PELITA ITU BERNAMA NANGKA

PELITA ITU BERNAMA NANGKA

Saudaraku, dalam perjumpaan kita kali ini, mari kita membaca dan merefleksikan: “Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan, siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum.” (Amsal 11:25)

Ada yang berubah dari kebiasaan makan keluargaku sejak pandemi dimulai. Ketika awal pandemi, kami berkomitmen untuk meminimalkan makan di luar. Sebisa mungkin kuusahakan untuk bisa memasak setiap hari. Kadang tetap gagal. Apalagi kalau pekerjaan dan kegiatan sedang banyak-banyaknya. Tapi tetap, kami berupaya untuk membuat jarak dan mengurangi physical contact dengan orang di luar rumah. 

Pada saat PPKM darurat dicanangkan oleh pemerintah untuk menanggulangi Covid 19 semakin merebak, kembali kami mengubah kebiasaan makan kami. Caranya? Kalau dulu kami membatasi makan di luar, saat PPKM ini aku memasak rata-rata untuk makan pagi dan makan siang saja. Makan malamnya? Aku membeli dari warung-warung makan yang setiap jam 20.00 harus segera menutup warungnya itu. 

Yah, memang aku tidak bisa membayar lebih untuk makanan yang kubeli. Atau bahkan memborong semua dagangan mereka. Yang kubeli pun maksimal hanya empat porsi karena itulah jumlah anggota keluargaku. Sangat sedikit. Tidak banyak. Tapi tetap kupercaya itu bernilai. Itu berguna. Itu sangat membantu mereka. 

Caraku belanja makanan juga berpindah-pindah. Hari ini membeli bakmi goreng dan nasi goreng. Besoknya pindah ke warung padang. Kemudian hari ke warung soto, dan seterusnya. Hampir semua makanan kubungkus dan kami makan di rumah. Supaya lebih nyaman dan higienis.

Masih kuingat beberapa hari yang lalu, saat aku belanja di warung nasi goreng. Saat itu jam 19.45. Artinya 15 menit lagi warung harus tutup. Sebelum sirine polisi dan Satpol PP mulai bergerak dengan water cannon nya membubarkan dan meminta warung untuk segera ditutup. Sambil memasak Bapak penjual bercerita kepadaku: “Sampeyan tamu pertama dan kemungkinan juga tamu terakhir saya hari ini Bu..” Deg … Artinya sejak pukul 17.00 dia buka belum ada pembeli lain selain saya. Setelah itu dia juga harus tutup lapak. Sedih. Pilu rasanya. 

Jadi, malam ini karena PPKM masih diperpanjang, aku, suami dan anak-anak “berdiskusi” menentukan tempat makan malam kami. Akhirnya pilihan jatuh ke warung asem-asem daging langganan kami. Sudah lama warung itu tutup. Dan kulihat sudah tiga hari ini kembali buka. Selain berbelanja makanan, kami juga ingin menanyakan kabarnya. Apakah dia sakit. Atau apakah dia sedang berkesusahan. 

Hampir selesai berbelanja, Si Ibu penjual tiba-tiba bertanya kepadaku: “Apakah aku bersedia membeli buah Nangka yang ada di situ?” Kutanya kepadanya: “Itu Nangka siapa? Si Ibu menjelaskan bahwa dia dititipi keponakannya yang sedang membutuhkan uang sehingga meminta bantuannya untuk menjualkan buah Nangka yang sudah matang di pohon. Uang dari penjualan Nangka ini akan dipakai untuk membayar rekening listrik di rumah yang sudah menunggak. Duuh. Sedihnya hatiku. 

Aku sadar betul betapa tuanya tanggal di kalender saat itu. Tapi aku juga tahu bahwa aku tidak akan menolak untuk membeli buah Nangka itu. Tujuan awalku berbelanja adalah untuk “ngelarisi” warungnya. Ternyata sekarang aku juga harus membeli buah Nangka yang sesungguhnya tidak kuperlukan. Entah kenapa, rasanya Tuhan terus meneguhkanku untuk membeli buah itu. Nangka yang lumayan besar senilai tujuh puluh ribu rupiah. 

Ternyata benar pilihanku. Sesaat setelah kubayar semua belanjaanku, termasuk buah Nangka itu, Si Ibu penjual warung makan itu berkata kepadaku: “Matur nuwun ya, kamu sudah membuat rumah ponakanku tidak gelap lagi sekarang.”

Oh Tuhan betapa lega dan bersyukurnya hatiku. Apalah artinya nilai tujuh puluh ribu yang kukeluarkan ketika ternyata itu begitu berarti dan bahkan sangat berguna bagi orang lain.

Tuhan memang paling tahu bagaimana mengubah segala sesuatu yang begitu sederhana menjadi sebuah maha karya. Bagaimana Dia mengubah buah Nangka menjadi pelita bagi sebuah keluarga. (Novi Reksanto).

Renungan Lainnya