EL- ROI : ALLAH MELIHAT INDONESIA (sebuah renungan sederhana untuk memperingati HUT RI ke 80)

Saudaraku, nama El-Roi memiliki kisah yang menarik.  Sebutan El-Roi hanya tertulis satu kali saja di Alkitab dan disebutkan oleh seorang yang hidup dalam kondisi memiliki tiga minor : perempuan, budak dan orang asing.  Mari merenungkan Kejadian 16:7-14. Siapa orang yang memiliki tiga minor itu?  Namanya Hagar, budak Sarai yang berasal dari Mesir.  Statusnya membuat dia menjadi orang yang paling tidak merdeka, bahkan untuk mengatur tubuhnya sendiri.  Hagar dalam situasi hamil dan tertekan saat ia melarikan diri dari persekusi Sarai, tuannya.  Dalam keadaan tanpa harapan, Hagar bertemu dengan Malaikat Tuhan yang meneguhkan dia untuk kembali dan menjalani hidupnya yang penuh kesulitan dalam kondisi hamil.  Kejadian 16:9 mengatakan,“Kembalilah kepada nyonyamu, biarkanlah engkau ditindas di bawah kekuasaannya.”  Mengapa Tuhan tak melepaskan Hagar dari status budaknya dan membiarkan dia merasakan kemerdekaan?  Mengapa Tuhan memintanya pulang dan menanggung konsekuensi pelariannya padahal Hagar sedang hamil? Karena Tuhan memiliki rencana besar dalam hidup seorang Hagar, yaitu : Hagar memilih taat dan di situlah ia mengalami kemerdekaan sejati dan ia dengan takjub mengatakan bahwa ia melihat El-Roi (Allah yang melihat dan merasakan penderitaannya).  Kemerdekaan Hagar bukan kemerdekaan status, namun kemerdekaan menerima hidup karena mempercayai janji Allah akan masa depannya. 80 tahun Indonesia telah merdeka dan tak dipungkiri bahwa bangsa Indonesia masih terus berjuang dengan keras.  Tak hanya berjuang untuk memulihkan ekonomi namun juga berjuang untuk menyatukan perbedaan hingga tak jarang rasa lelah melanda hingga muncul tagar Kabur Aja Dulu sebagai respon rasa frustrasi.  Namun mari memandang dengan mata seperti Hagar memandang Malaikat Tuhan dan mempercayai janji-janji Tuhan dalam perjuangan hidup kita.  Allah melihat perjuangan kita, sebagaimana Mazmur 33:18 mengatakan,”Mata TUHAN tertuju kepada orang-orang yang takut akan Dia, pada orang-orang yang berharap pada kasih setia-Nya.”  Alih-alih lari dari kenyataan, mari belajar untuk menerima keadaan dan kembali ke arena perjuangan bersama saudara sebangsa  dengan hati kuat karena janji pemeliharaan Tuhan.  Percayalah bahwa Indonesia akan menjadi bangsa yang kuat dan berdaulat  bila rakyat bersatu berjuang untuk kepentingan bersama.  Mari pandang Dia, Allah yang melihat dan merasakan kesulitan kita dan teruslah berjuang bersama-Nya. Selamat bertumbuh dewasa.  Tuhan memberkati Indonesia.  (Ag)

