Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Saudaraku, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), nama yang selalu disebut bila terjadi bencana, dibentuk sesuai UU No 24 Tahun 2007 Penanggulangan Bencana. Melihat adanya potensi bencana-bencana yang dapat menimpa negara, sejak 20 Agustus 1945, 3 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, para pendiri Negara Indonesia membentuk Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP), dan di tahun-tahun berikutnya badan ini lingkup tugasnya diperluas hingga adanya BNPB.
Potensi penyebab bencana dapat dikelompokkan dalam tiga jenis bencana, yaitu: Satu, Bencana alam, termasuk wabah dan kejadian antariksa/benda-benda angkasa yang menabrak bumi. Dua, Bencana Non Alam yang disebabkan manusia, termasuk ledakan nuklir dan pencemaran lingkungan. Tiga, Bencana Sosial, antara lain kerusuhan dan konflik sosial dalam masyarakat.
Banyak bencana yang kejadiannya sering berulang dan lokasi kejadiannya di wilayah tertentu, seperti bencana Tsunami di pantai-pantai Jepang bagian timur, Tornado di wilayah Amerika Tengah, banjir di wilayah aliran sungai tertentu, dan lain-lain.
Banyak pemerintah di dunia yang dapat memperkirakan potensi bencana ini dan membuat aturan dan tindakan yang bisa meminimalisir kerugian, antara lain aturan tentang konstruksi bangunan tahan gempa, membuat waduk, tanggul dan mengatur aliran sungai, dan lain-lain, bahkan baru-baru ini pemerintah Turki mengadili para kontraktor yang gedung-gedung dibangunnya roboh karena salah konstruksi.
Akhir-akhir ini terjadi berbagai bencana di beberapa wilayah di negara kita, oleh karena itu aku mengajak Saudara untuk merenungkan pesan rasul Paulus kepada jemaat di Galatia: “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” (Galatia 6:2).
Jika terjadi bencana di suatu wilayah, otomatis gereja-gereja yang ada di wilayah itu juga terdampak, entah itu rusak kena gempa atau kebanjiran, warga jemaat juga ikut menderita akibat bencana. Perlu kita lakukan berbagai persiapan menghadapi bencana yang kemungkinan ada, atau tidak pernah ada, jadi kita juga dapat berpikir luas untuk membantu warga di tempat lain yang terdampak bencana sebagai kepanjangan tangan kasih Tuhan.
Sering kita tidak mempersiapkan sebelumnya, baru setelah ada bencana dibentuklah panitia untuk membantu, jadi tindakan pertolongan pertama baru dapat dilakukan beberapa hari, bahkan beberapa minggu kemudian. Apakah karena tidak ada anggaran yang tersedia maka tidak dapat bergerak cepat?
Saudaraku, mari dengan rendah hati dan kesadaran diri, kita meninjau bersama: Dalam satu tahun, Gereja mendapatkan kolekte dari jemaat dalam 52 kali Kebaktian Umum (KU) Minggu, ditambah 3 kali Kebaktian Hari Raya Gerejawi: Natal, Jumat Agung, Kenaikan Yesus dan 1 kali Kebaktian Tutup Tahun dan 1 kali Kebaktian Tahun Baru, total ada 57 Kebaktian Umum yang merupakan potensi penerimaan kolekte. Bahkan kalau dalam 1 hari Minggu ada beberapa KU ya penerimaan kolekte lebih banyak lagi.
Nah, dalam 1 tahun ada 4 kali hari Minggu kelima, aku usulkan bagaimana kalau dalam KU Minggu V semua kolekte dialokasikan untuk “Kas Tanggul Bencana”. Coba kita berhitung: 4KU/57KU, hanya 7%-10% dari penerimaan per tahun. Dana ini sebaiknya dimasukkan dalam rekening terpisah dari rekening operasional gereja lainnya. Juga sumbangan-sumbangan yang ditujukan untuk membantu aksi Tanggul Bencana dimasukan dalam kas khusus ini. Dengan demikian gereja dapat bergerak cepat untuk memberi pertolongan kepada para korban bencana, khususnya yang berada di radius dekat dengan gereja kita.
Selain itu tentunya Gereja perlu melatih para pemuda untuk menjadi kader Taruna Siaga Bencana (Tagana), Dengan demikian para pemuda gereja dapat turut aktif dalam penanggulangan bencana.
Saat terjadi bencana Tuhan juga menolong anak-anak-Nya, pertolongan bukan datang dari langit, tapi melalui diri kita yang membuka diri dipakai oleh Tuhan.
Saudaraku, dengan bertolong-tolongan dalam melewati berbagai tantangan hidup, kita dapat menolong untuk saling menguatkan dan mendukung satu sama lain di tengah masa-masa yang sulit. Melalui kepedulian dan kasih Kristus yang ditunjukkan kepada sesama, kesulitan, kesesakan, dan himpitan hidup yang dialami sepatutnya mendekatkan kita kepada Kristus dan kepada satu sama lain, dan bukannya membuat kita terkucil sendirian di tengah penderitaan. (Surhert)