EDOM: Bersukacita di atas Penderitaan

EDOM. Dari Wikipedia saya mendapat informasi bahwa Edom  merupakan nama tempat yang sebelumnya dikenal dengan nama Seir. Tanah dan penghuni dari Edom ini ditemukan di dataran bagian selatan dan tenggara dari Laut Mati. Edom juga bertetangga dengan Israel di timur dan selatan.  Di dalam Alkitab nama Edom memiliki tiga makna. Makna yang pertama (Kejadian 25:30; 36:1, 8, dan 19) yaitu nama lain dari Esau sebagai peringatan bahwa ia menukar hak kesulungannya dengan satu mangkok sup kacang merah.  Makna yang kedua (kitab Bilangan 20:18, 20, 21; kitab Amos 1:6, 11; 9:12; kitab Maleakhi 1:4) yaitu Edom sebagai suatu kelompok bangsa.  Makna yang ketiga (kitab Kejadian 32:3; 36:20, 21, 30; kitab 24:18) yaitu tanah yang diduduki oleh keturunan Esau, yang sebelumnya dikenal dengan nama Seir.  Kata Edom sendiri berarti merah. Kata ini menunjuk pada sup yang diberikan sebagai ganti hak kesulungannya. Selain itu, kata ini juga berkaitan dengan kelahiran Esau, warnanya merah, yang  terdapat dalam kitab Kejadian 25:25. Kata merah juga muncul karena warna kemerah-merahan yang ada pada tanah Edom yang di dalam Akitab disebutkan terdiri dari batu yang berwarna merah. Dalam zaman Romawi atau Perjanjian Baru wilayah Edom dikenal dengan nama Idumea. Mari kita membaca dan merenungkan Yehezkiel 35:1-25 dengan berfokus pada ayat 5.  Sahabat, dalam praktik hidup sehari-hari kita sering mendengar ungkapan yang berbunyi:  “Menari di atas penderitaan orang lain”, yang  artinya  seseorang yang tampak senang atau bersukacita ketika melihat orang lain hidup menderita, tertawa lebar karena kemalangan yang dialami orang lain.  Sesungguhnya Tuhan tidak menghendaki kita bersukacita karena kesusahan, penderitaan atau kemalangan yang dialami oleh orang lain, termasuk yang dialami oleh musuh sekalipun.  Coba kita simak nasihat  rasul Paulus berikut ini:  “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!”  (Roma 12:15).  Itulah yang disebut dengan  tepa selira  (bahasa Jawa) yang artinya  berbela rasa.  Ketika melihat orang lain sedang tertimpa kesusahan atau kemalangan, Tuhan menghendaki kita berbuat sesuatu untuk menolong, bukan malah bertepuk sorak, sambil berkata:  “Rasain Lu …!” Sahabat, Edom memusuhi bangsa Israel, yang merupakan  umat pilihan Tuhan, dan menutup mata ketika melihat penderitaan umat Israel yang diakibatkan serangan musuh, bahkan mereka tampak bersukacita melihat umat Israel begitu menderita.  Kata Edom sendiri memiliki arti merah.  Akhirnya warna  merah  itupun menjadi sebuah kenyataan, karena tempat itu dipenuhi oleh warna merah oleh tumpahan darah para penduduknya yang mendapatkan penghukuman atau pembalasan dari Tuhan (Ayat 6-7). Sahabat, permusuhan Edom dan Israel berlangsung terus-menerus. Bahkan Edom bergembira saat saudaranya, Israel, tertimpa malapetaka (Ayat 5, 15). Edom berpikir bahwa tanah Israel dan Yehuda akhirnya akan menjadi miliknya (Ayat 10, 12). Karena alasan itu, Tuhan akan menghukum bangsa itu. Seperti Edom memperlakukan Israel dalam murka dan cemburunya, Tuhan akan memperlakukan Edom pun demikian (Ayat 11). Sebagaimana Edom bersuka ria karena Israel telah menjadi sunyi sepi, Tuhan juga akan membuat Edom menjadi sunyi sepi (Ayat 7, 9, 15). Hal tersebut menunjukkan Tuhan peduli terhadap umat-Nya. Bahkan Tuhan menganggap apa yang dilakukan para musuh kepada umat-Nya sama artinya mereka melakukannya kepada diri-Nya (bdk. Kisah Para Rasul 9:5,  Yesus menyebut pengikut-Nya sebagai diri-Nya saat mereka dianiaya Saulus). Maka bersukacitalah karena kita memiliki Allah yang menganggap musuh umat-Nya sebagai musuh pribadi-Nya. Jangan takut jika menghadapi tantangan dan penganiayaan dari orang-orang yang memusuhi umat Tuhan. Ia akan menghukum mereka dengan keras. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apakah yang Tuhan kehendaki untuk Sahabat lakukan berdasarkan hasil perenunganmu? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Kita membutuhkan hikmat Tuhan untuk dapat merespons dengan benar atas setiap kesulitan dan penderitaan orang-orang yang ada di sekitar kita. (pg).

