IT IS WHAT SO-CALLED CARE

IT IS WHAT SO-CALLED CARE

Saudaraku, mari kita membaca dan merefleksikan Mazmur 56:9: “Sengsaraku Engkaulah yang menghitung-hitung, air mataku Kautaruh ke dalam kirbat-Mu. Bukankah semuanya telah Kaudaftarkan?” Betapa PEDULI Tuhan kepada kita. Tuhan tidak hanya menyimpan air mata kita, tetapi Dia juga mencatat saat-saat kita bersedih! Aku sering suka membayangkan Dia mencatat alasan kesedihanku.  Dia cukup peduli untuk memerhatikan dan dapat membalikkan keadaan demi kebaikan kita.

Kantor sudah sepi saat aku beranjak keluar dari ruanganku. Akhirnya selesai sudah hari yang sangat sibuk dan berat. Waktu menunjuk angka 20.05. Jam bubaran karyawan yang kerja lembur sudah lewat lima menit. Pantaslah kalau tinggal beberapa orang di luar kantor yang masih menunggu jemputan. 

Berjalan perlahan mendekati mobil, tiba-tiba berdiri di dekatku satu sosok kurus yang mengagetkanku! Huft… ternyata Mbak Wid, salah seorang karyawan kebersihan di kantorku. “Aduh kaget aku”,  spontan itu yang keluar dari mulutku. Mbak Wid hanya  tersenyum lalu mengulurkan plastik hitam yang tidak kelihatan  isinya. “Apa ini Mbak?”, tanyaku kepadanya  sambil mengintip isi plastik itu. Ya Tuhan, ternyata isinya  empat buah jeruk nipis.  “Jeruk saya berbuah lagi Bu, dan setiap kali berbuah saya selalu ingat Ibu. Maaf ya Bu,  kali ini buahnya kecil-kecil” katanya sambil tersenyum malu. 

I really don’t know what to say. Kepala dan hatiku yang panas dan lelah sepanjang hari ini tiba-tiba terasa adem dan damai. Empat jeruk nipis ini, yang secara angka hanya bernilai kecil, tapi malam itu aku bisa melihat cinta yang besar di dalamnya. Pemberiannya bernilai sangat mahal. Tak ternilai harganya! 

Mba Wid, petugas kebersihan yang sejak muda bekerja di kantorku, pertama kali memberiku jeruk nipis dari halaman rumahnya saat melihatku batuk tidak kunjung sembuh. Kejadian tersebut sudah beberapa tahun yang lalu. Sejak saat itu setiap pohon jeruk di rumahnya berbuah, aku terkadang masih dibawakan olehnya, meskipun aku sudah tidak batuk lagi. Mbak Wid mungkin tidak akan bisa memberiku obat-obatan yang mahal tetapi dengan kasih yang diwujudkannya dalam bentuk jeruk nipis itu, bahkan sanggup menyembuhkan jauh lebih banyak “penyakit”. Malam itu , saat hatiku begitu lelah, sekali lagi Tuhan mengingatkanku bahwa masih ada dan SELALU ADA begitu banyak CINTA dan KASIH  di sekelilingku.

Apa sebenarnya Peduli? Apakah tentang memberi dengan berkelimpahan? Atau perhatian yang berkelebihan? I don’t think so! Peduli itu seputih cinta Mbak Wid kepadaku MALAM itu. Rasa pedulinya tulus dan tidak berpamrih. Pedulinya yang diwujudkan dalam sebuah tindakan yang sepertinya sederhana namun bermakna luar biasa itu mampu menjebol dinding air mataku yang kutahan untuk tidak mengalir.

Jadi kalau sekarang aku ditanya apa saja yang kupedulikan, jawabanku adalah semua kesayangan Tuhan yang dipercayakan Tuhan kepadaku. Para kekasih Tuhan yang diizinkan Tuhan hadir dalam hidupku. Jeruk nipis bernama cinta yang diberikan Mbak Wid malam itu menyadarkanku betapa dahsyatnya kekuatan CARE (PEDULI) dalam mengarungi perjalanan kehidupan. 

Sapaan seperti “Selamat pagi Bu”, lalu Greeting such as “How are you today?”, atau Reminder “Jangan lupa makan siang ya” dan “Istirahatlah dulu sebentar”  atau dua kata magic “Take care!” pun sering kali justru merupakan obat yang manjur untuk membangunkan semangat yang sedang padam.

Mengapa kita harus peduli? Karena tidak ada yang kebetulan dalam hidup kita. Setiap orang, setiap kejadian dalam hidup kita dirangkai-Nya dalam konstelasi untuk SALING PEDULI. Rantai hidup itu mempersatukan. Peduliku yang dipersiapkan dan dibentuk Tuhan dengan modal cinta kasih-Nya, akan kusebarkan bak benih yang subur untuk menumbuhkan cinta, kekuatan dan semangat. Akan kubagikan sepanjang kuat kakiku berjalan dan sepanjang nafasku berhembus.

Kuminta kepada Tuhan untuk terus mengasah dan menumbuhkan peduliku. Supaya bisa kusampaikan kepada dunia, kepada keluarga, sahabat dan teman-temanku, bahwa saat kita bergandeng tangan, kita akan sanggup melewati setiap badai yang ada di hadapan. 

Saudarku, sesungguhnya tidak pernah dibiarkan-Nya setiap orang berjalan sendirian. Tangan kita  akan saling menggenggam dengan erat. Sekalipun tidak bisa kulenyapkan masalahmu, aku akan tetap menyediakan telingaku untuk mendengarkan kesah kalian. Supaya hati kalian bisa lebih tenang, dan langkah kalian bisa menjadi lebih ringan. Selamat Peduli! (Novi Reksanto).

Renungan Lainnya