk penghargaan manusia. Saya melakukannya karena saya tahu saya anak Allah, dan kasih itu memanggil saya untuk membagikannya.” Meski menghadapi kesulitan di lingkungan yang serba terbatas, Schweitzer selalu memancarkan sukacita dalam pelayanannya karena ia tahu hidupnya memiliki tujuan yang kekal. Sebagai anak-anak Allah, kita telah menerima kasih yang luar biasa kasih yang mengubah segalanya. Ayat ini mengingatkan kita bahwa menjadi anak Allah merupakan status istimewa yang diberikan oleh kasih karunia-Nya, bukan usaha kita. Dunia mungkin tidak memahami panggilan hidup kita, tetapi kita tahu bahwa identitas kita berasal dari Allah sendiri.  Sukacita kita tidak ditentukan oleh keadaan, tetapi oleh hubungan kita dengan Bapa.  1 Yohanes 3:1 mengatakan, “Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah. Karena itu dunia tidak mengenal kita, sebab dunia tidak mengenal Dia.” Ketika kita memahami betapa besar kasih-Nya, kita akan memiliki kekuatan untuk menghadapi segala situasi dengan hati yang penuh sukacita dan syukur. Seperti Albert Schweitzer, kita dipanggil untuk membagikan kasih itu, bahkan di tempat yang sulit, karena itulah bagian dari hidup sebagai anak-anak Allah. Sebagai anak Allah, sukacita sejati tidak bersumber dari keadaan, melainkan dari hubungan yang intim dengan Bapa. Kasih-Nya yang besar memberi makna dan kekuatan, bahkan dalam keadaan sulit karena sukacita menjadi anak Allah bukanlah sesuatu yang ditemukan di luar, tetapi lahir dari hati yang mengenal kasih Bapa.(sTy)

SUKACITA DALAM RELASI DENGAN ALLAH

Helen Keller, seorang tunanetra dan tunarungu, pernah berkata, “Kebahagiaan sejati tidak bergantung pada keadaan luar, melainkan berasal dari keadaan batin.” Meski hidupnya penuh keterbatasan namun Helen Keller menemukan sukacita dalam hubungannya dengan Tuhan dan orang-orang di sekitarnya. Ia percaya bahwa setiap tantangan yang dihadapinya merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam keterbatasan, ia menemukan makna hidup yang mendalam. Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya sebagaimana tercatat dalam  Yohanes 16:11b (TB)  “… karena penguasa dunia ini telah dihukum.”. Itu merupakan pernyataan kemenangan bahwa kuasa kegelapan telah dikalahkan oleh karya Kristus di atas kayu salib, maka hubungan kita dengan Allah memberi kita penghiburan dan sukacita yang melampaui keadaan duniawi.  Sukacita dalam hubungan dengan Allah tidak bergantung pada situasi yang kita hadapi. Sama seperti Helen Keller yang menemukan damai dalam keterbatasannya, kita pun dapat merasakan sukacita sejati saat kita menyadari bahwa Allah telah mengalahkan segala sesuatu yang berusaha memisahkan kita dari-Nya. Sukacita ini merupakan anugerah yang diberikan kepada mereka yang percaya kepada-Nya dan hidup dalam kebenaran-Nya. Dalam setiap pergumulan, kita dipanggil untuk kembali mengingat bahwa Tuhan Yesus telah menang. Hubungan kita dengan Allah bukan hanya membawa pengampunan, tetapi juga mengisi hati kita dengan damai yang melampaui segala pengertian. Hubungan yang erat dengan Allah membawa sukacita yang tidak tergantung pada keadaan duniawi. Saat kita menyadari bahwa kuasa kegelapan telah dikalahkan, kita dapat hidup dalam damai dan menjadi saluran sukacita bagi dunia di sekitar kita. (sTy)