Keimanan di Dunia yang Semakin Cerdas

Pernahkah Saudara terpukau oleh teknologi yang terasa seperti keajaiban? Dalam hitungan detik,  Saudara dapat memesan makanan, mencari informasi, bahkan berbicara dengan seseorang di belahan dunia lain. Kita hidup di masa di mana segala sesuatu terasa begitu mudah. Teknologi terus berkembang, menjadikan dunia lebih cerdas dan terhubung dari sebelumnya. Namun, di tengah kemajuan yang mengagumkan ini, sebuah pertanyaan mendasar muncul: di mana tempat Tuhan dalam dunia yang semakin cerdas ini? Saudaraku, Yesaya 40:28 mengingatkan kita tentang kebesaran Tuhan yang tidak terbandingkan:  “Tidakkah kau tahu? Tidakkah kau dengar? Tuhan adalah Allah kekal, yang menciptakan bumi dari ujung ke ujung; Ia tidak menjadi lelah dan tidak menjadi lesu, tidak terduga pengertian-Nya.” Di tengah kemajuan teknologi, firman ini seolah menjadi jembatan yang mengingatkan kita pada kehadiran Allah yang tetap berdaulat. Dunia mungkin berubah, tetapi Dia tidak pernah berubah. Namun, apakah kita masih menyadari hal ini, atau justru mulai menggantikan Tuhan dengan kecerdasan buatan? Dalam rutinitas kita, teknologi telah mengambil peran yang begitu besar. Dari bangun tidur hingga malam hari, hidup kita dikelilingi oleh perangkat pintar yang menjanjikan solusi cepat. Ketika tersesat, kita langsung membuka peta digital. Ketika membutuhkan jawaban, kita bertanya pada mesin pencari. Bahkan dalam pergumulan, beberapa orang lebih dulu mencurahkan isi hati di media sosial ketimbang berlutut di hadapan Tuhan. Seolah-olah, teknologi menjadi tempat pertama kita berpaling, sementara Tuhan menjadi pilihan terakhir. Seperti sebuah jam tangan otomatis yang bekerja tanpa perlu diatur setiap hari, teknologi terasa seperti jawaban atas banyak persoalan manusia. Namun, pernahkah Saudara memperhatikan bahwa meski begitu canggih, teknologi tetap memiliki batas? Algoritma tidak bisa memahami kedalaman hati manusia. Mesin tidak dapat memeluk kita di saat kesedihan. Kecerdasan buatan, secerdas bagaimanapun, tidak mampu memberikan arti hidup. Dalam momen-momen paling rapuh, kita menyadari bahwa HANYA TUHAN yang dapat menjawab KEBUTUHAN TERDALAM KITA. Bayangkan seorang anak kecil yang bermain dengan robot. Ia tertawa, berbicara, bahkan memberi nama pada robot itu. Namun, saat malam tiba dan ia merasa takut dalam kegelapan, robot itu tidak bisa memberinya pelukan hangat atau kata-kata penghiburan. Begitu pula dengan manusia. Teknologi mungkin memudahkan hidup kita, tetapi hanya Tuhan yang dapat memberi arti pada kehidupan itu sendiri. Yesaya berkata, “Ia tidak menjadi lelah dan tidak menjadi lesu.” Tuhan tidak seperti perangkat elektronik yang bisa kehabisan daya. Dia selalu ada, siap mendengar, siap menjawab, dan siap memelihara. Namun, tantangan terbesar kita bukanlah teknologi itu sendiri, melainkan hati kita yang mudah beralih. Ketika semua terasa mudah, kita cenderung melupakan kebergantungan kita kepada Tuhan. Kita lupa bahwa hikmat manusia adalah anugerah-Nya. Pikiran yang menciptakan kecerdasan buatan hanyalah hasil dari kemampuan yang diberikan oleh Pencipta kita. Bagaimana mungkin kita mengandalkan ciptaan lebih dari Sang Pencipta? Dalam