MENGASIHI DALAM RASA SAKIT,MENGAMPUNI DALAM KASIH

Pada tahun 2006 ada seorang pria bernama Charles Carl Roberts IV masuk ke sebuah sekolah Amish di Pennsylvania, Amerika Serikat. Dengan kejam Charles menembak sepuluh anak perempuan dan menewaskan lima di antaranya sebelum akhirnya bunuh diri. Insiden ini memang mengguncang dunia tetapi yang lebih mengejutkan yaitu respons komunitas Amish. Di saat duka yang mendalam mereka tidak menunjukkan kebencian atau keinginan membalas dendam namun sebaliknya mereka mendatangi keluarga pelaku dan menghibur istri serta anak-anaknya. Bahkan beberapa orang Amish menghadiri pemakaman Roberts dan menawarkan pengampunan kepada keluarganya. Tindakan orang-orang Amish ini mencerminkan isi Efesus 4:31-32 yaitu membuang kepahitan dan menggantinya dengan kasih serta pengampunan. Secara manusiawi, sulit memahami bagaimana mereka bisa mengampuni begitu cepat setelah mengalami kehilangan yang tragis. Tetapi mereka memilih untuk mengikuti teladan Kristus, yang di atas kayu salib berkata, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Lukas 23:34). Mengasihi dalam keadaan sakit hati dan mengampuni dengan kasih bukanlah hal yang mudah dan semua itu menuntut pengorbanan ego, keberanian untuk melepaskan luka dan mempercayai bahwa Tuhan adalag Hakim yang adil. Namun pengampunan bukan hanya ditujukan kepada orang yang bersalah tetapi juga untuk diri kita sendiri. Dengan mengampuni, kita melepaskan diri dari belenggu kepahitan yang bisa menggerogoti jiwa kita.  Jika komunitas Amish bisa mengampuni pembunuh anak-anak mereka, bukankah kita seharusnya juga bisa mengampuni mereka yang menyakiti kita? Mungkin sakitnya masih terasa, tetapi kasih dan pengampunan yang kita berikan akan membawa kesembuhan, bukan hanya bagi orang lain tetapi juga bagi diri kita sendiri.   Mengampuni bukan berarti melupakan luka, tetapi memilih untuk tidak membiarkan luka itu mengendalikan hidup kita  karena saat mengampuni, kita membebaskan diri  sendiri lebih dari orang yang kita ampuni. (sTy)

SAKIT YANG MENGAJARKAN KASIH

Elizabeth Fry (1780–1845) adalah seorang reformator sosial dan aktivis Kristen asal Inggris yang dikenal karena perjuangannya dalam mereformasi sistem penjara. Pada awal abad ke-19, kondisi penjara di Inggris sangat buruk. Tahanan hidup berdesakan dalam sel sempit tanpa sanitasi yang layak, sering mengalami kekerasan, dan tidak mendapatkan perlakuan manusiawi.  Ketika pertama kali mengunjungi Penjara Newgate pada tahun 1813, Elizabeth Fry sangat terkejut melihat betapa para tahanan perempuan dan anak-anak hidup dalam kondisi mengenaskan. Namun, bukannya menjauhi tempat itu, ia justru tergerak oleh belas kasih. Ia mulai mengajarkan para tahanan membaca dan menulis, memberi mereka pelatihan keterampilan, serta memperjuangkan pemisahan antara tahanan pria dan wanita. Upayanya menarik perhatian pemerintah Inggris dan mendorong perubahan besar dalam sistem peradilan. Kasih Elizabeth Fry terhadap mereka yang terbuang tidak muncul dari kehidupan yang mudah. Sebagai seorang wanita di zaman di mana peran perempuan masih terbatas, ia menghadapi banyak tantangan dan penolakan. Namun, imannya kepada Tuhan memberinya kekuatan untuk terus berjuang. Baginya, setiap orang, termasuk para tahanan, memiliki nilai di hadapan Tuhan dan berhak mendapatkan kesempatan kedua. Kisah Elizabeth Fry mengingatkan kita pada perjalanan hidup Yusuf.  Ia dijual oleh saudara-saudaranya, dipenjara secara tidak adil, dan mengalami penderitaan bertahun-tahun. Yusuf  tidak membiarkan kepahitan menguasai hatinya,  sebaliknya ia tetap percaya bahwa Allah memiliki rencana yang lebih besar sebagaimana dikatakannya kepada kakak-kakaknya yang meminta maaf kepadanya, “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar.”   (Kejadian 50:20, TB). Sering kali, kita sulit memahami mengapa kita mengalami penderitaan. Namun, dalam kasih dan rencana Allah, tidak ada penderitaan yang sia-sia. Justru dari luka-luka yang kita alami, Tuhan dapat membentuk kita menjadi pribadi yang lebih mengasihi dan lebih peka terhadap kebutuhan orang lain. Seperti Elizabeth Fry dan Yusuf, kita diajak untuk percaya bahwa kasih Allah mampu mengubah setiap luka menjadi berkat.   Sakit dan penderitaan bukan akhir dari cerita, tetapi bagian dari rencana Tuhan untuk membentuk kita menjadi pribadi yang lebih mengasihi dan memahami orang lain. Sering kali kesulitan justru menjadi awal dari munculnya belas kasih yang lebih dalam, sebagaimana pepatah mengatakan,”Sebelum mendapatkan air jernih, air keruh harus mengalir lebih dulu.” (sTy)

