KESEMPATAN KEDUA MELALUI ANUGERAH

Shahbaz Bhatti, seorang politikus Kristen Pakistan yang berani membela hak-hak kaum minoritas di negaranya. Sebagai satu-satunya menteri Kristen dalam kabinet Pakistan, ia tahu bahwa suaranya bisa menjadi harapan bagi mereka yang tertindas.  Ia bisa saja memilih jalan aman, tetap diam dan menghindari konfrontasi. Tetapi ia melihat bahwa inilah kesempatan dari Tuhan untuk melakukan sesuatu yang berarti. Ia memanfaatkan kesempatan ini untuk berdiri teguh membela kebenaran, bahkan ia tahu konsekuensinya bisa mengancam nyawanya. Pada 2 Maret 2011 Shahbaz akhirnya dibunuh oleh kelompok ekstremis karena perjuangannya. Namun kematiannya bukanlah akhir perjuangan justru menjadi awal bagi banyak orang semakin sadar akan ketidakadilan dan terus memperjuangkan hak asasi manusia. Dalam Lukas 13:8, pengurus kebun anggur meminta tambahan waktu untuk merawat pohon ara yang belum berbuah dengan mengatakan, “Tuan, biarkanlah dia tumbuh tahun ini lagi, aku akan mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya.”.   Permintaan sang tukang kebun  menggambarkan kesabaran Tuhan yang memberi kita kesempatan untuk berubah dan bertumbuh walau sepertinya Lelah menunggu hidup kita berbuah. Mungkin kita merasa gagal atau tidak layak karena berbagai kekeliruan masa lalu yang telah kita lakukan, namun kesabaran Tuhan memberi kita waktu untuk menghasilkan buah pertobatan kita dan tidak langsung “menebang” kita. Jika hari ini kita merasa telah menyia-nyiakan waktu itu, jangan putus asa. Bangkitlah, Tuhan masih bekerja dalam hidup kita. Mari kita manfaatkan kesempatan kedua yang bukan hanya bicara tentang tentang dimaafkan, tetapi juga tentang berubah dan bertumbuh.  Ingatlah bahwa kegagalan bukan akhir kehidupan.  Mari bangkit dan terus melangkah dan jangan biarkan diam-mu mengurung langkah-mu. (sTy)

ANUGERAH ALLAH MEMBERI JALAN KELUAR

Boonmee Thapthim, seorang pria dari Thailand, lahir dalam kemiskinan dan berjuang bertahun-tahun untuk keluar dari keterpurukan. Saat terjebak dalam utang dan keputusasaan, ia hampir menyerah.  Di tengah keputusasaan itu, ia menerima sebuah Alkitab dari seorang pria tua. Saat membaca 1 Korintus 10:13, ia menemukan pengharapan bahwa Tuhan tidak membiarkannya sendirian dalam keterpurukannya.  Ayat itu berbunyi demikian, “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.”  (1 Korintus 10:13).   Dengan iman yang baru Boonmee mulai bangkit dan akhirnya berhasil keluar dari jerat kemiskinan. Setiap manusia pasti mengalami pergumulan, tetapi Tuhan berjanji bahwa Ia tidak akan membiarkan kita dicobai melebihi kekuatan kita. Jalan keluar yang Tuhan sediakan bisa jadi berupa pertolongan orang lain, hikmat untuk mengambil keputusan, atau kekuatan untuk bertahan. Yang terpenting kita harus percaya bahwa Allah selalu menyediakan jalan keluar bagi kita untuk menang.  Ketika hidup terasa berat, jangan melihat betapa besarnya persoalan itu, tetapi lihatlah Tuhan yang besar yang memegang hidup kita.  Dalam setiap pergumulan, Tuhan telah menyiapkan jalan keluar; dalam setiap jalan keluar, Tuhan mengajarkan kita makna pergumulan itu. (sTy)