kehidupan sehari-hari, ada momen-momen di mana kita lebih sering bertanya kepada teknologi daripada kepada Tuhan. Ketika menghadapi keputusan besar, kita mencari saran dari internet. Ketika hati kita gelisah, kita mencoba mencari hiburan di dunia maya. Padahal, jawaban sejati hanya dapat ditemukan dalam doa dan Firman-Nya. Tuhan yang menciptakan bumi dari ujung ke ujung memiliki pengertian yang tidak terduga. Dia tahu apa yang kita butuhkan, bahkan sebelum kita memintanya. Di dunia yang semakin cerdas, iman kita sering diuji dalam bentuk yang halus. Kita tidak lagi ditantang oleh pedang atau penganiayaan, tetapi oleh kenyamanan yang menjauhkan kita dari Tuhan. Kita tidak lagi memohon hikmat dengan sungguh-sungguh, karena merasa memiliki semua jawaban di ujung jari. Namun, hati yang tidak lagi bergantung pada Tuhan adalah hati yang perlahan menjadi kosong. Teknologi mungkin menghubungkan kita dengan dunia, tetapi hanya Tuhan yang dapat menghubungkan kita dengan keabadian. Saudaraku, dalam renungan ini, marilah kita melihat teknologi sebagai alat, bukan tujuan. Gunakan kecerdasan buatan untuk mendukung kehidupan kita, tetapi jangan pernah membiarkannya menggantikan Tuhan dalam hati kita. Ambil waktu untuk mengisi jiwa dengan kehadiran-Nya. Mulailah hari dengan doa, bukan dengan menggulir layar ponsel. Biarkan firman-Nya menjadi penuntun dalam setiap keputusan, dan bukan opini dunia yang terus berubah-ubah. Seperti seorang pelaut yang mengandalkan bintang untuk menemukan arah di tengah lautan, kita membutuhkan Tuhan untuk menunjukkan jalan di dunia yang penuh perubahan ini. Teknologi mungkin membantu kita melihat lebih jauh, tetapi Tuhanlah yang memberi kita tujuan. Di tengah semua kebingungan dan kompleksitas dunia modern, Yesaya 40:28 mengingatkan kita bahwa Tuhan adalah Allah kekal. Dia tidak pernah lelah, tidak pernah lesu, dan tidak pernah meninggalkan kita. Saudaraku, ketika dunia menjadi semakin cerdas, biarkan keimanan kita kepada Tuhan menjadi lebih dalam. Sebab, pada akhirnya, bukan teknologi yang menyelamatkan kita, tetapi kasih karunia-Nya. Mari kita berpaling kepada Dia yang pengertian-Nya tidak terduga, dan menemukan bahwa DIA, dan HANYA DIA, adalah SUMBER PENGHARAPAN KITA YANG SEJATI. (EBWR)

Be Confident and Calm

BENTENG. Sahabat dari SarapanPagi Biblika saya mendapat informasi bahwa benteng suatu kota tinggi biayanya, sulit, dan membutuhkan pasukan pertahanan yang memadai, jadi tidak semua kota dibentengi. Kota-kota besar biasanya bertembok; kota-kota kecil di wilayah tersebut, yang dikenal sebagai anak-anak kota, tidak bertembok (Yosua 15:45, 47; 17:11). Ada tiga hal yang sangat penting untuk sebuah kota berbenteng: Pertama, tembok-tembok untuk menghalangi musuh, Kedua, senjata agar pasukan pembela dapat mengusir para penyerang, dan Ketiga, Persediaan air yang memadai. Bahan makanan dapat disimpan selama masa damai; tetapi, agar suatu kota dapat bertahan di bawah pengepungan yang lama, harus ada sumber air yang konstan dan mudah dicapai. Penduduk kota-kota kecil  dapat berlari ke kota yang bertembok apabila ada serbuan musuh. Jadi, kota-kota berbenteng berfungsi sebagai tempat berlindung bagi orang-orang di daerah itu. Kota-kota