KASIH YANG LEBIH BESAR DARI RASA SAKIT

Pada tahun 1981, Mehmet Ali Agca menembak Paus Yohanes Paulus II di Lapangan Santo Petrus, Vatikan. Peluru hampir merenggut nyawa Sang Paus. Dua tahun kemudian Paus mengunjungi Mehmet di penjara dan dengan penuh kasih dipegangnya tangan pria yang pernah mencoba membunuhnya dan berkata, “Saya sudah mengampunimu.” Dunia terdiam melihat cinta yang melampaui sakit itu. Paus tidak hanya mengampuni dengan kata-kata tetapi juga dengan tindakan nyata.   Apa yang menginspirasi Paus Yohanes Paulus II ?  Yesus Kristus. Ribuan tahun lalu dalam penderitaan-Nya di kayu salib, Yesus mengucapkan doa yang tak terbayangkan, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”    Lukas 23:34 (TB).  Ini bukan hanya sekadar kata-kata penghiburan tetapi kasih yang nyata. Luka-Nya begitu dalam, baik secara fisik maupun emosional namun kasih yang dimiliki-Nya jauh lebih besar daripada sakit itu. Kita semua pasti pernah terluka, dikhianati, atau disakiti oleh orang lain. Luka hati itu nyata dan menyakitkan. Namun, sebagai murid Kristus, kita diajak untuk melihat sakit kita dalam terang kasih-Nya. Mungkin kita tidak bisa mengampuni dengan kekuatan sendiri, tetapi kasih Kristus memberi kita kemampuan untuk melampaui kepedihan dan memilih kasih.  Ketika kita memilih kasih, kita tidak menyangkal sakit kita tetapi kita menolak untuk diperbudak oleh kepahitan. Kasih yang lebih besar dari luka tidak menghapus rasa sakit secara instan, tetapi memberikan jalan menuju pemulihan sejati. Kasih yang sejati bukanlah sekadar perasaan, tetapi pilihan. Kasih akan memilih untuk mengampuni ketika kebencian tampak menjadi jawaban yang lebih mudah dan logis. Kasih akan memilih untuk melihat ke depan ketika masa lalu terus berusaha menahan kita. Kasih Kristus lebih besar dari rasa sakit kit, dan kasih itulah yang memampukan kita untuk berjalan dalam kebebasan sejati.   Ingatlah bahwa mengampuni bukan berarti melupakan, tetapi membebaskan hati dari belenggu kepahitan. (sTy)

