SALIB YANG MENYAKITKAN LAMBANG KASIH TAK TERBATAS
Di sebuah sel kecil yang lembap dan gelap, seorang imam Katolik Polandia bernama Maximilian Kolbe menatap rekan-rekannya yang lemah karena kelaparan. Mereka dipilih untuk dibunuh di kamar gas sebagai hukuman atas pelarian seorang tahanan lain dari kamp konsentrasi Auschwitz. Saat salah satu pria yang terpilih menangis, memohon karena memiliki keluarga, Kolbe melangkah maju dan berkata, “Aku yang akan menggantikan dia.” Dengan tenang Kolbe memasuki sel hukuman, bertahan selama dua minggu tanpa makan dan minum, hingga akhirnya ia disuntik mati.
Kasih yang diberikan Kolbe bukanlah kasih yang murah. Itu merupakan kasih yang menyakitkan, kasih yang mengorbankan nyawa. Jika seorang manusia bisa memberikan kasih sebesar itu, betapa lebih lagi kasih Kristus di kayu salib. Yesaya 53:5 mengatakan, “Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.” Dia tidak hanya mengalami rasa sakit fisik: dicambuk, dipaku, dan ditinggalkan, tetapi juga penderitaan batin menanggung dosa dunia. Penderitaan Yesus bukan tanpa tujuan. Bilur-bilur-Nya membawa kesembuhan bagi kita, bukan hanya kesembuhan fisik, tetapi yang terutama kesembuhan rohani. Kasih-Nya menanggung setiap luka hati kita, setiap penyesalan, setiap dosa yang pernah kita lakukan.
Jika salib begitu menyakitkan, mengapa Yesus tetap memilihnya? Karena kasih-Nya tak terbatas. Karena Dia melihat kita yang tak berdaya, terbelenggu dosa, dan memilih untuk mengambil tempat kita, seperti Kolbe menggantikan tahanan itu. Hari ini, kita diundang untuk merenungkan kasih Yesus yang tak terbatas itu. Apakah kita masih hidup dalam kepahitan dan dosa, seolah-olah bilur-Nya sia-sia? Ataukah kita memilih menerima kasih dan pengampunan-Nya serta membagikannya kepada orang lain? Sakitnya salib merupakan harga dari kasih yang tak terbatas. Kita tidak dipanggil untuk sekadar mengagumi pengorbanan-Nya, tetapi untuk hidup di dalamnya meninggalkan dosa, menerima anugerah, dan mengasihi seperti Dia. Kasih yang sejati bukan hanya memberi yang terbaik, tetapi juga rela menanggung yang terburuk demi orang lain. (sTy)