juga dibentengi jika terletak di tempat strategis untuk melindungi jalan raya, sumber air, jalur menuju pusat-pusat perbekalan, dan jalur komunikasi. Benteng-benteng di banyak kota di Tanah Perjanjian begitu kuat dan tinggi sehingga para mata-mata yang tidak setia yang diutus Musa untuk mengintai Kanaan melaporkan bahwa kota-kotanya yang berbenteng sangat besar dan benteng-bentengnya sampai ke langit. Karena mereka tidak beriman, kota-kota itu tampak mustahil ditaklukkan (Bilangan 13:28; Ulangan 1:28). Kota-kota di negeri-negeri Alkitab umumnya hanya beberapa hektar luasnya. Akan tetapi, ada juga yang jauh lebih besar. Ibu kota Mesir, Asyur, Babel, Persia, dan Roma luar biasa besar. Babel adalah kota yang pertahannya paling kuat pada zaman Alkitab. Kota itu tidak saja mempunyai tembok-tembok yang sangat kuat, tetapi juga terletak di tepi sungai yang berfungsi sebagai parit pertahanan yang bagus sekaligus sebagai persediaan air. Babel merasa bahwa ia dapat menahan para tawanan selama-lamanya (Yesaya 14:16, 17). Tetapi kota itu direbut dalam satu malam karena strategi Koresy, orang Persia, yang mengalihkan aliran sungai Efrat sehingga bala tentaranya dapat memasuki kota melalui gerbang-gerbang yang ada pada tembok di sepanjang dermaga (Daniel 5:30). Syukur kepada Tuhan, hari ini kita dapat melanjutkan belajar dari kitab Mazmur dengan tema: “Be Confident and Calm (Yakinlah dan Tenanglah):”. Bacaan Sabda diambil dari Mazmur 46:1-12 dengan berfokus pada ayat 2. Sahabat, setiap orang memiliki pergumulannya masing-masing. Tidak seorang pun dari kita manusia yang bisa melepaskan diri dari pergumulan dan kesesakan hidup. Kehidupan yang tanpa masalah adalah sebuah kemustahilan. Sebagai orang percaya, kita pun tak luput dari problematika kehidupan. Pergumulan bisa saja datang silih berganti. Namun, hanya satu yang tetap, yakni Tuhan sumber pertolongan kita. Kehidupan umat Tuhan juga dilukiskan oleh Pemazmur seperti suatu kota. Allah sendiri menjadi benteng teguh yang menjamin keamanan dan keselamatan serta kelangsungan hidup umat-Nya. Dalam Mazmur 46 ini, Pemazmur menggambarkan bahwa Tuhan mengimbau untuk tetap diam dengan tentram (Ayat  3-4), sekalipun bumi berubah dan mengalami kehancuran; sekalipun gunung-gunung bergoncang dan bergoyang dalam laut sehingga gelombang airnya bergelora. Sebuah ajakan yang mustahil bisa dilakukan. Pemazmur mengingatkan untuk menemukan keberanian dan keyakinan ini dalam Tuhan (Ayat 5). Ia adalah pencipta alam semesta, Ia adalah tempat perlindungan, kekuatan dan semua itu telah terbukti. Pemazmur mengajak umat untuk secara penuh bersandar kepada Allah. Apakah yang Sahabat sedang hadapi saat ini? Apakah ada ketakutan yang menghantui kehidupan Sahabat hari ini? Adakah Sahabat mengalami pergumulan yang mengancam hidup? YAKINLAH dan TENANGLAH!  Ada Tuhan yang menjadi tempat perlindungan dan kekuatan kita. Bersandarlah pada-Nya! Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami dari ayat 12? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Sekalipun badai hebat menerpa hidup kita, Allah adalah satu-satunya tempat perlindungan yang memberi keteduhan, kekuatan, keteguhan.  Tuhan adalah penolong yang setia. (pg).