MENGASIHI MESKI TERSAKITI

Pada tahun 1994, dunia dikejutkan oleh genosida di Rwanda yang dipicu oleh konflik antara kelompok etnis Hutu dan Tutsi. Dalam waktu seratus hari, lebih dari delapan ratus ribu orang (sebagian besar dari etnis Tutsi) dibantai dengan kejam. Salah satu korban yang selamat bernama Immaculée Ilibagiza. Ia bersembunyi di kamar mandi kecil selama sembilan puluh satu hari dan dalam persembunyian didengarnya bagaimana keluarganya dibantai oleh orang-orang yang dulu merupakan tetangga sendiri. Namun setelah perang usai, ia memilih untuk mengampuni para pembunuh itu dan berkata, “Aku memilih mengampuni, bukan karena mereka pantas mendapatkannya, tetapi karena aku ingin bebas dari kebencian.” Yesus mengajarkan kasih tanpa syarat.  Yesus berkata, “Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu, mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu, berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.” (Lukas 6:27-28).   Ia tidak berkata, “Kasihilah mereka jika mereka layak dikasihi,” tetapi “Kasihilah musuhmu”.   Mengasihi mereka yang menyakiti kita bukanlah tanda kelemahan, melainkan kekuatan. Saat kita memilih mengasihi meski tersakiti, sejatinya kita sedang berjalan di jalan yang telah Yesus tempuh yaitu jalan salib, jalan kasih tanpa batas.   Saat dipaku, dihina, dan diolok-olok, Yesus tetap berdoa, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34).  Demikian pula kita, ketika kita mengampuni dan mengasihi mereka yang menyakiti, kita tidak hanya melepaskan diri dari belenggu kebencian, tetapi juga mencerminkan kasih Kristus di dunia ini.  Kasih sejati tidak diukur dari bagaimana kita memperlakukan mereka yang baik kepada kita, tetapi bagaimana kita tetap mengasihi mereka yang menyakiti kita. Kasih seperti ini bukan hanya membawa kedamaian bagi hati kita, tetapi juga menjadi kesaksian nyata tentang Kristus dalam hidup kita.  Ingatlah bahwa mengampuni bukan berarti melupakan, tetapi melepaskan diri dari belenggu kebencian. (sTy)

RAMBATKAN AKARMU KE TEPI SUNGAI BERKAT-NYA

Dr. Fumio Kurokawa, seorang ilmuwan pertanian dan ahli ekologi di Jepang, suatu ketika,  menemukan bahwa akar pohon bambu dapat tumbuh hingga puluhan meter mencari sumber air. Meski batangnya ramping dan tampak lemah, kekuatan bambu terletak pada akarnya yang saling terjalin kuat dan menyerap air secara maksimal dari tanah sekitarnya. Dengan sistem akar yang dalam dan luas, bambu dapat bertahan dari angin kencang dan badai.    Dalam kehidupan kerohanian, kita dipanggil untuk merambatkan akar iman kita ke dalam sumber air hidup, yaitu Yesus Kristus. Dalam Yohanes 7:38, Tuhan Yesus mengatakan, “Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup.”  Air hidup ini melambangkan Roh Kudus yang menguatkan, menuntun, dan memberikan kesegaran bagi jiwa kita.  Sering kali dalam hidup, kita mengalami kekeringan rohani karena kita tidak cukup dalam menancapkan akar iman kita pada Tuhan. Kita mencari kepuasan di tempat yang keliru: kesuksesan dunia, pengakuan manusia, atau kenyamanan materi. Namun, semua itu hanyalah sumber air sementara yang cepat mengering. Tuhan Yesuslah satu-satunya sungai berkat yang sejati yang ketika kita melekat kepada-Nya, kita akan mendapatkan ketenangan, kekuatan, dan damai sejahtera yang tidak tergoyahkan. Mari belajar dari pohon bambu yang tetap kuat karena akarnya yang dalam. Semakin kita berakar dalam firman Tuhan, semakin kita akan mengalami kelimpahan berkat rohani yang tidak hanya menguatkan kita sendiri, tetapi juga mengalir dan menjadi berkat bagi orang lain.  Kehidupan iman seharusnya bagaikan pohon bambu yang nampak sederhana, tetapi memiliki akar yang kuat dan mendalam. Jika kita terus menancapkan akar iman kita ke dalam Firman Tuhan, tidak ada badai kehidupan yang dapat menggoyahkan kita. Percayalah bahwa ketika kita melekat pada-Nya, air hidup itu akan terus mengalir dan memberi kehidupan yang sejati.  Sebuah kalimat bijak mengatakan, “iman yang berakar dalam akan bertahan dalam segala musim kehidupan.” (sTy)

