Jejak Iman dalam Pengasuhan:Menjadikan Amanat Generasi
Saudaraku, mari kita membaca dan merenungkan 1 Samuel 2:30-36. Di tengah dunia yang terus berubah, setiap orang tua berjuang membesarkan anak-anak mereka dengan segala usaha dan harapan. Namun, satu hal yang kerap terlupakan adalah amanat iman yang perlu diteruskan bagi generasi berikutnya. Kita mungkin pernah melihat keluarga-keluarga yang tampak sukses dari luar tetapi rapuh di dalam, terputus dari akar spiritualnya. Sebuah kisah nyata muncul dari seorang pemimpin yang tampak sempurna. Anak-anaknya bersekolah di tempat terbaik, dan segala fasilitas disediakan demi masa depan yang cemerlang. Tetapi, di balik semua itu, relasi mereka mulai renggang; sang anak merasa jauh dari nilai-nilai iman yang dulu dipegang keluarganya. Apa yang terjadi? Ternyata, masalah ini bukanlah sesuatu yang baru. Dalam 1 Samuel 2:30-36, kita menemukan kisah imam Eli dan kedua anaknya, Hofni dan Pinehas. Sebagai imam, Eli seharusnya menjaga kemurnian pelayanan dan menanamkan amanat iman kepada anak-anaknya. Namun, ia membiarkan anak-anaknya menyalahgunakan posisi mereka di bait Allah. Akibat dari kelalaiannya, Tuhan menghukum Eli dan keturunannya. Eli yang seharusnya menjadi penjaga iman akhirnya kehilangan warisan rohani itu. Ini bukan hanya kegagalan Eli sebagai ayah, melainkan sebagai pemimpin yang dipercayakan Tuhan untuk memelihara iman. Pengabaian Eli bukanlah kekeliruan sesaat; ini adalah kelalaian terhadap amanat yang berdampak lintas generasi. Jika kita merenungkan kisah ini, masalah utama bukanlah Eli tidak mengasihi anak-anaknya. Masalahnya adalah ia membiarkan mereka tumbuh tanpa prinsip iman yang kuat. Ada cukup banyak orang tua hari ini, seperti Eli, terjebak dalam pemikiran bahwa kasih cukup diwujudkan dalam menyediakan kebutuhan fisik atau pendidikan yang baik. Namun, lebih dari sekadar kebutuhan duniawi, anak-anak membutuhkan fondasi spiritual yang kokoh sebagai landasan hidup. Tanpa landasan ini, mereka mudah hanyut dalam pengaruh dunia yang bisa menjauhkan mereka dari tujuan hidup sejati. Sebagai orang tua, kita bisa belajar dari kesalahan Eli. Mewariskan iman dan nilai-nilai kehidupan adalah amanat yang tak boleh diremehkan. Amanat ini bukan hanya “menasihati” atau “mengajari”, melainkan menghidupi nilai-nilai iman dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari. Anak-anak belajar dari teladan, bukan hanya dari kata-kata. Dalam menghadapi dunia yang terus menarik perhatian anak-anak ke berbagai arah, orang tua perlu lebih dari sekadar petuah dan nasihat. Mereka harus menjadi teladan hidup yang nyata, iman yang kokoh dan kasih yang tulus. Salah satu langkah sederhana adalah membangun kebiasaan beribadah bersama sebagai keluarga, berbagi pengalaman iman, dan mendampingi pertumbuhan spiritual anak dengan penuh perhatian. Berikan mereka kesempatan untuk bertanya, memahami, dan mengalami Tuhan dalam hidup mereka, bukan hanya di dalam ritual. Ketika mereka melihat bagaimana orang tua hidup dalam iman, kesetiaan, dan pengharapan kepada Tuhan, iman itu akan lebih mudah mereka terima dan hayati. Pengasuhan sebagai amanat generasi membutuhkan ketulusan dan ketekunan. Setiap orang tua adalah perantara yang Tuhan tempatkan untuk menanam benih iman yang abadi dalam diri anak-anaknya. Jangan biarkan waktu berlalu tanpa memberikan warisan terbaik yang bisa mereka miliki, iman yang kokoh, kasih yang tulus, dan komitmen yang teguh. Saudaraku, hidup ini bukan hanya tentang apa yang kita capai, tetapi tentang apa yang kita wariskan kepada generasi mendatang. Melalui kisah Eli, Tuhan memberikan pelajaran yang mendalam; mari kita JAGA JEJAK IMAN itu agar tidak HILANG, tetapi TERUS HIDUP dan MENYINARI GENERASI-GENERASI BERIKUTNYA. (EBWR).
