Tidak Boleh Dilakukan Ala Kadarnya
Nama saya Ribka Lilik. Ketika saya tinggal di Panti Asuhan Christopherus (PA Chp) saya dipanggil Ribka, tapi kalau di rumah saya dipanggil Lilik. Saya anak ketiga dari empat orang bersaudara.
Ayah dan ibuku berpisah setelah pernikahan mereka berjalan selama 15 tahun. Saya masih ingat benar, pada tahun 1994, Ibu membawa keempat anaknya (perempuan semua) dari Jakarta ke Semarang naik kereta api.
Perjuangan Ibu semakin berat setelah berpisah dengan ayah, walaupun secara psikologis Ibu bebas dari ayah, tapi Ibu harus berjuang seorang diri membesarkan keempat anaknya.
Pada tahun 1999 kakak saya yang pertama menikah. . Karena ibu kurang matang perhitungannya, maka untuk biaya pesta pernikahan kakak, ibu harus menanggung hutang yang cukup besar. Syukur ibu bertemu dengan seorang kenalannya yang menjadi pengurus panti asuhan. Ibu diberi jalan keluar oleh temannya itu, diminta menjadi asisten rumah tangga teman dari kenalan ibu yang tinggal di Singapura. Gaji ibu dibayar di muka untuk melunasi hutangnya. Sedangkan saya dan adik saya (Ester Marlina) dititipkan di PA Chp,
Pada awalnya kami sangat sedih ketika harus tinggal di Panti Asuhan,karena harus berpisah dengan Ibu yang sangat kami sayangi, biasanya susah senang kami bersama. Namun, inilah jalan yang Tuhan bukakan untuk menolong kami.
PA Chp sangat mengedepankan disiplinan dan pendidikan. Di sinilah saya terus dibentuk, saya justru semakin berprestasi. Saya semakin menyadari bahwa untuk meraih masa depan, saya harus belajar dengan sungguh-sungguh, meraih prestasi setinggi-tingginya. Setelah 2 tahun lamanya kami tinggal di PA Chp, saya pun lulus SMK dengan nilai yang sangat memuaskan, kedua terbaik saat itu.
Di PA Chp saya disadarkan bahwa untuk berhasil, kita harus berdoa dan berjuang dengan sungguh-sungguh, segala sesuatu tidak boleh dilakukan dengan ala kadarnya. Saya bersyukur di PA Chp saya mendapatkan 1 (satu) ruang belajar bersama dengan Mbak Ruth yang mempunyai jiwa misi yang sangat tinggi. Saya tidak hanya mendapatkan kesempatan intensif untuk belajar, tetapi juga bersekutu dengan Tuhan bersama-sama dengan Mbak Ruth. Saya diubahkan Tuhan di tempat ini, saya menemukan bahwa Tuhan tidak sekadar ada di Alkitab atau nyanyian semata. Saya menemukan Tuhan melalui kesaksian hidup yang saya lihat melalui Sr Christine, Sr Margrit, Sr Puryati dan semua Ibu pengasuh di PA Chp. Walaupun sakit saat saya dibentuk oleh mereka, ketika menemukan bahwa saya salah dalam berbagai hal kedisiplinan dan kejujuran. Selain itu, semangat mereka melayani membuat saya terpanggil untuk melayani Tuhan dan memakai hidup saya untuk kemuliaan Tuhan.
Setelah saya lulus SMK, adik masih di Panti Asuhan, sedangkan saya yang duduk di bangku kuliah diperbolehkan tinggal diluar di Kos. Kakak kedua saya yang ada di Jakarta sudah bekerja dan sangat ingin keluarga kami bisa berkumpul kembali bagaimanapun keadaannya. Rumah yang kami tinggalkan selama 6 tahun sangat buruk keadaannya. Saat saya kuliah semester 3, tahun 2003, saya memutuskan untuk bisa bersama-sama dengan Ibu kembali. Adik diambil dari PA yang saat itu sudah kelas 2 SMP. Dengan penuh perjuangan dan anugerah dari Tuhan kami menata kembali rumah kami yang rusak. Saya bekerja sambil kuliah dan uangnya kami kumpulkan untuk membetulkan rumah seadanya. Bila perlu saya ikutan jadi tukang tak apa. Syukurlah saya tetap bisa kuliah sambil bekerja di toko meubel meski harus angkat-angkat kasur tiap buka toko dan tutup toko. Yang terpenting pemilik toko memperbolehkan saya bekerja sambil kuliah. Saya juga bersyukur, bisa bekerja sebagai asisten dosen di Perguruan Tinggi, karena dosen sangat puas dengan prestasi saya.
Dengan kemurahan Tuhan, saya bersyukur bisa dipertemukan kembali dengan Ayah. Meskipun keadaan Ayah saya sudah lemah karena stroke, hanya sedikit-sedikit bisa mengenal saya. Yang menjadi masalah adalah Ibu saya yang belum bisa menerima Ayah. Kami anak-anak berdoa tak henti-hentinya agar Ibu saya dapat menerima Ayah kembali ke rumah. Tahun 2004, Suatu anugerah Ibu mau menerima Ayah yang menderita stroke. Ayah kembali ke rumah kecil kami satu-satunya yang masih kami miliki. Kami bersyukur, pengampunan terjadi dan Ayah meninggal 2,5 bulan setelah kami berkumpul bersama serumah.
Saya akhirnya lulus sebagai lulusan terbaik. Pada tahun 2006 saya menikah dengan Suhaji dan 3 tahun kemudian saya diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil. Saat ini kami dikaruniai Tuhan dua orang anak, Obed dan Elzi.
Kami tidak pernah menyangka jalan kami akan menjadi seperti ini, sepertinya masa depan suram, tapi ternyata Tuhan terus membentuk kami. Saya semakin meyakini waktu Tuhan selalu indah pada waktu-Nya.
Perjuangan saya belum berakhir, harus terus berjuang sampai dengan Tuhan memanggil saya kembali. Perjuangan iman dalam bekerja, mengasuh dan mendidik anak-anak untuk menjadi alat Tuhan Yesus selama hidupnya. Semua merupakan perjuangan saya untuk dapat hidup menyenangkan hati Tuhan. (pg/sb)
