MEROKOK: Boleh atau Tidak?

Saudaraku, Ini baru saja diberitakan, omzet 3 perusahaan rokok yang melantai di Bursa Efek Indonesia: GGRM penjualan Januari-September 2024 Rp 73,89 triliun HMSP penjualan Januari-September 2024 Rp 88,47 triliun WIIM omzet per Januari- Juni 2004: Rp 2.22 triliun Total penjualan dari 3 pabrik tersebut Rp 164,58 triliun, belum termasuk pabrik-pabrik rokok yang ada di Kudus dan kota-kota lainnya, mungkin total penjualan seluruhnya pada bulan Januari-September 2024 mencapai Rp 250 triliun. Mari kita perhatikan, 9 bulan = Rp 250 triliun, berarti rata-rata per bulan = Rp 27,8 triliun, per hari (30 hari) = Rp 925,9 miliar, dan penjualan rokok per jam sekitar Rp 38,5 miliar! Jika sebungkus rokok harganya rata-rata Rp 20.000 per bungkus, maka dalam 1 jam saja telah terjual 1.925.000 bungkus. Banyak ya? Di Google kita bisa membaca, rokok tembakau pertama kali digunakan oleh suku Indian di Amerika untuk keperluan ritual keagamaan, seperti memuja dewa atau roh. Rokok diduga berasal dari Meksiko dan Amerika Tengah sekitar abad ke-9, dalam bentuk buluh dan pipa rokok. Suku Maya dan Aztec sering menggambarkan pendeta dan dewa merokok dalam tembikar dan ukiran kuil. Pada abad ke-16, ketika penjelajah Columbus menemukan benua Amerika, mulailah para penjelajah Eropa mencoba-coba menghisap rokok dan membawa tembakau ke Eropa. Rokok kretek pertama di Indonesia ditemukan oleh Haji Jamhari pada tahun 1880 di Kudus. Rokok kretek ini merupakan perpaduan antara cengkeh dan tembakau yang dibungkus kulit jagung dan dibakar. bunyi “kretek, kretek, kretek” yang dihasilkan dari pembakaran tersebut menjadi asal-usul sebutan “kretek”. Merek rokok kretek pertama di Indonesia adalah Dji Sam Soe, yang diluncurkan tahun 1913 di Surabaya, juga Mas Nitisemito, pengusaha rokok kretek dari Kudus, dianggap sebagai Bapak Kretek Indonesia. Nah saat ini  masih dekat-dekat dengan peringatan Reformasi 31 Oktober, apa pendapat Alkitab tentang rokok? Ternyata di Alkitab tidak ada ayat-ayat yang mengulas tentang rokok, atau sesuatu yang diisap-isap dan menghembuskan asap dari mulut, atau semacam rokok yang dipakai untuk ritual keagamaan penyembahan berhala. Tidak ada, juga di kitab Wahyu yang menubuatkan tentang akhir zaman juga tidak terdapat tentang rokok. Di kitab Amos 4:11 ada kata puntung: “Aku telah menjungkirbalikkan kota-kota di antara kamu, seperti Allah menjungkirbalikkan Sodom dan Gomora, sehingga kamu menjadi seperti puntung yang ditarik dari kebakaran, …”  Tapi itu bukan puntung rokok, karena arti puntung di Wikipedia adalah sisa (rokok, kayu, korek api, bekas pakai, dan sebagainya) yang sudah terbakar sebagian, jadi puntung artinya adalah sisa pembakaran. Jika ada rohaniwan yang mengatakan merokok itu berdosa dan melanggar Firman Allah, ya hal ini merupakan tafsir, persis seperti sebelum Reformasi ada banyak rohaniwan yang menafsirkan sendiri ayat-ayat Alkitab dalam bahasa latin, karena rakyat tidak punya akses untuk membaca Alkitab, apalagi memiliki Alkitab. Sola Scriptura mendorong para rohaniwan menerjemahkan Alkitab dari bahasa latin ke bahasa-bahasa setempat, dan mencetaknya, jadi rakyat bisa memiliki dan membaca Alkitab dan membaca ajaran-ajaran para Reformator. Ada dua ayat yang sering dipergunakan untuk diskusi tentang merokok itu boleh atau tidak, yakni 1 Korintus 6:19: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, — dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?” Juga ayat 2 Korintus 7:1: “Saudara-saudaraku yang kekasih, karena kita sekarang memiliki janji-janji itu, marilah kita menyucikan diri kita dari semua pencemaran jasmani dan rohani, dan dengan demikian menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah.” Manusia secara asasi terdiri dari jasmani dan rohani, yaitu raga dan jiwa. Jasmani merupakan badan atau tubuh manusia, sedangkan rohani merupakan hakikat Tuhan yang abadi dan kekal. Dalam praktiknya, jasmani dan rohani merupakan ikatan satu sama lain. Kebugaran jasmani berkaitan dengan fisk (physical fitness), sedangkan kesehatan rohani berkaitan dengan mental. Pencemaran jasmani dan rohani adalah hal-hal yang dapat menajiskan tubuh dan jiwa manusia.  Jika kita beriman dan percaya bahwa tubuh kita adalah bait atau rumah bagi Roh Kudus yang sudah kita peroleh dari Allah karena penebusan dosa oleh Yesus Kristus yang mati disalib, apakah kita tega untuk mencemarkan tubuh kita, terlebih lagi melakukan pencemaran jasmani dan rohani?  Saudaraku, perhatikanlah Roma 2:6-8:  “TUHAN akan membalas setiap orang menurut perbuatannya, yaitu hidup kekal kepada mereka yang dengan tekun berbuat baik, mencari kemuliaan, kehormatan dan ketidakbinasaan, tetapi murka dan geram kepada mereka yang mencari kepentingan sendiri, …” (Surhert)

