Saudaraku, pernahkah Yesus marah? Mungkin kita hanya mengingat kemarahan Yesus saat membersihkan Bait Allah dari para penjual dan penukar uang yang menghisap rakyat yang akan menyampaikan korban. Namun ternyata Injil Markus beberapa kali mencatat kemarahan dan sikap agresif Yesus. Markus 3 :1-6 menceritakan kemarahan Yesus yang pertama. Mari kita renungkan bersama.
Ketentuan Sabat bagi orang Yahudi begitu mengikat dan dipatuhi. Oleh karena Yesus pernah mengizinkan murid-muridNya memetik gandum pada hari Sabat (Markus 2 : 23-28), maka Yesus berada dalam pantauan khusus orang Farisi. Mereka menunggu sikap Yesus ketika ada seorang sakit yang meminta pertolongan.
Menurut Kitab Injil Menurut Orang-orang Ibrani, orang itu adalah seorang tukang batu yang tangan kanannya sakit karena suatu penyakit padahal tangan itu adalah sumber nafkahnya. Karena Yesus melihat situasi Ini darurat dan berkaitan dengan kehidupan sebuah keluarga, maka Yesus mengambil TINDAKAN MENYEMBUHKAN.
Itu bukan berarti Yesus sengaja melanggar Hukum Taurat karena ingin melawan para Farisi. Sebagai seorang guru, Yesus tahu bahwa ada beberapa kondisi dimana Hukum Sabat tidak berlaku. Misalnya: menolong seorang perempuan yang melahirkan, menolong seperlunya kepada orang sakit (yang tindakan pertolongannya tidak bisa ditunda), dan lain-lain.
Karena itu Yesus menanyakan kepada orang Farisi apakah menolong orang yang sakit sebelah tangan itu adalah kasus khusus atau bukan. Yesus memandang urgensi kasus orang itu untuk segera ditangani dengan mengambil dispensasi Hukum Sabat, namun orang Farisi tidak menangkap maksudnya. Mereka fokus untuk mencari kesalahan Yesus.
Sikap marah Yesus tertuju pada kekerasan hati mereka, yang diam-diam sudah menjatuhkan vonis kepada Yesus. Mereka kaku dan lurus memegang Hukum Sabat sehingga mereka bagaikan juri yang menunggu dan melihat kesalahan Yesus dibandingkan dengan kebutuhan untuk menolong orang yang sangat membutuhkan pertolongan.
Mereka memilih diam karena ingin tahu apa yang akan Yesus lakukan untuk menentukan vonis mereka pada Yesus. Mereka lebih peduli untuk menghakimi Yesus dibandingkan menolong orang yang mendesak butuh pertolongan itu. Yesus sungguh marah dan geram karena sikap mereka (Markus 2 : 5).
Ada banyak orang yang taat pada aturan termasuk doktrin namun pada akhirnya malah menjadi hakim bagi sesamanya. Sebenarnya aturan dalam Firman Tuhan dituliskan agar manusia makin berperikemanusiaan dan doktrin bukan dibuat untuk memecah belah manusia.
Ketika seseorang mulai memakai aturan dan doktrin untuk menilai dan menjatuhkan vonis kepada orang lain dan tidak lagi mengedepankan sisi analisis masalah dan prioritas tindakan yang transformatif, maka bisa dikatakan bahwa orang itu mabuk agama. Sungguh ironi kalau aturan yang seharusnya membuat pelaksananya menjadi penuh kasih seperti Allah, namun malah menjadi makin garang karena memakai aturan menjadi palu penentu vonis bagi sesamanya.
Mari belajar berhikmat dan menimba hikmat dari Sang Hikmat senantiasa agar jebakan untuk meritualkan ajaran bisa diminimalisir. Mari membuat Sabat menjadi manfaat bukan menjadi mudharat (yang menyakiti) bagi sesama. Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)