Panggilan Tuhan Bukan Sebuah Pilihan

KITAB YUNUS. Yunus, yang namanya berarti “merpati”, diperkenalkan sebagai putra Amitai (Yunus 1:1). Ia disebut dalam 2 Raja-Raja 14:25 sebagai:(1) Nabi kepada kerajaan utara Israel semasa pemerintahan Yerobeam II (793-753 SM);(2) Ia berasal dari Gat-Hefer,  tiga sampai lima kilometer utara Nazaret di Galilea.Jadi, orang Farisi salah ketika mengatakan bahwa tidak pernah ada nabi dari Galilea (Yohanes 7:52).  Pelayanan nubuat Yunus terjadi tidak lama sesudah masa pelayanan Elisa (bdk. 2 Raja-raja 13:14-19), bertumpang-tindih dengan masa pelayanan Amos (bdk. Amos 1:1) dan diikuti oleh pelayanan Hosea (bdk. Hosea 1:1). Sekalipun kitab ini tidak menunjukkan penulisnya, sangat mungkin penulis itu Yunus sendiri. Kitab Yunus  merupakan salah satu kitab yang termasuk dalam kelompok kitab-kitab kenabian dan khususnya dalam kelompok nabi-nabi kecil pada Perjanjian Lama. Tema : Luasnya Kasih Sayang Allah yang Menyelamatkan. Tahun Penulisan: sekitar 760 SM Kitab Yunus pada intinya adalah sebuah cerita tentang sifat Allah. Karena itu, kitab ini dapat dibagi menjadi empat bagian, masing-masing dipisahkan kira-kira menurut pasalnya: (1) Kedaulatan Allah, (2) Pembebasan Allah, (3) Belas kasih Allah, dan (4) Kebenaran Allah.  Dalam paruhan pertama kitab ini, pembebasan Allah diperlihatkan melalui kedaulatan-Nya. Di paruhan kedua, pembebasan Allah diperlihatkan melalui belas kasih-Nya. Akhirnya, Allah menyatakan kebenaran-Nya dengan memilih untuk memaksa dan berubah pikiran.  Mari kita membaca dan merenungkan kitab Yunus 1:1-17. Sahabat, panggilan Allah untuk memberitakan firman-Nya merupakan kesempatan istimewa yang diberikan kepada setiap orang percaya. Namun, ada kalanya motivasi terselubung mewarnai setiap keputusan untuk menjalani panggilan ini.Nabi Yunus hidup pada masa pemerintahan Yerobeam II di Kerajaan Utara. Ia mendapat panggilan Tuhan untuk memberitakan penghukuman atas Niniwe, ibu kota kerajaan Asyur, yang merupakan musuh Israel (Ayat 2). Kejahatan penduduk Niniwe yang luar biasa telah membuat Yunus bersikap antipati terhadap mereka. Yunus berpikir bahwa ia mempunyai pilihan dalam merespons panggilan Tuhan, karena itu ia memilih melarikan diri ke Tarsis (Ayat 3).  Sahabat, sebagai seorang yang menerima tugas untuk memberitakan firman Allah, Yunus lupa bahwa PANGGILAN TUHAN BUKAN SEBUAH PILIHAN. Menyatakan kehendak Tuhan merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan.Bagaimanapun upaya Yunus untuk lari dari kehendak Tuhan, ada cara Tuhan yang unik untuk membawa kembali Yunus kepada tugas yang ia harus terima, yaitu dengan memakai orang-orang yang tidak percaya.Sahabat. kepastian akan rencana Allah yang harus terlaksana melalui hamba-Nya ini tidak dapat dihalangi oleh apa pun, bahkan sang nabi tidak memiliki pilihan untuk menolak. Atas penentuan Tuhan, seekor ikan besar datang dan menelannya sehingga ia harus berada di dalam perut ikan selama tiga hari tiga malam.Panggilan Tuhan harus dilihat sebagai HAK ISTIMEWA  dan KESEMPATAN YANG LUAR BIASA  yang dianugerahkan kepada kita. Hal tersebut bukan pilihan antara kehendak kita atau kehendak Allah. Hal tersebut  memang  kehendak Allah.ketika Tuhan memanggil kita untuk melayani-Nya, yakni untuk menyatakan maksud dan rencana-Nya atas manusia, terimalah panggilan itu sebagai sebuah kehormatan yang diberikan Allah. Hal tersebut bukan pilihan; melainkan kewajiban.  Sahabat, jangan pernah berpikir untuk lari dari tanggung jawab itu, sebab Dia akan mengejar kita dan tangan-Nya yang kuat akan mengarahkan dan menuntun kita kembali untuk menjalaninya. Terimalah panggilan-Nya. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pad hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh berdasarkan hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami dari ayat 2-3? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Jika kita dipercaya Tuhan melayani-Nya mari melakukannya dengan setia dan penuh tanggung jawab, karena tidak semua orang beroleh kesempatan yang sama. (pg). 