REFLEKSI GAMALIEL

Saudaraku, kedalaman pikir seseorang memang dapat dinilai dari caranya menilai sebuah permasalahan.  Di dalam Alkitab ada banyak orang yang diceritakan sebagai orang bijak dan salah satunya adalah Gamaliel.  Mari renungkan Kisah Para Rasul 5:26-40. Siapakah Gamaliel?  Gamaliel yang dimaksud dalam Kisah Para Rasul 5 adalah seorang Farisi, anggota Sanhendrin dan seorang yang sangat dihormati oleh masyarakat.  Dengan gambaran yang dituliskan dalam Kisah Para Rasul maka bisa dibayangkan pengaruh Gamaliel dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan.  Gamaliel mengikuti semua perkembangan pengikut Jalan Tuhan yang saat itu sedang viral dan beberapa hal yang menarik dari nasihat Rabi Gamaliel antara lain : Pertama, mempertimbangkan lagi respons kepada para rasul. Orang-orang Israel yang sumbu pendek dan sensitif siap untuk meletuskan kemarahan kepada para rasul karena mereka tertusuk hatinya.  Kerasnya mereka memegang Taurat membuat mereka gampang tersulut kemarahan padahal Amsal mengatakan: Orang yang sabar besar pengertiannya tetapi siapa cepat marah membesarkan kebodohan (Amsal 14:29).   Kemarahan seringkali menjadi pintu masuk kebodohan yang menyebabkan seorang menjadi monster yang bisa menghancurkan sesamanya.  Namun dalam situasi genting itu, Gamaliel tampil sebagai pribadi yang berbeda.  Sebagai seorang Farisi dan seorang guru, ia menyampaikan refleksinya yang teduh sehingga menyelamatkan nyawa para rasul.   Tak banyak orang melakukan refleksi seperti Gamaliel yang mengamati dan mencoba memahami situasi yang terjadi dengan sudut pandang kedalaman teologinya sehingga yang muncul adalah kebijaksanaan.  Gamaliel berhasil mengerem kemarahan mereka dengan hikmat sehingga berhasil melonggarkan rasa marah yang mencekik.   Kedua, mengingatkan tentang keterbatasan mereka memahami pekerjaan Tuhan. Refleksi Gamaliel menyadarkannya tentang pekerjaan Tuhan yang tak terbatas, tak bisa diperkirakan manusia.  Manusia biasa saja mencoba mati-matian membela apa yang dianggapnya kebenaran, namun kebenaran Tuhan memiliki jalannya sendiri untuk muncul.  Makin berhikmat maka orang akan makin berhati-hati.  Makin dalam seseorang memahami maka ia akan makin sulit terprovokasi.  Semakin dalam seseorang belajar, maka semakin dia merasa tidak tahu.  Gamaliel mengingatkan kemungkinan ini kepada orang Israel yang marah kepada para rasul.  Media sosial membuat informasi mengalir seperti tsunami sehingga kadangkala membuat manusia bereaksi dengan berita yang didengarnya.  Tak jarang Gerakan masyarakat muncul dari media sosial.  Saudaraku, alih-alih terprovokasi, belajarlah dari Gamaliel.  Ada banyak hal harus diamati, direnungkan dan dipikirkan sebelum jemari mengetikkan komentar, sebelum bibir mengucapkan hujatan.  Berilah waktu untuk refleksi supaya hikmat menguasai.  Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)

