TERSEDU-SEDAN di tepian Bengawan BABEL

TERSEDU-SEDAN di tepian Bengawan BABEL

Sahabat, kehidupan ini tak mesti selalu lancar dan tiada masalah. Ada saat-saat penuh sukaria, tetapi ada juga saat-saat penuh kesusahan. Orang percaya juga tak luput dari persoalan ini. Yang membedakan orang percaya dengan orang yang belum percaya adalah bagaimana orang percaya memakai setiap pergumulan hidupnya; apakah itu kelancaran atau penderitaan menjadi suatu kesempatan di mana ia belajar mengenal Tuhan lebih dekat.

Lalu mungkinkah orang percaya menaikkan nyanyian syukur kepada Tuhan saat menderita? Sangat mungkin! Buktinya, Paulus dan Silas di penjara Filipi (Kisah Para Rasul 16:25). Mengapa mereka bisa memuji Tuhan di tengah penderitaan? Karena mereka melihat penderitaan itu sebagai kehormatan untuk melayani Dia yang sudah menderita bahkan mati bagi mereka.

Oh ya, pernahkah Sahabat  terduduk hingga tersedu-sedan? Bagi yang pernah mengalami kedukaan tentu dapat membayangkan bagaimana perasaan orang yang terduduk diam dengan gundah hingga menangis tersedu-sedan.

Untuk lebih memahami topik tentang: “TERSEDU-SEDAN di tepian Bengawan BABEL”, Bacaan Sabda pada hari ini saya ambil dari Mazmur 137:1-9. Sahabat, Mazmur 137 berisi bait-bait kenangan akan kepahitan hidup ketika umat Israel berada di pembuangan Babel. Kedukaan paling mendalam adalah saat mereka tidak bisa lagi datang beribadah ke hadapan Tuhan. Begitulah keadaan di negara asing. Tidak mengherankan bila Sion, kota suci Yerusalem, tempat kediaman Tuhan, begitu dirindukan, hingga mereka terduduk dan menangis tersedu-sedan di tepian bengawan  Babel (ayat 1).

Permintaan orang-orang Babel supaya umat Israel menyanyikan lagu Sion penuh dengan cemooh (ayat 3). Umat Israel sadar bahwa tantangan dari orang-orang Babel itu memperkuat kerinduan pulang ke tanah air. Kerinduan akan hadirat Tuhan memenuhi kata-kata pujian akan kemuliaan Sion sebagai takhta Tuhan.

Sahabat, kenangan pahit itu tidak mudah dilupakan. Ketika umat sudah kembali, pengalaman tersebut sengaja tidak dilupakan. Bait-bait mazmur pun dicipta untuk menemukan dorongan transformatif.

Dapat dibayangkan ketika umat Tuhan teringat akan masa pembuangan dulu. Sang pemazmur bertekad bahwa ia tidak akan melupakan Yerusalem sampai kapan pun (ayat 5-6). Ia juga berseru kepada Tuhan supaya Tuhan menunjukkan keadilan-Nya (ayat 7-9).

Kini, sedu-sedan di tepian bengawan Babel terbayar sudah. Rindu yang terpendam untuk berziarah ke Sion akhirnya dapat dipuaskan. Yerusalem benar-benar menjadi puncak sukacita. Bila sewaktu berada di tepian bengawan Babel mereka terduduk hingga tersedu-sedan, kini di Sion mereka bisa berdiri dan bernyanyi dengan sukacita.

Sahabat, begitulah kerinduan kita akan kemuliaan Tuhan dipuaskan. Dahulu di bawah kuasa dosa kita terduduk hingga tersedu-sedan, kini di dalam anugerah Tuhan kita bangkit berdiri dan menyanyikan pujian penuh sukacita. Sampai kapan pun hati kita tertuju kepada hadirat Tuhan. Betapa berharganya hati yang selalu rindu kepada Tuhan. 

Berdasarkan hasil perenungan dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberpa pertanyaan berikut ini:

  1. Apa yang Sahabat pahami dari ayat 1-4?
  2. Apa yang Sahabat pahami dari ayat 5-6?

Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-alam di hati: Mazmur 137 mengajak kita dengan berani dan jujur menghadapi realita hidup, bagaimana pun pahitnya. (pg).

Renungan Lainnya