JANGAN TUTUP HATIMU DARI FIRMAN TUHAN

Friedrich Nietzsche (1844–1900),  filsuf Jerman  yang terkenal dengan pemikirannya tentang: nihilisme, kehendak untuk berkuasa (will to power) dan kritiknya terhadap agama, khususnya Kekristenan.  Pernyataannya yang terkenal: “Gott ist tot” (Tuhan telah mati)  telah menjadi  dasar moral dan budaya masyarakat Barat yang telah meninggalkan iman Kristen mereka.   Nietzsche sebenarnya anak seorang pendeta Lutheran yang saleh. Sejak kecil Nietzsche dibesarkan dalam lingkungan iman Kristen tetapi pengalaman hidup yang pahit (termasuk kematian ayahnya saat ia masih kecil), membuat hatinya keras terhadap Tuhan. Ia menolak imannya dan memilih mengikuti pemikirannya sendiri. Menjelang akhir hidupnya, Nietzsche mengalami gangguan mental yang parah. Banyak yang meyakini bahwa hatinya yang keras terhadap Tuhan telah membawa kehampaan dalam hidupnya. Kisah ini mengingatkan kita akan bahaya hati yang tertutup terhadap suara Tuhan. Dalam Mazmur 95:7-8, pemazmur memperingatkan “Sebab Dialah Allah kita, dan kitalah umat gembalaan-Nya dan kawanan domba tuntunan tangan-Nya. Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu seperti di Meriba, seperti pada hari di Masa di padang gurun.”.  Umat Tuhan diingatkan untuk tidak mengeraskan hati seperti bangsa Israel di padang gurun yang melihat mukjizat Tuhan tetapi tetap bersungut-sungut dan tidak percaya. Akibatnya, mereka kehilangan kesempatan untuk masuk ke Tanah Perjanjian. Tuhan berbicara kepada kita setiap hari melalui: Firman-Nya, pengalaman hidup, suara hat, bahkan melalui orang-orang di sekitar kita, namun sering kali kita memilih untuk tidak mendengarkan (atau lebih buruk lagi)  menolak suara-Nya dengan berbagai alasan: kesibukan, kekecewaan, atau keangkuhan intelektual. Dengarkanlah suara-Nya, dan jangan pernah berakhir seperti Nietzsche: berintelektual tinggi namun kehilangan makna hidup sejati. Hari ini jika Tuhan memanggil kita untuk mendengarkan suara-Nya, tanggapilah dengan ketaatan. Jangan menunggu sampai hati kita mengeras dan kehilangan kepekaan terhadap panggilan-Nya. Bukalah hati, karena Dia-lah Sang Firman hidup dan sumber pengharapan sejati.  Setiap hari merupakan kesempatan baru untuk mendengarkan suara Tuhan. Jika hari ini Dia berbicara kepadamu, jangan pernah menunda untuk menaati-Nya. Karena setiap ketidaktaatan kecil merupakan awal dari kekerasan hati.  Setiap orang perlu mendengarkan suara Tuhan,  siapapun yang mendengar suara-Nya akan menerima petunjuk kehidupan. (sTy)

DENGARKANLAH SANG HIKMAT !

Pada tahun 1955, Martin Luther King Jr. menghadapi momen yang mengubah hidupnya. Setelah rumahnya dibom karena perjuangannya melawan segregasi rasial,  ia merasa takut dan putus asa. Suatu malam King berdoa dengan sungguh-sungguh dan mendengar suara di hatinya: “Berdirilah untuk keadilan, dan Aku akan menyertaimu.” Sejak saat itu, ia yakin bahwa panggilannya berasal dari Tuhan dan memilih untuk tidak menyerah pada ketakutan dan mendengarkan suara hikmat yang menuntunnya dalam perjuangan. Kitab Amsal menggambarkan hikmat sebagai sesuatu yang harus kita dengarkan dan pegang erat.  Dalam ayat yang mengatakan, “Oleh sebab itu, hai anak-anak, dengarkanlah aku, karena berbahagialah mereka yang memegang jalan-jalanku. Dengarkanlah didikan, maka kamu menjadi bijak; janganlah mengabaikannya.”  (Amsal 8:32-33, TB), hikmat bukan sekadar kepandaian atau pengalaman, tetapi tentang hati yang terbuka menerima didikan Tuhan. Dunia sering kali menawarkan jalan pintas dan kebijaksanaan yang tampaknya logis, tetapi tanpa bimbingan Tuhan, kita bisa tersesat.  Sering kali kita lebih memilih mendengarkan suara dunia daripada suara Tuhan. Kita tergoda untuk mengandalkan kekuatan sendiri atau mengikuti arus mayoritas. Namun, Firman Tuhan berkata bahwa kebahagiaan sejati ada pada mereka yang “memegang jalan-jalanku” dan “mendengarkan didikan.” Mendengarkan Tuhan berarti mau belajar, berubah, dan taat pada kehendak-Nya, bahkan ketika sesuatu yang sulit terjadi dalam hidup kita. Seperti Martin Luther King Jr., kita juga akan menghadapi tantangan. Tetapi jika kita mendengarkan suara Tuhan dan berpegang pada hikmat-Nya, kita akan menemukan keberanian, arah yang benar, dan hidup yang berbuah.  Hikmat sejati bukan hanya mengetahui apa yang benar, tetapi juga tentang memilih untuk mengikutinya. Tuhan berbicara kepada kita bisa melalui: Firman-Nya, pengalaman kehidupan dan suara Roh Kudus. Dengarkanlah Dia dan biarkan hikmat-Nya menuntun langkah kita.  Mendengarkan hikmat Tuhan bukan hanya  mendengar, tetapi juga tentang menaati dengan segenap hati. (sTy)