Buah Ketaatan

NABI HOSEA. Sahabat, bagaimana respons kita seandainya berada dalam posisi nabi Hosea? Ia diperintahkan Allah untuk mengawini Gomer, si perempuan sundal (Hosea 1:2-3). Lalu, ketika Gomer lari darinya untuk berzinah dengan lelaki lain, dan akhirnya dijual sebagai budak, Hosea harus menebusnya kembali dan membawanya pulang (Hosea 3:1-3). Terhadap anak-anak yang dilahirkan Gomer untuknya, Hosea harus memberikan nama yang berkonotasi buruk. Bagi putra sulung: “Yizreel” (Allah menabur). Menabur berkat? Bukan. Sama sekali bukan. Bukan berkat yang dia tabur, melainkan amarah-Nya kepada bani Israel karena dosa Yehu dan keturunannya, para raja Israel Utara (Hosea 1:4,  2 Raja-raja 10:29, 31).  Bagi putri kedua: “Lo-Ruhama” (Tiada belas kasih). Allah berhenti menyayangi umat-Nya? Tidak juga. Sebab, setelah menghukum Israel, Dia akan kembali mengasihi mereka meskipun mereka berulang kali melawan Dia (Hosea 1:10-12, 2:21-22, dan 11:8-9).  Bagi putra bungsu: “Lo-Ami” (Bukan umat-Ku). Bagaimana jika Allah memutuskan perjanjian-Nya dengan umat-Nya? Adakah hukuman yang lebih mengerikan selain terpisah dari Dia, seperti yang pernah dialami Yesus di kayu salib (Matius 27:46)? Kehidupan Hosea memang amat tragis. Sangat sulit sekali untuk dipahami mengapa Allah menyuruhnya menjalani kepahitan seperti itu. Bagi banyak orang, mungkin ia dianggap gagal. Tetapi, bagi Allah, ia hamba yang taat, yang telah berhasil menjadikan hidupnya sebagai lambang kasih Allah yang abadi pada manusia yang cenderung memberontak.  Mari kita membaca dan merenungkan Hosea 1:10-12.  Sahabat, menjadi taat tidak selalu mudah. Namun, Hosea berhasil menunjukkan ketaatan dan berbuah berkat. Berkat itu tidak hanya secara personal, tetapi juga nasional. Pasalnya, bangsa Israel pun mendapatkan janji keselamatannya kembali. Itu semua tak lepas dari Hosea yang memilih taat kepada Tuhan, walau ia harus menderita.Hosea, sebagai seorang nabi, harus menjadi suami dari perempuan sundal. Ia menjadi ayah Yizreel, Lo-Ruhama dan Lo-Ami. Ketiganya adalah anak-anak sundal. Syukur kepada Allah, pengorbanan Hosea tidak sia-sia. Cahaya pengharapan bagi Israel pun terbit bak fajar di pagi hari.Sahabat, sebelumnya, Tuhan menolak Israel. Namun, setelah itu mereka disebut sebagai “anak-anak Allah yang hidup” (Ayat 10). Allah juga mengatakan bahwa kelak mereka akan menjadi bertambah banyak jumlahnya. Lebih mengagumkan lagi, orang Yehuda dan Israel, yaitu dua kerajaan yang telah terpecah itu akan bersatu kembali di bawah satu pimpinan (Ayat 11).Sahabat, kemasyhuran Israel dan Yehuda pun dinyatakan kepada Hosea. Firman Tuhan menegaskan supaya Hosea menyebut saudara-saudaranya laki-laki dengan “Ami!”, artinya “bangsa”. Sementara, panggilan kepada saudara-saudaranya perempuan adalah “Ruhama!”, artinya “kasih” (Ayat 12).Ketaatan Hosea kepada Tuhan dengan segala pengorbanan dan keberaniannya layak untuk kita renungkan. Ketaatan kepada Tuhan memerlukan keberanian, kerelaan, ketekunan, pengorbanan, dan keinginan untuk memuliakan Allah.Melalui kisah Hosea, kita menjadi mengerti alasan Tuhan meminta ketaatan dari umat-Nya. Tuhan tidak pernah mengecewakan umat yang taat kepada-Nya. Memang untuk menjadi taat, kita tidak serta-merta mendapatkan kemudahan. Satu prinsip yang perlu kita pegang erat-erat:  Tidak ada pengorbanan yang mudah. Sahabat, kalau serba gampang, itu bukan pengorbanan. Nilai pengorbanan justru sering terletak pada tingkat kesulitan yang dihadapi. Namun saat kita memilih untuk menjadikan ketaatan sebagai bagian penting dalam hidup kita, maka ketaatan tersebut akan berbuahkan kebaikan. Yakinlah! Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami dengan istilah: “Pengorbanan”? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Ketaatan pada Tuhan lebih penting daripada keberhasilan hidup. (pg).