MELANGKAH DENGAN HARAPAN

Di tahun 1871, Chicago dilanda kebakaran hebat yang memusnahkan sebagian besar kota. Dalam kebakaran itu, seorang pengacara sukses bernama Horatio Spafford kehilangan hampir seluruh asetnya. Belum pulih dari kejadian tersebut, ia kehilangan empat putrinya dalam kecelakaan kapal saat mereka menuju Eropa. Dalam perjalanan melintasi samudra untuk menyusul istrinya yang selamat, Horatio menulis lirik lagu yang menjadi terkenal hingga kini: It is Well with My Soul (Tenanglah Jiwaku). Meski di tengah kehilangan, ia tetap menemukan pengharapan dalam Tuhan. Amsal 3:5 berkata,“Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.”.  Ayat ini mengingatkan setiap orag percaya untuk berani mempercayakan jalan hidupnya dengan utuh kepada Tuhan, meskipun situasi di depan terlihat gelap dan tidak pasti. Seperti Horatio, melangkahlah dengan keyakinan bahwa Tuhan memiliki rancangan yang baik, bahkan di tengah penderitaan sekalipun. Tahun baru tak hanya membawa harapan, namun juga kecemasan akan hal-hal yang tidak pasti. Ketika orang percaya memilih untuk bersandar kepada Tuhan, ia tidak hanya mendapat kekuatan untuk melangkah, tetapi juga damai yang melampaui segala akal.  Mari memulai tahun baru dengan penuh percaya dan mengijinkan Tuhan melatih iman anak-anakNya. Seperti sebuah kapal yang berlayar di tengah badai, hidup  orang yang berani berserah akan lebih kokoh jika menjatuhkan jangkar dan menambatkannya pada Tuhan, sebagaimana kata bijak mengatakan,”Urip kuwi ora mung ngliwati banyu lan geni, nanging uga ngugemi pengarep-arep ing Gusti. “ (Hidup itu bukan hanya melewati air dan api, tetapi juga memegang pengharapan dalam Tuhan).  Mari terus menampatkan harapan kepadaNya dan berani terus mempercayakan diri untuk melangkah bersamaNya.  (sTy)

ANUGERAH ALLAH MEMBONGKAR SEKAT

Saudaraku, kalau ada seorang yang harus mengubah pemikiran secara radikal demi pekerjaan Allah maka nama Petrus akan disebutkan.  Kejadian di rumah Simon Penyamak Kulit memaksa Petrus membuka mata kepada perbedaan, satu hal asing bagi seorang Yahudi tulen.  Mari merenungkan Kisah Para Rasul 10. Betapa kagetnya Petrus ketika hingga tiga kali Tuhan mengatakan kepadanya ,”apa yang dinyatakan halal bagi Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram.” (Kisah Para Rasul 10:15).  Perkara halal haram suatu makanan adalah hal yang sangat serius bagi seorang Yahudi bahkan melampaui rasa lapar.  Lebih baik mati kelaparan daripada makan makanan haram, begitu prinsipnya.  Bukankah Tuhan begitu serius menetapkan makanan halal dan haram sebagaimana tertulis dalam Imamat 11 dan mengapa Ia seperti membatalkan yang ditetapkanNya sendiri?  Dalam kasus Kornelius, Tuhan menghendaki Petrus untuk menjangkau keluarga Kornelius yang bukan Yahudi karena anugerahNya menembus segala sekat.  Anugerah keselamatan dalam Kristus membuat semua bangsa diijinkan untuk menikmatinya.  Butuh waktu bagi Petrus untuk memahami dahsyatnya anugerah Tuhan.  Petrus harus mengubah pemikirannya secara radikal dalam waktu singkat sebelum ia menerima utusan Kornelius dan meluncur menuju rumah keluarga itu untuk membaptis mereka keesokan harinya.  Hanya Tuhan saja yang bisa mengubah Petrus dengan radikal sehingga ia mau bertemu dengan mereka sebagaimana dikatakannya,”… Allah menunjukkan kepadaku bahwa aku tidak boleh menyebut orang najis atau tidak tahir. Itulah sebabnya aku tidak berkeberatan ketika aku dipanggil lalu datang kemari.” (Kisah Para Rasul 10:28-29).  Perubahan karena Tuhan sungguh radikal.  Tuhan meruntuhkan sekat yang dibuat manusia karena anugerahNya. Sejatinya Tuhan menginginkan setiap orang percaya memiliki pemikiran melampaui sekat, sebagaimana pesan Rasul Paulus kepada jemaat di Kolose,”Oleh sebab itu, tidak ada lagi perbedaan antara orang Yahudi yang bersunat dengan bangsa-bangsa lain yang tidak bersunat. Kita pun tidak lagi membeda-bedakan orang berdasarkan asal usul maupun kedudukannya … Yang terpenting bagi kita adalah bahwa kita semua sudah menjadi satu umat karena bersatu dengan Kristus!” (Kolose 3:11, TSI).  Kristus sudah menyatukan semua dalam anugerah, pengampunan dan  diikat dalam darahNya, maka anak-anakNya perlu untuk membongkar sekat yang masih tersisa: sekat etnis, ekonomi, pendidikan bahkan sekat generasi.  Mari belajar untuk memahami bahwa anugerah Tuhan sajalah yang menyatukan anak-anakNya maka buatlah jembatan dan bukan tembok dalam komunitas iman.  Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)