DENGARKANLAH DIA YANG DIMULIAKAN

Seorang teolog bernama Dietrich Bonhoeffer yang hidup pada masa pemerintahan Nazi Jerman, menghadapi dilema besar. Sebagai seorang Kristen yang taat, ia melihat bagaimana rezim Hitler melakukan kejahatan kemanusiaan termasuk terhadap orang-orang Yahudi. Ia bisa saja memilih diam dan tetap hidup dengan nyaman di Jerman atau di pengasingan, tetapi hatinya tidak bisa tinggal diam melihat ketidakadilan.  Bonhoeffer akhirnya mengambil keputusan berani yaitu menentang Nazi, berbicara melawan kebrutalan mereka dan bahkan terlibat dalam usaha perlawanan. Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjara. Dalam surat-suratnya dari penjara, ia menulis: “Bukan karena nasib, melainkan dari kebebasan dan kemurnian sebuah pandangan hidup yang disiplin, kita tunduk pada panggilan Tuhan”.  Baginya, mendengar dan menaati suara Tuhan jauh lebih penting daripada suara dunia, bahkan jika itu berarti ia harus kehilangan nyawanya sekalipun. Kesetiaannya kepada suara Tuhan membawanya pada akhir  hidup yang tragis, ia dihukum mati di tiang gantungan pada tahun 1945, hanya beberapa minggu sebelum Perang Dunia II berakhir. Kisah Bonhoeffer mengingatkan kita pada peristiwa transfigurasi Yesus di gunung. Saat Yesus berubah rupa di hadapan Petrus, Yakobus, dan Yohanes, suara Allah Bapa terdengar dari dalam awan,”Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia!” Markus 9:7 (TB).  Ini bukan sekadar nasihat semata melainkan sebuah perintah langsung. Tuhan memanggil kita untuk menjadikan suara Tuhan Yesus sebagai otoritas tertinggi dalam hidup kita.   Faktanya sering kali kita lebih mudah mendengar suara dunia: ambisi, kekhawatiran, tekanan sosial, dan opini orang lain, daripada mendengarkan suara Tuhan. Kita takut kehilangan kenyamanan, takut dikucilkan atau takut menghadapi konsekuensi yang berat jika memilih menaati Tuhan. Tetapi, seperti yang ditunjukkan oleh Bonhoeffer, mendengarkan dan menaati Tuhan Yesus merupakan satu-satunya jalan yang benar, meskipun penuh tantangan. Apakah kita benar-benar mendengarkan Tuhan Yesus hari ini? Ataukah   kita lebih memberi prioritas pada suara dunia?  Mendengarkan Tuhan Yesus bukan sekadar mendengar firman-Nya, tetapi juga menaati dan melakukan-Nya dalam tindakan nyata. Seperti Bonhoeffer, kita dipanggil untuk tetap setia meskipun menghadapi risiko. Hanya dalam ketaatan kepada Tuhan Yesus, kita menemukan hidup yang sejati. Jangan takut mendengar suara Tuhan, karena dalam setiap Firman-Nya, ada berkat yang tak ternilai.” (sTy)