RAMBATKAN AKARMU KE TEPI SUNGAI KEBAIKAN-NYA

Ketika Perang Dunia II berkecamuk, ada seorang diplomat Jepang bernama Chiune Sugihara menghadapi dilema besar. Di tahun 1941 ketika ia bekerja di Konsulat Jepang di Lithuania, ratusan pengungsi Yahudi datang kepadanya dan memohon visa ke Jepang agar bisa melarikan diri dari pembantaian. Pemerintah Jepang melarangnya mengeluarkan visa bagi mereka, tetapi Sugihara tidak tega melihat penderitaan orang-orang itu.  Dengan tekad yang kuat ia menandatangani ribuan visa setiap hari bahkan tangannya sampai kelelahan karenanya. Sugihara tahu bahwa tindakannya bisa berakibat buruk bagi dirinya dan keluarganya, tetapi ia tetap memilih untuk melakukan yang benar. Berkat keberaniannya, lebih dari enam ribu orang Yahudi selamat dari kekejaman Nazi. Seperti Chiune Sugihara yang tetap teguh berakar pada belas kasih dan kemanusiaan, Rasul Paulus mengingatkan kita dalam Kolose 2:6-7, “Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur.”  Kolose 2:6-7 (TB).  Hidup yang berakar dalam Dia akan menghasilkan iman yang teguh dan hati yang selalu bersyukur.  Kita akan mudah goyah saat badai kehidupan datang bila tak merambatkan iman kita kepada sungai kebaikan Tuhan.  Karena itu kita harus semakin dalam berakar dalam kasih, keadilan, dan kemurahan Tuhan sehingga hidup kita tidak hanya kuat menghadapi tantangan, tetapi juga menjadi saluran berkat bagi orang lain. Melakukan kebaikan membutuhkan keberanian.  Sugihara tidak tahu apakah tindakannya akan berhasil atau tidak, tetapi ia berani memilih untuk berbuat baik. Demikian juga kita, mari merambatkan akar iman kita dalam Kristus dan tetap berpegang pada kebenaran-Nya, agar hidup kita dipenuhi dengan kebaikan yang melimpah dari Tuhan dan kita pun berani menyalurkan kebaikan Tuhan kepada sesama.   Orang yang berakar dalam Kristus akan tetap teguh dalam badai kehidupan dan menghasilkan buah bagi sesama.  Ingatlah bahwa akar yang merambat ke tepi sungai kebaikan Tuhan akan menghasilkan buah yang memberi kehidupan bagi banyak orang.” (sTy)

RAMBATKAN AKARMU KE TEPI SUNGAI PENGHARAPAN-NYA

George Müller (1805-1898) dikenal sebagai seorang hamba Tuhan yang hidup sepenuhnya mengandalkan iman kepada Tuhan.  George lahir di Jerman dan menjalani masa muda yang jauh dari Tuhan, tetapi setelah mengalami pertobatan, ia mengabdikan hidupnya untuk pelayanan. George kemudian pindah ke Inggris dan menjadi pendeta di Bristol dan mendirikan rumah yatim piatu secara mandiri, idependen dan hanya bersandar kepada Tuhan untuk operasionalnya tiap hari.  George hanya mengandalkan doa.    Suatu pagi di mana anak-anak yatim telah duduk di meja makan yang kosong dan tanpa makanan sama sekali. George tetap berdoa dan percaya bahwa Tuhan akan menyediakan makanan yang dibutuhkan. Tak lama setelah ia berdoa, seorang tukang roti datang dan berkata bahwa ia merasa terdorong sejak dini hari untuk membawakan roti. Beberapa menit kemudian, seorang pengantar susu mengetuk pintu karena gerobaknya rusak di depan rumah yatim itu dan ia menawarkan seluruh susu yang ia bawa kepada George daripada susu tak terjual. Hidup George merupakan bukti nyata dari Mazmur 1:3 yang mengatakan bahwa, “orang benar seperti pohon yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.”  Mazmur 1:3 (TB).  George bagaikan  pohon yang ditanam di tepi aliran air yang akarnya merambat dalam iman kepada Tuhan, yang tidak layu dalam menghadapi kesulitan, sebab ia tahu bahwa Tuhan merupakan sumber dan pemelihara kehidupannya. Demikian juga dengan kita. Ada masa-masa sulit yang membuat kita merasa kehilangan pengharapan. Namun, Mazmur 1:3 mengajarkan kita untuk menanamkan akar iman kita dalam Tuhan. Jika kita terus terhubung dengan-Nya melalui doa dan firman-Nya, kita tidak akan layu meskipun diterpa badai kehidupan.  Ketika tantangan datang, apakah kita tetap mencari Tuhan? Apakah kita tetap percaya bahwa rancangan-Nya baik, bahkan ketika keadaan tampak gelap? Seperti George Müller yang mengandalkan iman dan pengharapannya hanya kepada Tuhan, kita pun dapat mengalami kuasa-Nya dalam setiap aspek kehidupan kita.  Ketika kita menanamkan iman kita dalam Tuhan, kita tidak akan mudah goyah oleh badai kehidupan. Tuhan selalu menyediakan bagi mereka yang berharap kepada-Nya.   Ingatlah sebuah kata bijak yang mengatakan: Wit kang oyote kuwat, ora gampang rubuh sanajan diobong srengenge lan disapu angin. (Pohon yang akarnya kuat tidak mudah tumbang meskipun diterpa matahari dan badai).  Hati yang selalu tertanam dalam pengharapan Tuhan akan selalu hidup dan berbuah lebat. (sTy)