DISUNTING ULANG

Seorang editor memiliki tugas untuk menyunting tulisan atau gambar pendukung agar bacaan yang diterbitkan dapat dipahami dan dinikmati oleh pembacanya.  Bayangkan saja kalau tidak ada seorang editor dalam sebuah karya tulisan, maka seringkali tulisan akan menjadi ‘mentah’ sehingga kurang dapat dinikmati. Hidup ibarat sebuah karya dan penulis Amsal mengatakan “Serahkanlah perbuatanmu kepada TUHAN, maka terlaksanalah segala rencanamu.” (Amsal 16:3, TB) Thomas Edison, seorang penemu besar,  suatu malam dia kehilangan laboratoriumnya karena kebakaran. Semua hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun hangus dalam sekejap. Ketika anaknya mencari-cari ayahnya di tengah-tengah reruntuhan, ia ayahnya menemukannya sedang berdiri tenang, memandang api. Edison berkata, “Semua kesalahan kita terbakar habis. Terima kasih Tuhan, kita bisa memulai dari awal.”  Meski kehilangan segalanya, Edison melihat kesempatan untuk memulai dari awal lagi ia akhirnya menciptakan lebih banyak inovasi setelah peristiwa kebakaran itu. Terkadang Tuhan “mengedit” rencana-rencana anak-anakNya dengan mengijinkan mereka melalui masa sulit, namun hasil akhirnya adalah sesuatu yang lebih baik daripada yang pernah dibayangkan. Manusia sering mulai memasuki babak baru dengan sederet daftar rencana dan target. Namun, sering kali rencana itu tidak berjalan seperti yang diharapkan. Amsal 16:3 mengingatkan bahwa ketika manusia menyerahkan segala rencana kepada Tuhan, itu berarti mengijinkan Tuhan untuk “mengedit” langkah kita demi tujuan yang lebih besar dan lebih baik.  Tentunya proses ini tidak mudah, karena manusia cenderung ingin mengontrol segalanya. Namun, kalau dia percaya bahwa Tuhan merupakan editor yang sempurna, maka ia akan menerima setiap perubahan yang dibuatNya dengan sukacita. Di tahun 2025 ini, mari membuka hati untuk membiarkan Tuhan menyunting bagian  kurang selaras dengan kehendak-Nya, sehingga hidup ini berkenan di hati-Nya. Mari ijinkan Tuhan untuk menjadi editor dalam setiap rencana kita dan terus belajar berserah kepada-Nya sebagaimana sebuah kalimat bijak mengatakan: “Sopo sing nyumanggake diowahi dening Gusti, bakal luwih cedhak marang rahmat lan berkah.”  (Siapa bersedia diubah oleh Tuhan, akan lebih dekat pada rahmat dan berkat-Nya). (sTy)

PERAN KECIL ANANIAS

Saudaraku, peran figuran memang seakan tak sebanding dengan pemeran utama dalam sebuah pertunjukan.  Kamus Besar Bahasa Indonesia memuat makna figuran sebagai pemain yang memegang peran tak berarti.  Namun siapapun yang bergulat di dunia pertunjukan mengakui pengaruh figuran untuk kesuksesan mereka.   Sepertinya inilah peran Ananias dari Damsyik sebagaimana dikisahkan dalam Kisah Para Rasul 9:10-18. Ada rencana Tuhan yang besar untuk Saulus, seorang Yahudi garis keras yang mengalami perjumpaan dengan Yesus sendiri.  Sungguh tidak masuk akal.  Walau Ananias butuh waktu untuk memahami pikiran Tuhan yang belum terpahami olehnya, namun ketaatan Ananias membuatnya mampu melaksanakan tugasnya.  Segala prasangka Ananias tentang Saulus lenyap dan berganti dengan ketulusan seorang saudara seiman dengan memanggil Saulus dengan sebutan saudaraku (Kisah Para Rasul 9: 17) dan membaptiskan Saulus.  Dan begitulah kisah masuknya Saulus dalam bilangan orang yang percaya, fokus lensa sejarah mulai terarah kepadanya dan pada akhirnya nama Ananias tak disebutkan lagi di Kisah Para Rasul.  Peran Ananias bagaikan figuran yang kecil namun mempengaruhi alur cerita. Sering kali Tuhan menempatkan manusia menjadi figuran bagi sesamanya.  Mungkin hanya menjadi teman seperjalanan di satu tempat, bertemu sekilas dalam urusan bisnis dan lain-lain. Namun orang percaya punya tugas untuk menjadi garam dan terang untuk membawa pengaruh positif bagi orang lain dalam upaya untuk mengabarkan Kabar Baik supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga (Matius 5:16). Mungkin orang yang mendapat dampak positif tak mengingat nama kita, namun fokus kita hanyalah melaksanakan tugas untuk memberitakan Kabar Baik agar nama Tuhan dimuliakan.  Mari terus meminta Tuhan memberi kesadaran ini karena sekecil apapun perbuatan kasih yang dilakukan akan membawa dampak yang besar bagi sesama.  Kiranya nama Tuhan makin harum  melalui kehidupan orang percaya yang terus membawa dampak positif bagi dunia. Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)