SALIB YANG MENYAKITKAN LAMBANG KASIH TAK TERBATAS

Di sebuah sel kecil yang lembap dan gelap, seorang imam Katolik Polandia bernama Maximilian Kolbe menatap rekan-rekannya yang lemah karena kelaparan. Mereka dipilih untuk dibunuh di kamar gas sebagai hukuman atas pelarian seorang tahanan lain dari kamp konsentrasi Auschwitz. Saat salah satu pria yang terpilih menangis, memohon karena memiliki keluarga, Kolbe melangkah maju dan berkata, “Aku yang akan menggantikan dia.” Dengan tenang Kolbe memasuki sel hukuman, bertahan selama dua minggu tanpa makan dan minum, hingga akhirnya ia disuntik mati. Kasih yang diberikan Kolbe bukanlah kasih yang murah. Itu merupakan kasih yang menyakitkan, kasih yang mengorbankan nyawa. Jika seorang manusia bisa memberikan kasih sebesar itu, betapa lebih lagi kasih Kristus di kayu salib. Yesaya 53:5 mengatakan, “Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.”   Dia tidak hanya mengalami rasa sakit fisik: dicambuk, dipaku, dan ditinggalkan, tetapi juga penderitaan batin menanggung dosa dunia.  Penderitaan Yesus bukan tanpa tujuan. Bilur-bilur-Nya membawa kesembuhan bagi kita, bukan hanya kesembuhan fisik, tetapi yang terutama kesembuhan rohani. Kasih-Nya menanggung setiap luka hati kita, setiap penyesalan, setiap dosa yang pernah kita lakukan. Jika salib begitu menyakitkan, mengapa Yesus tetap memilihnya? Karena kasih-Nya tak terbatas. Karena Dia melihat kita yang tak berdaya, terbelenggu dosa, dan memilih untuk mengambil tempat kita, seperti Kolbe menggantikan tahanan itu.  Hari ini, kita diundang untuk merenungkan kasih Yesus yang tak terbatas itu. Apakah kita masih hidup dalam kepahitan dan dosa, seolah-olah bilur-Nya sia-sia? Ataukah kita memilih menerima kasih dan pengampunan-Nya serta membagikannya kepada orang lain? Sakitnya salib merupakan harga dari kasih yang tak terbatas. Kita tidak dipanggil untuk sekadar mengagumi pengorbanan-Nya, tetapi untuk hidup di dalamnya meninggalkan dosa, menerima anugerah, dan mengasihi seperti Dia. Kasih yang sejati bukan hanya memberi yang terbaik, tetapi juga rela menanggung yang terburuk demi orang lain. (sTy)

TEROBATI OLEH KASIH

Pada tahun 1960-an, John Perkins yang adalah seorang aktivis hak-hak sipil di Amerika Serikat mengalami penyiksaan brutal oleh polisi yang rasis. John dipukuli hingga hampir mati hanya karena memperjuangkan hak-hak orang kulit hitam. Dalam kepedihan dan kemarahan, ia bisa saja memilih untuk membenci kaum kulit putih.  Namun di tengah rasa sakitnya, John justru menemukan kasih Kristus yang mengubah hatinya sehingga ia berkata: “The only way to overcome hate is love” (Satu-satunya jalan keluar dari kebencian ini yaitu kasih). Alih-alih membalas dendam, Perkins memilih untuk mengampuni dan memperjuangkan rekonsiliasi. Seperti John Perkins, banyak dari kita pernah merasakan pedih perihnya sakit hati yang mendalam: dikhianati, diremehkan atau dilukai oleh orang lain. Mazmur 147:3 mengatakan, “Ia menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka.” Mazmur 147:3 (TB).  Kasih-Nya bukan hanya menghibur, tetapi juga memulihkan. Tuhan membalut hati yang remuk dan memberikan damai sejahtera yang melampaui segala akal.  Penyembuhan dari Tuhan sering kali datang melalui kasih yang kita terima dan kasih yang kita  bagikan. Mungkin itu dalam bentuk pengampunan yang sulit, dukungan dari orang-orang yang kita kasihi, atau perjumpaan dengan kasih Tuhan dalam doa. Saat kita memilih untuk tetap tinggal dalam kasih-Nya, kita tidak hanya sembuh tetapi juga menjadi alat kesembuhan bagi orang lain. Kesembuhan sejati tidak datang dari membalas luka dengan kebencian, tetapi dari membiarkan kasih Tuhan meresap ke dalam hati kita. Saat kita belajar menerima dan memberi kasih, kita menemukan bahwa rasa sakit yang dulu menyiksa perlahan-lahan sirna.  Ingatlah sebuah kalimat bijak yang mengatakan,”Luka terdalam sekalipun dapat sembuh, jika kita membiarkan hati ini dibalut oleh kasih yang lebih besar dari luka itu sendiri.” (sTy)

