KETIKA UANG TAK BERARTI

Saudaraku, ada sebuah film India yang dirilis tahun 2014 dengan judul PK (Peekay = pemabuk) berisi komedi satir tentang “tuhan” yang diciptakan manusia dan permainan uang bagi siapa pun yang menjadi agennya. Ternyata sejak zaman para rasul, keinginan untuk mendapatkan dan mengendalikan Tuhan dengan uang sudah terjadi.  Mari membaca Kisah Para Rasul 8:14-24. Simon dari Samaria tertarik dengan fenomena spiritual baru yang sedang viral saat itu. Karena ia memandang bahwa kuasa yang menyertai para rasul pengikut Yesus adalah kuasa asing jenis baru, maka ia bermaksud “membeli”-nya. Jual dan beli spiritual sepertinya hal yang biasa dilakukan oleh Simon.  Ia menjual kuasa “tuhan” dan orang-orang membelinya dengan uang dan perhatian.  Simon berpikir bahwa “tuhan” yang dilihatnya melalui Petrus dan Yohanes sama saja seperti sehari-harinya, namun Simon gigit jari.  Ia bahkan ditegur keras oleh Petrus karena sikap dan motivasinya.  Simon kaget karena ternyata Tuhan yang diperkenalkan oleh para rasul itu tidak doyan uang.  Petrus bahkan mengatakan, ”Binasalah engkau dengan uangmu itu …” (Ayat 20).  Sangat keras. Pikir Simon, Tuhan macam apa yang tidak tertarik dengan uang?  Setidaknya kalau Tuhan tidak suka, biarlah hamba-hamba-Nya saja yang mengambil uang itu.  Tapi tidak ada kompromi untuk Petrus dan kawan-kawannya.  Integritas mereka menjaga kekudusan Tuhan sehingga Tuhan benar-benar dijunjung tinggi. Praktik spiritual yang melenceng sehingga membuat Tuhan seolah-olah sangat rakus uang dan bisa dibeli bahkan dibujuk dengan segepok uang dan sebongkah berlian sungguh membodohi masyarakat.  Tuhan tidak butuh uang kita, sebanyak bagaimanapun itu.  Tuhan bekerja dengan cara-Nya dan independen dari semua pengaruh manusia.  Penyimpangan terjadi pada ketika agen Tuhan gemar bertransaksi  sehingga memakai nama Tuhan untuk memakmurkan dirinya sendiri.  Pada masa kini ada beberapa oknum yang mencari keuntungan dan bertransaksi dengan nama Tuhan dan pada akhirnya membuat pembusukan pada nama-Nya.  Para nabi selalu menegur sikap seperti ini, misalnya saat Tuhan menegur penguasa Yehuda dengan mengatakan: “Penguasa-penguasa kota memerintah untuk mendapat uang suap, imam-imam mengajar hukum TUHAN untuk gaji, dan nabi-nabi meminta petunjuk dari Allah untuk mendapat uang–lalu mereka semua mengira TUHAN ada di pihak mereka. Mereka berkata, “TUHAN ada di tengah-tengah kita; kita tak akan ditimpa malapetaka.” (Mikha 3:11, BIS).  Saudaaraku, nama Tuhan yang kudus seharusnya dijaga dengan integritas para agen-Nya.  Mari belajar untuk memiliki hati yang tulus dan menjaga diri dari sikap cinta akan uang.  Mari menjaga kekudusan Tuhan dengan hidup dalam ketulusan.  Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)