LUKA HATI YANG MELUKAI

Saudaraku, ada banyak alasan seseorang ‘melukai’ orang lain, baik secara verbal maupun fisik.  Salah satu penyebabnya adalah luka hati yang belum tersembuhkan.  Mari kita belajar dari kehidupan seorang perempuan yang terluka dengan membaca Kejadian 16 : 1-6. Sarai digambarkan sebagai seorang perempuan yang cantik dan kecantikannya telah membius Abimelekh dan Firaun sehingga para penguasa ini patah hati dan mengusir Abram dan Sarai dari wilayah mereka.  Walau Sarai sudah lama menjadi pusat perhatian para lelaki, namun diam-diam Sarai menanggung luka hati karena ia belum mampu memberikan keturunan untuk Abram.  Karena saat itu anak adalah ukuran berkat Tuhan dan jaminan kelanggengan keluarga, maka tidak heran betapa terlukanya Sarai menghadapi kenyataan bahwa dia belum bisa memberi seorang putra mahkota untuk Abram. Sarai terikat dan tenggelam dalam luka hati itu sehingga ia pesimis dengan janji Tuhan (Kejadian 18:13) dan dengan caranya sendiri ia melakukan berbagai cara untuk merdeka dari luka hatinya (Kejadian 16:3).  Sayangnya upaya Sarai untuk merdeka dari lukanya malah menjadi bumerang baginya. Kehamilan dan sikap arogan budaknya yang sengaja diberikan kepada Abram, sungguh memperdalam luka Sarai sehingga ia menggunakan kekuasaannya untuk mempersekusi sang budak hingga lari dari rumahnya (Kejadian 16:6).  Sarai belum merdeka, esame melukai orang yang lebih lemah. Salah satu ciri seorang yang merdeka adalah kemampuannya untuk berbesar hati menerima segala luka yang dimiliki.  Menerima luka bukan berarti terbelenggu dengan luka itu, melainkan kesediaan menerima kerapuhan dirinya  dan menyadari kebutuhan akan anugerah Tuhan yang mengisi ruang kosong yang ditimbulkannya.  Menerima kerapuhan berarti memberi ruang kepada Tuhan yang pernah menjalani jalan penderitaan.  Menerima kerapuhan dan mengisi ruang kosongnya dengan kasih Allah adalah kemerdekaan sejati karena lukanya sudah disembuhkan oleh cinta Allah yang pernah menempuh jalan kerapuhan untuk memberi anugerah bagi manusia.  Mazmur 147 : 3 mengatakan,”Tuhan menyembuhkan orang yang patah hati, dan membalut luka-luka mereka.” Ketika kita sudah merdeka, maka tak lagi ada keinginan untuk melukai, apalagi mengalihkan rasa sakit kepada sesama yang lebih lemah.   Sudahkah kita merdeka dari luka hati kita? Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)

KASIH SETIA TUHAN ATAS BANGSA-BANGSA : TUHAN PERISAIKU

Allan Boesak adalah seorang pendeta dan teolog Afrika Selatan yang dikenal sebagai tokoh penting dalam perjuangan melawan apartheid. Ia memadukan iman Kristen dengan semangat pembebasan sosial melalui teologi pembebasan. Selain pelayanan rohani, Boesak aktif memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia. Integritas dan keberaniannya dalam menghadapi ketidakadilan menjadikannya teladan bagi banyak orang di dunia.  Dalam perjuangan dan tantangan tersebut, kasih setia Tuhan sebagai perisai menjadi kekuatan utama yang menopang dan melindungi bangsa-bangsa yang teraniaya, menguatkan iman dan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Dalam Kejadian 15:1 mencatat Firman Tuhan kepada Abram, “Jangan takut, Aku adalah perisaimu, pembalut tangan kananmu yang perkasa.” Tuhan menempatkan diri-Nya bukan sekadar sebagai Pelindung, tetapi sebagai Pemulih yang aktif dan personal. Dalam budaya Timur Tengah kuno, tangan kanan melambangkan kekuatan dan otoritas; Tuhan menyebut diri-Nya “pembalut tangan kanan” yang berarti Ia bukan hanya perisai yang pasif menangkis serangan, tetapi juga menyembuhkan, memperkuat, dan menghidupkan kembali yang terluka. Kasih setia Tuhan di sini hadir bukan hanya dalam proteksi, tetapi dalam proses transformasi: membungkus luka-luka trauma bangsa yang tertindas, menguatkan keberanian yang hampir pudar, dan menyulut harapan yang kadang terselip di balik ketakutan. Tuhan tidak menjanjikan hidup tanpa bahaya, tetapi tangan-Nya yang perkasa itu menyertai dan mengubahkan ketakutan menjadi kekuatan.  Kasih setia Tuhan atas bangsa bukan hanya warisan sejarah atau janji kosong, melainkan intervensi aktif yang menggerakkan hati manusia dan membalikkan arah sejarah. Setiap kali ketakutan mencoba menguasai, suara Tuhan ini hadir untuk menyalakan kembali nyala iman yang hampir padam, menjadi api yang tak bisa dipadamkan oleh ketidakadilan atau penindasan. Kasih setia Tuhan menjadi perisai abadi yang membentuk keberanian dan menjaga masa depan bangsa.(sTy)