Mencari Tuhan

MENCARI TUHAN. Mencari Tuhan merupakan sebuah keputusan penting bagi orang percaya, terlebih saat kita berada dalam situasi-situasi yang sulit. Ketika jalan yang kita tempuh terbentur tembok yang tebal, sedangkan berbagai upaya telah kita lakukan dan kesemuanya berujung kepada kegagalan, tiada jalan lain selain kita harus datang kepada Tuhan dan mencari wajah-Nya.  Mencari Tuhan berarti menyadari akan keterbatasan dan ketidakberdayaan kita, lalu dengan penuh kerendahan hati mencari-Nya. Mencari Tuhan juga berarti berharap dan mengandalkan Dia saja. Mengapa kita harus mencari Tuhan? Karena Dia adalah sumber pertolongan sejati. Sementara segala hal yang ada di dunia ini tidak bisa memberikan jawaban dan jaminan yang pasti bagi kita. Karena itu jangan sekali-kali kita menggantungkan harapan pada  kekayaan, jabatan, pengalaman, kepintaran atau jaringan, semuanya adalah sia-sia.  Gantungkan harapan sepenuhnya kepada Tuhan sebab Dia selalu punya jalan ajaib untuk menolong kita. Dia tidak pernah kehabisan cara melepaskan kita dari berbagai masalah.  Mari kita akan membaca dan merenungkan Hosea 10:1-15. Sahabat, keadaan yang baik, makmur, sejahtera, penghasilan besar, sehat, kuat, pintar, dan kaya dapat membuat orang melupakan Tuhan. Bacaan kita pada hari ini diawali dengan kehebatan dan kemuliaan Israel. Mereka digambarkan sebagai pohon anggur yang terus bertumbuh bertambah besar. Buah yang dihasilkannya juga banyak oleh karena tanahnya subur. Namun, hati mereka licik. Semakin diberkati, mereka semakin menjauh dari Allah. Kian menjamurnya mezbah dan tugu berhala adalah indikatornya. Perjanjian mereka hanyalah bualan dan sumpah dusta (Ayat 1 dan  4). Maka Hosea mengingatkan bangsa Israel bahwa sudah waktunya untuk mencari Tuhan. Sebab, mereka sudah terlalu banyak berbuat dosa di hadapan Allah. Sekalipun sudah diperingatkan, mereka tetap saja melakukan kefasikan, kecurangan, kebohongan, dan mengandalkan kekuatan sendiri. Padahal, peringatan ini bertujuan agar mereka tidak dihancurkan, diremukkan, dan dilenyapkan. Umat Tuhan digambarkan dengan dua persamaan. Pertama, sebagai anak lembu yang mengirik dan membajak tanah agar menjadi gembur. Kedua, sebagai pemilik tanah yang harus menyisir dan membersihkan tanah agar mudah dituai (Ayat 11). Hal tersebut mengingatkan kita pada Matius 11:29 yang berkata: “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” Kuk biasanya dipasang pada hewan lembu. Tujuannya agar petani mudah mengendalikan lembu tersebut saat membajak tanah. Artinya, kuk menggiring seekor hewan agar taat pada si pengendali, yaitu petani. Tuhan melatih umat-Nya untuk menjadi taat. Namun, mereka justru merawat kefasikan, yaitu sikap tidak peduli pada perintah Tuhan. Dia mendidik umat-Nya agar jujur, adil, dan tulus. Faktanya, mereka malah terbiasa curang. Tuhan melatih umat agar kelak memanen buah kebenaran. Sebaliknya, mereka justru memanen buah kebohongan dan kepalsuan. Ajakan untuk mencari Tuhan adalah seruan untuk kembali pada maksud dan rencana Tuhan dengan menaati-Nya. Dalam hal ini, jika menabur dengan keadilan dan kasih, kita pun akan menuai kebaikan. Sahabat, dosa menghancurkan semua kemuliaan. Semua kemuliaan yang dibangun dari dosa juga akan bernasib sama. Keduanya bukanlah pilihan bagi kita. Pilihan kita: MENCARI TUHAN.  Pilihan kita hanyalah berjalan dalam kebenaran Tuhan, MENCARI KERAJAAN dan KEBENARAN-NYA!  Hal lainnya Allah tambahkan menurut kehendak-Nya (Matius 6:33). Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami dari Matius 6:33? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Marilah kita selalu mencari Tuhan! Salah satu caranya adalah dengan membaca dan melakukan firman-Nya. (pg)