KASIH YANG TIDAK MEMBALAS RASA SAKIT

Pada tahun 1963, seorang gadis kecil bernama Ruby Bridges merupakan salah satu anak kulit hitam pertama yang bersekolah di sekolah khusus kulit putih di New Orleans, AS. Setiap hari, saat ia berjalan ke sekolah, ia menghadapi teriakan kebencian, ancaman, dan hinaan dari orang-orang yang tidak menerima kehadirannya. Namun, satu hal yang mengejutkan banyak orang yaitu doa yang ia panjatkan setiap pagi: “Tuhan, ampuni mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.” Ruby yang masih kecil memahami sesuatu dimana banyak orang dewasa sulit melakukannya: kasih yang tidak membalas rasa sakit. Ia tidak membalas kebencian dengan kebencian, tetapi dengan doa dan pengampunan. Roma 12:19-21 yang berkata, “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan,  tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan,   firman Tuhan. Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya.  Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!”, mengajarkan kita untuk tidak mengambil hak pembalasan ke tangan kita sendiri. Dunia mungkin berkata bahwa kita harus membalas sakit hati agar tidak terlihat lemah, tetapi firman Tuhan mengajarkan kebalikannya: kasih yang sejati mengalahkan kejahatan dengan kebaikan. Tuhan Yesus sendiri menjadi teladan tertinggi. Di kayu salib, Dia berdoa bagi mereka yang menyalibkan-Nya: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34). Jika Kristus bisa mengampuni dalam penderitaan-Nya, kita pun dipanggil untuk melakukan hal yang sama.  Mengampuni bukan berarti melupakan atau membiarkan kejahatan menang, tetapi mempercayakan keadilan kepada Tuhan. Saat kita memilih kasih, kita bukan hanya membebaskan orang lain, tetapi juga membebaskan diri kita sendiri dari belenggu kepahitan.  Mengampuni bukan berarti setuju dengan kesalahan orang lain, tetapi membiarkan kasih Tuhan bekerja dalam hidup kita. Kasih yang tidak membalas rasa sakit bukanlah sebuah kelemahan, melainkan kekuatan yang mengubahkan hati.  Kasih dan kebaikan tidak pernah sia-sia, karena Tuhan melihat untuk menilai setiap perbuatan kita. (sTy)