KASIH SETIA TUHAN ATAS BANGSA-BANGSA : MENGANGKAT PANDANGAN

Reverend Boiketlo T. Ngwako merupakan salah satu pendeta perempuan pertama yang ditahbiskan di Revelation Blessed Peace Church (RBPC), sebuah Gereja Independen di Botswana.  Gereja ini sejak lama dipimpin secara tradisional oleh laki-laki.   Meski demikian Boiketlo Ngwako dilibatkan secara aktif dalam pelayanan penyembuhan, berkhotbah, menyanyi, dan memberi kesaksian sehingga hal  ini mendorong keterlibatan perempuan dan generasi muda untuk terlibat dalam pelayanan gereja sekaligus menavigasi tantangan budaya dan doktrin setempat.  Boiketlo Ngwako berhasil menerobos dinding pembatas pelayanan karena campur tangan Tuhan saat ia mengarahkan pandangannya kepada Tuhan, Sang Kepala Gereja. Kitab Kejadian mencatat bahwa Abram pernah disuruh keluar dari kemah dan ia diminta memandang ke langit untuk meninggalkan titik pandang lama yang terkungkung oleh tenda. Ketika keluar dari tenda, Abram melihat luasnya langit, sesuatu yang mustahil ditangkap oleh batas hitungan manusia. Tuhan sedang melatih imannya agar melihat janji lebih besar dari kenyataan. Tertulis begini,”Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya.” Maka firman-Nya kepadanya: “Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.” (Kejadian 15:5). Dalam gelap malam, Abram mendapati bintang-bintang justru terlihat paling terang dan ini mengisyaratkan bahwa janji Allah sering kali bersinar di tengah situasi paling kelam.   Perintah “lihatlah!” merupakan undangan untuk memindahkan fokus dari rasa tidak mampu menuju kebesaran Allah. Abram tidak hanya menerima janji keturunan, tetapi mandat untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa. Mengangkat pandangan berarti percaya bahwa rencana Allah sudah pasti, meski langkah awal masih tampak kosong. Janji-Nya bukan sekadar kata-kata, tetapi realitas yang menanti untuk digenapi.  Ingatlah bahwa pandangan yang terarah pada Tuhan membuat tembok pembatas berubah menjadi pintu penggenapan janji.(sTy)

KASIH SETIA TUHAN ATAS BANGSA-BANGSA

Cuthbert Motsepe lahir dan melayani di Afrika Selatan pada masa transisi sosial yang sulit, ketika bangsa itu berjuang keluar dari era apartheid yang memecah-belah. Motsepe bukan hanya seorang pendeta, tetapi pejuang damai yang membawa pengharapan dan tindakan nyata. Karena ia percaya bahwa hanya kasih setia Tuhan saja yang mampu menyatukan bangsa itu, maka ia mengorganisasi komunitas lintas ras dan mengajarkan bahwa bangsa bukan sekadar identitas etnis atau politik melainkan keluarga besar yang dipanggil hidup di bawah perlindungan Tuhan.  Hidup Motsepe merupakan saksi bagaimana bangsa yang lemah dan terpecah bisa menjadi “pusaka” yang berharga di tangan Tuhan. Mazmur 33:12 mengatakan ,” Berbahagialah bangsa yang mengakui TUHAN sebagai Allahnya, berbahagialah umat yang dipilih-Nya menjadi milik-Nya!” yang mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati hanya berasal dari Tuhan.   Di dunia ini banyak “allah” yang menjanjikan kenikmatan dan kebahagiaan, yaitu: kekayaan, kekuasaan, kesenangan, bahkan ideologi. Namun semua itu tidak mampu mengisi kekosongan jiwa yang hakiki karena hanya Allah, Tuhan Yang Esa, yang sanggup menjamin kebahagiaan sejati dan kekal. Kebahagiaan sejati bukan karena kita dipilih oleh penguasa dunia yang hanya bisa melakukan propaganda dengan seribu janji manis namun kosong, tetapi karena kita dipilih oleh Tuhan yang menjadi Allah kita. Saat Tuhan tersenyum kepada kita, Ia curahkan kasih setia-Nya. Saat kita terluka, Tuhan datang membalut yang lara.  Mengapa demikian? Karena kita ini pusaka kepunyaan-Nya. Menjadi pusaka Tuhan bukan berarti hanya mendapat perlindungan, tetapi juga menjadi objek kasih yang dirawat dengan sungguh-sungguh. Tuhan tidak sekadar memakai kita, tetapi memelihara dan menjadikan kita kesayangan-Nya yang unik dan tak tergantikan. Menjadi pusaka-Nya, juga berarti kita dipanggil untuk hidup dalam ketaatan dan kesetiaan, inilah rahasia kasih setia Tuhan yang terus mengalir dan mewujud dalam kehidupan nyata.  Ingatlah bahwa bangsa yang sejati berakar pada kasih setia Tuhan, bukan pada kekuatan duniawi. (sTy)