Salah satu kewajiban yang dianjurkan oleh semua agama adalah bersedekah. Sedekah menjadi ritual untuk menunjukkan tanggung jawab sosial individu kepada orang lain. Alih-alih mendatangkan anugerah, sedekah ternyata rawan membuat masalah, terutama untuk perkembangan kerohanian orang yang bersedekah. Bagaimana pandangan Yesus tentang penyimpangan dalam bersedekah?
Mari bersama renungkan Matius 6:1–4.
Bagi orang Yahudi ada beberapa tindakan yang menjadikan ukuran kesalehan, antara lain sedekah dan puasa. Sedekah ditekankan dalam Taurat (Ulangan 15:7-11) dan ditaati oleh mereka. Sedekah membawa misi kesetaraan secara ekonomi dan sosial, maka orang Yahudi biasa bersedekah dengan sesamanya. Spirit sedekah sangat baik namun manusia yang memberi maupun yang menerima bisa memberikan muatan motivasi yang menyimpang dari spiritnya sehingga menjadi batu sandungan. Yesus mengkritisi fenomena dimana para pemberi sedekah sengaja mencari tempat yang ramai pengemis untuk memberi sedekah. Biasanya para pengemis berkumpul di sinagoga ataupun di jalan yang ramai orang dan bila memberi maka ia akan dilihat dan dikagumi banyak orang.
Bukan berarti Yesus melarang memberi mereka yang ada di lokasi itu, namun Yesus mengingatkan motivasi memberi dari orang yang bersedekah. Bila memberi hanya untuk dilihat orang dan menerima pujian dan kekaguman, maka sedekah menjadi batu sandungan bagi sang pemberi.
Sedekah itu baik, namun yang bisa merusak adalah motivasi manusia yang memang sudah rusak oleh dosa. Rasa puas karena dilihat baik oleh orang lain mengalahkan rasa syukur untuk dapat berbagi dengan yang membutuhkan. Akibatnya mereka yang berbagi dengan cara seperti ini akan haus dengan perhatian dan menuntut orang lain memperhatikan dirinya dari waktu ke waktu. Perhatian hanya terpusat pada dirinya, bukan pada Tuhan atau orang yang diberinya sedekah. Egosentris.
Sebaliknya Yesus memberikan apresiasi kepada mereka yang memberi dengan diam-diam karena mereka menginginkan perhatian dari Bapa di surga. Orang seperti ini memiliki fokus kepada Tuhan dan tidak terpengaruh oleh respons orang lain. Ia mementingkan upah dari Bapa yang di surga, yaitu rasa syukur karena bisa berbagi dengan orang lain.
Rasa syukur karena melepaskan milik sendiri merupakan anugerah dari Allah, yang membuat manusia mampu bertumbuh secara spiritual dan berani mengurai genggaman terhadap harta miliknya untuk berbagi dengan orang lain.
Yesus menginginkan seseorang bersedekah bukan untuk orang lain, melainkan untuk Tuhan. Saat ia menyadari bahwa pemberiannya dilakukan untuk Tuhan, maka yang didapat adalah anugerah. Anugerah Allah ini akan mendorongnya untuk makin peduli dan mau melepaskan hartanya untuk berbagi dengan yang lain. Ia akan diperkaya dengan sukacita memberi dan ditumbuhkan dalam rasa kasih untuk sesamanya. Sedekah bukan sekadar melepas kepemilikian melainkan pupuk untuk menumbuhkan iman percaya kepada Tuhan.
Dari perenungan ini mari kita berpikir sejenak: Masihkah kita menginginkan anugerah Allah lewat tindakan kita bersedekah?
Memberi sedekah bukan hanya memberi efek kepada orang yang diberi, namun juga kepada kita yang memberi. Mari kita memberi dengan hati yang hanya tertuju kepada Tuhan. Selamat bertumbuh. (Ag)