KETIKA UANG TAK BERARTI

Saudaraku, ada sebuah film India yang dirilis tahun 2014 dengan judul PK (Peekay = pemabuk) berisi komedi satir tentang “tuhan” yang diciptakan manusia dan permainan uang bagi siapa pun yang menjadi agennya. Ternyata sejak zaman para rasul, keinginan untuk mendapatkan dan mengendalikan Tuhan dengan uang sudah terjadi.  Mari membaca Kisah Para Rasul 8:14-24. Simon dari Samaria tertarik dengan fenomena spiritual baru yang sedang viral saat itu. Karena ia memandang bahwa kuasa yang menyertai para rasul pengikut Yesus adalah kuasa asing jenis baru, maka ia bermaksud “membeli”-nya. Jual dan beli spiritual sepertinya hal yang biasa dilakukan oleh Simon.  Ia menjual kuasa “tuhan” dan orang-orang membelinya dengan uang dan perhatian.  Simon berpikir bahwa “tuhan” yang dilihatnya melalui Petrus dan Yohanes sama saja seperti sehari-harinya, namun Simon gigit jari.  Ia bahkan ditegur keras oleh Petrus karena sikap dan motivasinya.  Simon kaget karena ternyata Tuhan yang diperkenalkan oleh para rasul itu tidak doyan uang.  Petrus bahkan mengatakan, ”Binasalah engkau dengan uangmu itu …” (Ayat 20).  Sangat keras. Pikir Simon, Tuhan macam apa yang tidak tertarik dengan uang?  Setidaknya kalau Tuhan tidak suka, biarlah hamba-hamba-Nya saja yang mengambil uang itu.  Tapi tidak ada kompromi untuk Petrus dan kawan-kawannya.  Integritas mereka menjaga kekudusan Tuhan sehingga Tuhan benar-benar dijunjung tinggi. Praktik spiritual yang melenceng sehingga membuat Tuhan seolah-olah sangat rakus uang dan bisa dibeli bahkan dibujuk dengan segepok uang dan sebongkah berlian sungguh membodohi masyarakat.  Tuhan tidak butuh uang kita, sebanyak bagaimanapun itu.  Tuhan bekerja dengan cara-Nya dan independen dari semua pengaruh manusia.  Penyimpangan terjadi pada ketika agen Tuhan gemar bertransaksi  sehingga memakai nama Tuhan untuk memakmurkan dirinya sendiri.  Pada masa kini ada beberapa oknum yang mencari keuntungan dan bertransaksi dengan nama Tuhan dan pada akhirnya membuat pembusukan pada nama-Nya.  Para nabi selalu menegur sikap seperti ini, misalnya saat Tuhan menegur penguasa Yehuda dengan mengatakan: “Penguasa-penguasa kota memerintah untuk mendapat uang suap, imam-imam mengajar hukum TUHAN untuk gaji, dan nabi-nabi meminta petunjuk dari Allah untuk mendapat uang–lalu mereka semua mengira TUHAN ada di pihak mereka. Mereka berkata, “TUHAN ada di tengah-tengah kita; kita tak akan ditimpa malapetaka.” (Mikha 3:11, BIS).  Saudaaraku, nama Tuhan yang kudus seharusnya dijaga dengan integritas para agen-Nya.  Mari belajar untuk memiliki hati yang tulus dan menjaga diri dari sikap cinta akan uang.  Mari menjaga kekudusan Tuhan dengan hidup dalam ketulusan.  Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)