MENGASIHI DALAM RASA SAKIT,MENGAMPUNI DALAM KASIH

Pada tahun 2006 ada seorang pria bernama Charles Carl Roberts IV masuk ke sebuah sekolah Amish di Pennsylvania, Amerika Serikat. Dengan kejam Charles menembak sepuluh anak perempuan dan menewaskan lima di antaranya sebelum akhirnya bunuh diri. Insiden ini memang mengguncang dunia tetapi yang lebih mengejutkan yaitu respons komunitas Amish. Di saat duka yang mendalam mereka tidak menunjukkan kebencian atau keinginan membalas dendam namun sebaliknya mereka mendatangi keluarga pelaku dan menghibur istri serta anak-anaknya. Bahkan beberapa orang Amish menghadiri pemakaman Roberts dan menawarkan pengampunan kepada keluarganya. Tindakan orang-orang Amish ini mencerminkan isi Efesus 4:31-32 yaitu membuang kepahitan dan menggantinya dengan kasih serta pengampunan. Secara manusiawi, sulit memahami bagaimana mereka bisa mengampuni begitu cepat setelah mengalami kehilangan yang tragis. Tetapi mereka memilih untuk mengikuti teladan Kristus, yang di atas kayu salib berkata, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Lukas 23:34). Mengasihi dalam keadaan sakit hati dan mengampuni dengan kasih bukanlah hal yang mudah dan semua itu menuntut pengorbanan ego, keberanian untuk melepaskan luka dan mempercayai bahwa Tuhan adalag Hakim yang adil. Namun pengampunan bukan hanya ditujukan kepada orang yang bersalah tetapi juga untuk diri kita sendiri. Dengan mengampuni, kita melepaskan diri dari belenggu kepahitan yang bisa menggerogoti jiwa kita.  Jika komunitas Amish bisa mengampuni pembunuh anak-anak mereka, bukankah kita seharusnya juga bisa mengampuni mereka yang menyakiti kita? Mungkin sakitnya masih terasa, tetapi kasih dan pengampunan yang kita berikan akan membawa kesembuhan, bukan hanya bagi orang lain tetapi juga bagi diri kita sendiri.   Mengampuni bukan berarti melupakan luka, tetapi memilih untuk tidak membiarkan luka itu mengendalikan hidup kita  karena saat mengampuni, kita membebaskan diri  sendiri lebih dari orang yang kita ampuni. (sTy)

SAKIT YANG MENGAJARKAN KASIH

Elizabeth Fry (1780–1845) adalah seorang reformator sosial dan aktivis Kristen asal Inggris yang dikenal karena perjuangannya dalam mereformasi sistem penjara. Pada awal abad ke-19, kondisi penjara di Inggris sangat buruk. Tahanan hidup berdesakan dalam sel sempit tanpa sanitasi yang layak, sering mengalami kekerasan, dan tidak mendapatkan perlakuan manusiawi.  Ketika pertama kali mengunjungi Penjara Newgate pada tahun 1813, Elizabeth Fry sangat terkejut melihat betapa para tahanan perempuan dan anak-anak hidup dalam kondisi mengenaskan. Namun, bukannya menjauhi tempat itu, ia justru tergerak oleh belas kasih. Ia mulai mengajarkan para tahanan membaca dan menulis, memberi mereka pelatihan keterampilan, serta memperjuangkan pemisahan antara tahanan pria dan wanita. Upayanya menarik perhatian pemerintah Inggris dan mendorong perubahan besar dalam sistem peradilan. Kasih Elizabeth Fry terhadap mereka yang terbuang tidak muncul dari kehidupan yang mudah. Sebagai seorang wanita di zaman di mana peran perempuan masih terbatas, ia menghadapi banyak tantangan dan penolakan. Namun, imannya kepada Tuhan memberinya kekuatan untuk terus berjuang. Baginya, setiap orang, termasuk para tahanan, memiliki nilai di hadapan Tuhan dan berhak mendapatkan kesempatan kedua. Kisah Elizabeth Fry mengingatkan kita pada perjalanan hidup Yusuf.  Ia dijual oleh saudara-saudaranya, dipenjara secara tidak adil, dan mengalami penderitaan bertahun-tahun. Yusuf  tidak membiarkan kepahitan menguasai hatinya,  sebaliknya ia tetap percaya bahwa Allah memiliki rencana yang lebih besar sebagaimana dikatakannya kepada kakak-kakaknya yang meminta maaf kepadanya, “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar.”   (Kejadian 50:20, TB). Sering kali, kita sulit memahami mengapa kita mengalami penderitaan. Namun, dalam kasih dan rencana Allah, tidak ada penderitaan yang sia-sia. Justru dari luka-luka yang kita alami, Tuhan dapat membentuk kita menjadi pribadi yang lebih mengasihi dan lebih peka terhadap kebutuhan orang lain. Seperti Elizabeth Fry dan Yusuf, kita diajak untuk percaya bahwa kasih Allah mampu mengubah setiap luka menjadi berkat.   Sakit dan penderitaan bukan akhir dari cerita, tetapi bagian dari rencana Tuhan untuk membentuk kita menjadi pribadi yang lebih mengasihi dan memahami orang lain. Sering kali kesulitan justru menjadi awal dari munculnya belas kasih yang lebih dalam, sebagaimana pepatah mengatakan,”Sebelum mendapatkan air jernih, air keruh harus mengalir lebih dulu.” (sTy)