RAMBATKAN AKARMU KE TEPI SUNGAI KEBENARAN-NYA

Aleksandr Solzhenitsyn, seorang penulis dan sejarawan Rusia yang lahir pada 11 Desember 1918. Pada masa mudanya, ia terpengaruh oleh pendidikan negara yang mengajarkan bahwa sosialisme merupakan keadilan dan agama itu musuh rakyat. Namun selama Perang Dunia II, Aleksandr ditangkap karena mengkritik Joseph Stalin dan dijatuhi hukuman delapan tahun kerja paksa di kamp kerja paksa Soviet yang dikenal sebagai Gulag . Di tengah penderitaan di kamp tersebut, Solzhenitsyn menemukan kembali imannya kepada Tuhan. Pengalaman di kamp kerja paksa telah menginspirasinya untuk menulis karya-karya seperti “One Day in the Life of Ivan Denisovich” dan “The Gulag Archipelago” yang mengungkap kekejaman rezim Soviet dan menyoroti ketahanan iman di tengah penindasan. Melalui tulisannya, ia menunjukkan bahwa kebenaran Tuhan tetap ada, bahkan di tengah penderitaan yang paling berat. Dalam kehidupan kita, sering kali kita merasa terombang-ambing oleh berbagai tekanan dunia. Tetapi Yesus mengajarkan bahwa,”Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.”  Yohanes 8:31-32 (TB). Seperti pohon yang merambatkan akarnya ke sungai agar tetap hidup dan kuat, kita pun harus menanamkan hidup kita dalam kebenaran Firman Tuhan. Jika kita berakar dalam Firman-Nya, kita tidak akan mudah tergoyahkan oleh tipu daya dunia ini karena Firman Tuhan adalah air kehidupan yang memberi kekuatan dan arah bagi anak-anak Allah.  Hidup dalam kebenaran-Nya bukan sekadar mengetahui ayat-ayat Alkitab, tetapi juga menghidupinya dalam keseharian. Dengan demikian, kita tidak hanya menjadi pendengar Firman, tetapi juga pelaku yang mengalami kemerdekaan sejati.  Seperti akar pohon yang merambat mencari sumber air, demikianlah hati kita harus merindukan Firman Tuhan. Hanya dengan berpegang teguh pada kebenaran-Nya, kita akan menemukan kebebasan sejati yang melampaui segala situasi.  Kebenaran bukan sekadar diketahui, tetapi harus dihidupi karena didalamnya ada kemerdekaan sejati. (sTy)