Digital Sales Channel

Saudaraku, kemarin saya ikut seminar tentang Digital Sales Channel yang dibawakan oleh seorang Dosen senior dari sebuah universitas swasta terkemuka di Jakarta. Beliau menjelaskan Gen Z, sebutan untuk kelompok generasi yang lahir setelah Generasi Milenial, biasanya dilahirkan antara tahun 1997 hingga 2012, menjadi generasi yang tumbuh bersama teknologi, internet, dan media sosial, sehingga sangat akrab dengan perangkat digital. Berdasarkan riset Gen Z menghabiskan 4 hingga 7 jam per hari di perangkat digital, seperti handphone, tablet, atau komputer, atau dalam satu bulan bisa duduk manis melihat layar handphone sekitar 120 hingga 210 jam per bulan, bahkan lebih. Apa yang sering dilihat Gen Z di perangkat digital? (1) Media Sosial populer: TikTok, Instagram, Snapchat, Twitter (X), dan Facebook, termasuk video-video pendeknya. (2) Streaming Video: YouTube, Netflix, menonton film dan serial drakor/dracin. (3) Gaming: PUBG, Fortnite, Genshin Impact, dll yang ada hadiah atau ranking bagi pesertanya. (4) Lainnya: Belanja online, musik/hiburan, komunikasi dengan grupnya, juga untuk pendidikan atau informasi. Karenanya makin banyak perusahaan dan produsen dari Indonesia dan luar negeri (China) yang berjualan di media online di Indonesia. Ada satu masalah dalam transaksi online yakni adanya produsen atau supplier yang berlaku tidak jujur, seperti mengirimkan barang yang kualitasnya rendah atau tidak sesuai, obat dan makanan yang hampir expired, dan lain-lain, umumnya karena banting-bantingan harga, jadi mengirimkan barang yang kualitasnya rendah. Memang ada platform belanja yang menyediakan fasilitas bisa mengembalikan barang, tapi proses penggantian bisa memakan waktu, apalagi barang yang dibeli dari luar negeri maka hampir mustahil dapat dikembalikan. Dalam hal ini posisi konsumen atau pembeli ada di pihak yang lemah karena sudah membayar dulu ke platform belanja. Yang paling sering yakni pembeli yang kecewa ini membroadcast kekecewaannya di medsos, sering bahkan menjadi viral dan didukung netizen lain secara asal-asalan, tapi dia juga bisa menghadapi risiko tuntutan hukum dari pihak penjual. Saudaraku, Pak Dosen yang membawakan seminar menyoroti pentingnya etika bisnis yang mesti digalang dalam digital sales, yakni produsen atau penjual harus menjunjung tinggi etika bisnis yang tinggi dalam berjualan, seperti tidak menipu, menjual barang yang berkualitas/belum expired, tidak mencuri timbangan atau kuantitas, mengirim tepat waktu, dan lainnya, intinya harus bisa dipercaya. Etika bisnis diperlukan terutama karena di Indonesia belum adanya undang-undang yang mengatur perlindungan konsumen, jadi produsen atau penjual diharapkan tidak memiliki niatan jahat dalam berbisnis. Saudaraku, Alkitab mengajarkan agar pengikut Kristus dapat menjalani hidup sebagai orang yang dapat dipercaya karena dia akan mendapatkan banyak berkat, tetapi orang yang ingin cepat menjadi kaya (karena tidak jujur dalam bisnis) tidak akan luput dari hukuman  (Amsal 28:20). Terlebih lagi bila kita memegang suatu pelayanan atau aktif di gereja, mengaku hamba-hamba Kristus, yang kepada diri kita telah dipercayakan rahasia Allah tentang penebusan Kristus, yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata dapat dipercaya (1 Korintus 4:1-2) Jadi dalam berbisnis kita bukan saja bertanggungjawab kepada konsumen, tapi kita juga mengamalkan ajaran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui apa yang kita kerjakan bisa menunjukkan perilaku sebagai orang percaya yang memiliki etika bisnis sesuai ajaran Alkitab. Akhirnya konsumen dari berbagai kalangan akan dapat membedakan mana produsen atau penjual yang dapat dipercaya, atau sebaliknya siapa-siapa saja yang memiliki niatan tidak baik dalam dalam berbisnis dan mungkin akan diviralkan agar tidak mendapatkan konsumen lagi.  Saudaraku, kiranya kita dalam berbisnis, bekerja, berumah tangga, dapat menjadi orang-orang yang dapat dipercaya karena Kristus telah menebus dosa-dosa kita, dan kita perlu menunjukkan indentitas kristiani kepada lingkungan sekitar. (Surhert).