Kasih yang Berani Melampaui Rasa Malu

Saudaraku, hari ini kita membaca dan merenungkan Injil Lukas 7:38. Di zaman sekarang, banyak orang hidup dalam tekanan sosial yang besar. Media sosial, budaya perfeksionis, dan standar kesuksesan membuat kita sering kali berusaha tampak kuat dan sempurna. Akibatnya, banyak yang menyembunyikan kelemahan dan luka mereka. Rasa malu, terutama ketika harus menampilkan sisi rapuh di depan orang lain, menghalangi kita untuk bertindak jujur atau bahkan meminta bantuan.  Di tempat kerja, seseorang mungkin terjebak dalam situasi sulit tetapi merasa malu untuk mengakuinya. Di keluarga atau gereja, tidak sedikit orang yang takut membuka hati karena khawatir akan penilaian atau penghakiman dari sesama. Rasa malu sering kali menjadi penghalang besar dalam hubungan kita dengan Tuhan. Kita khawatir tentang bagaimana kita dipandang oleh orang lain, dan dalam ketakutan itu, kita menutup diri dari pengalaman kasih yang sejati. Di tengah realitas ini, kita menemukan sebuah kisah yang menyentuh hati di Injil Lukas, yaitu kisah seorang perempuan berdosa yang berani mendekat kepada Yesus, meskipun ia dipenuhi rasa malu. Dalam Lukas 7:38, perempuan ini datang kepada Yesus dengan hati yang remuk, membawa minyak wangi yang mahal sebagai persembahan. Dia membasuh kaki Yesus dengan air matanya, menyekanya dengan rambutnya, dan mencium kaki-Nya. Tindakan ini sangat berani, terlebih lagi karena perempuan itu hidup dengan stigma sebagai orang berdosa.  Di tengah tatapan sinis orang banyak, dia menepis semua rasa malu untuk menunjukkan kasihnya yang tulus. Yang menarik, Yesus tidak hanya menerima tindakannya tetapi juga memujinya, menunjukkan bahwa Dia melihat hati perempuan itu, hati yang terbuka dan penuh kasih, tanpa takut penilaian dunia. Saudaraku, kisah ini menantang kita untuk merenungkan, sejauh mana kita berani melampaui rasa malu untuk mendekat kepada Tuhan? Kasih perempuan ini begitu kuat sehingga dia rela menanggung risiko dicemooh. Dia tidak memedulikan pandangan orang, sebab yang terpenting baginya adalah mendekat kepada Sang Penebus. Di sini, Yesus menunjukkan bahwa Ia tidak melihat masa lalu atau reputasi kita; Ia melihat hati yang datang dengan tulus. Dalam kehidupan kita, sering kali kita merasa malu untuk datang kepada Tuhan, terutama ketika kita merasa penuh dosa atau kekurangan. Namun, Yesus memberi teladan bahwa kasih dan penerimaan-Nya melampaui semua ketakutan dan rasa malu kita.  Ketika kita datang dengan hati yang terbuka, Tuhan selalu siap menerima dan menyembuhkan. Persoalan kita bukanlah besar atau kecilnya kesalahan yang kita bawa, melainkan apakah kita berani membuka diri untuk menerima kasih dan pengampunan-Nya. Saudaraku, bagaimana kita bisa menerapkan kisah ini dalam hidup kita? Pertama, kita diajak untuk datang kepada Tuhan tanpa topeng. Saat kita mencoba menyembunyikan dosa atau kelemahan, kita sebenarnya menjauhkan diri dari kasih-Nya yang memulihkan. Membuka hati adalah langkah pertama menuju kesembuhan dan pengampunan sejati. Kita harus percaya bahwa Tuhan menerima kita apa adanya. Kedua, kisah ini mengajarkan kita untuk tidak menghakimi orang lain. Sering kali, kita mudah menilai seseorang berdasarkan masa lalunya, seperti orang-orang yang menatap sinis perempuan dalam kisah ini. Namun, Yesus mengajarkan bahwa yang paling penting adalah kasih yang sejati, bukan masa lalu atau kesalahan seseorang. Dengan membuka hati untuk menerima dan memaafkan orang lain, kita mencerminkan kasih Tuhan. Ketiga, kita diundang untuk menunjukkan kasih kepada sesama dengan berani, tanpa rasa takut atau malu. Seperti perempuan yang mengurapi Yesus dengan minyak, kita dipanggil untuk mengekspresikan kasih kepada sesama tanpa mengkhawatirkan penilaian orang lain. Tindakan-tindakan sederhana seperti mengulurkan tangan kepada yang terluka atau memberikan dukungan bagi yang terabaikan, adalah cara nyata untuk membawa kasih Tuhan ke dunia ini. Pada akhirnya, kasih yang sejati memang berani melampaui rasa malu. Kita diundang untuk mendekat kepada Tuhan dan sesama dengan hati yang tulus, tanpa takut pada stigma atau penilaian.  Saudaraku, dengan mengikuti jejak perempuan dalam Lukas 7, kita bisa belajar bahwa ketika kita datang kepada Tuhan dengan kasih yang tulus, Tuhan akan menyambut kita dengan penerimaan dan belas kasih yang tak terbatas. Dalam keterbukaan itu, kita menemukan bahwa kasih Tuhan lebih besar dari segala rasa malu kita, dan dalam kasih itu, kita diberi kekuatan untuk mengasihi dunia di sekitar kita. (EBWR)