DARI LEMBAH PENANTIAN, TUHAN MERENGKUH DENGAN PENGHARAPAN

William Wilberforce adalah seorang politisi Inggris yang menghabiskan lebih dari duapuluh tahun hidupnya memperjuangkan penghapusan perbudakan di Kerajaan Inggris. Ia menghadapi berbagai tekanan, oposisi bahkan ancaman, tetapi ia tidak menyerah. Banyak orang meragukan bahwa perbudakan bisa dihapus, tetapi Wilberforce tetap berpegang pada imannya dan yakin bahwa Tuhan memanggilnya untuk misi ini.  Tahun demi tahun berlalu dan perjuangannya tampak sia-sia. Namun, ia tidak berhenti berdoa dan bekerja. Akhirnya hanya beberapa hari sebelum kematiannya, Parlemen Inggris mengesahkan Undang-Undang Penghapusan Perbudakan. Penantiannya panjang dan melelahkan, tetapi Tuhan merengkuhnya dengan pengharapan dan menggenapi rencana-Nya. Kita sering merasa terjebak dalam “lembah penantian” masa di mana doa kita seolah-olah tidak dijawab, harapan kita diuji, dan kita bertanya-tanya kapan Tuhan akan bertindak. Mazmur 27:14 mengatakan, “Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!”  dan ayat ini mengingatkan kita bahwa menantikan Tuhan bukanlah sekadar diam, melainkan mempercayakan hidup kita kepada-Nya dengan hati yang teguh.  Seandainya Wilberforce menyerah di tengah jalan, barangkali ia tidak akan melihat buah dari perjuangannya.  Kita mungkin saat ini sedang berjuang dalam doa dan belum melihat jawaban atas doa-doa kita, namun tetaplah berdoa dan jangan menyerah. Tuhan bekerja dengan cara dan waktu-Nya dan pengharapan di dalam Dia tidak akan mengecewakan.  Tuhan tidak pernah terlamba, meskipun terkadang kita merasa menunggu terlalu lama. Jika kita tetap teguh dalam iman, kita akan melihat bagaimana Tuhan bekerja dalam waktu dan cara-Nya yang sempurna.  Ingatlah bahwa penantian bersama Tuhan bukanlah waktu yang terbuang, tetapi waktu yang dipakai-Nya untuk membentuk kita dan menggenapi rencana-Nya. (sTy)

DARI LEMBAH PENDERITAAN,TUHAN MERENGKUH DENGAN KEKUATAN

Seorang pendeta yang berasal dari Rumania bernama Richard Wurmbrand, pernah mengalami siksaan yang luar biasa di penjara komunis karena imannya kepada Kristus. Selama 14 tahun di penjara, ia disiksa secara fisik dan mental, dikurung dalam sel bawah tanah, dan diisolasi dari dunia luar. Namun di tengah kegelapan dan penderitaan itu, ia tetap berpegang pada Tuhan.  Dalam salah satu kesaksiannya, Wurmbrand berkata, “Aku telah melihat para tahanan Kristen dengan tubuh yang penuh luka tersenyum dan berkata, ‘Yesusku, aku mencintai-Mu.’” Bagi Wurmbrand, penderitaan bukanlah bukti ketidakhadiran Tuhan, tetapi justru tempat di mana kasih dan kekuatan-Nya semakin nyata. Paulus dalam 2 Korintus 1:3-4 menuliskan, “Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus,   Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan,  yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami , sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah.”.  Melalui ayat ini Paulus mengingatkan bahwa penderitaan tidak selalu dapat dihindarkan dari hidup orang percaya, tetapi Tuhan merengkuh kita dengan kekuatan-Nya saat kita berada dalam penderitaan itu. Terlebih lagi penderitaan yang kita alami juga dapat menjadi kesaksian bagi orang lain yang mengalami hal serupa. Seperti Wurmbrand yang tetap setia di tengah siksaan, kita pun dipanggil untuk tetap percaya bahwa Tuhan hadir dalam setiap lembah penderitaan kita. Penghiburan yang kita terima dari-Nya bukan hanya ditujukan untuk diri kita tetapi juga dipakai untuk membangkitkan pengharapan bagi mereka yang sedang mengalami kesulitan.  Penderitaan bukanlah tanda bahwa Tuhan menjauh dari kita tetapi merupakan kesempatan untuk mengalami kasih dan kekuatan-Nya secara nyata dalam kehidupan kita. Tuhan tidak selalu membebaskan umat-Nya dari penderitaan, tetapi Dia berjanji untuk menyertai kita melewatinya.  Sebuah kalimat bijak mengatakan,”wong kang sabar lan setya marang Gusti, bakal weruh pepadhang sanajan ing tengahing pepeteng.”  (orang yang sabar dan setia kepada Tuhan akan melihat terang meskipun di tengah kegelapan). (sTy)