Berbahagialah keturunannya. Meme Firman Hari Ini.
Jauh dari Kasih Karunia Tuhan
TITIK NADIR. Sahabat, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nadir adalah titik yang paling rendah dari bulatan cakrawala (bola langit) yang terletak tepat di bawah kaki pengamat. Sedangkan titik nadir kehidupan ialah kondisi terendah dalam kehidupan seseorang. Kondisi yang banyak orang tak menginginkannya. Titik nadir dalam kehidupan adalah saat-saat yang paling sulit atau terendah dalam kehidupan seseorang. Hal itu bisa terjadi karena berbagai alasan seperti kehilangan orang yang dicintai, kegagalan dalam karir, masalah keuangan, masalah kesehatan, depresi, dan lain-lain. Hari ini kita akan membaca dan merenungkan dari 1 Samuel 28:1-25 dengan penekanan pada ayat 6. Sahabat, Tuhan menyediakan berkat dan pemulihan bagi anak-anak-Nya, dan secara terperinci berkat-berkat itu bisa kita baca dalam Ulangan 28:1-14, dan yang paling banyak diingat dan dipegang oleh orang percaya yaitu: “Tuhan akan mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, engkau akan tetap naik dan bukan turun, …” (Ulangan 28:13). Cukup banyak orang percaya yang mengklaim janji Tuhan ini tanpa memperhatikan lebih dahulu kelanjutan dari ayat tersebut: “… apabila engkau mendengarkan perintah Tuhan, Allahmu, yang kusampaikan pada hari ini kaulakukan dengan setia, dan apabila engkau tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri dari segala perintah yang kuberikan kepadamu pada hari ini, dengan mengikuti allah lain dan beribadah kepadanya.” (Ulangan 28:13-14). Saul merupakan salah satu contoh orang yang justru mengalami kemunduran atau kemerosotan atau penurunan dalam hidupnya sampai titik nadir. Kisah Saul dalam bacaan kita pada hari ini sungguh-sungguh menyedihkan. Ia sungguh-sungguh menyangkali imannya. Kepercayaannya yang paling mendasar kepada Tuhan telah ditinggalkan. Apa yang menjadi salah satu larangan penting dari Taurat (Ulangan 18:9-14), yang Saul sendiri pada masa permulaan pemerintahannya menaatinya (Ayat 3), telah dilanggarnya sendiri. Percaya pada peramal berarti percaya kepada roh-roh lain di luar Tuhan. Hal itu sama saja dengan menduakan Tuhan, alias menyembah berhala. Ketaatan Saul benar-benar telah memudar. Sahabat, itulah yang terjadi pada Saul. Dalam keadaan kepepet oleh pasukan Filistin, Saul berusaha mencari petunjuk dari Tuhan. Ketika Tuhan tak kunjung menjawab, ia pun nekat mencari pemanggil arwah agar dapat memberi jawaban atas pergumulannya (Ayat 7). Ternyata di Israel masih ada orang dengan profesi semacam itu, yang jelas-jelas bertentangan dengan Taurat Tuhan. Tidak heran, rajanya sendiri pun kemudian terjebak pada dosa tersebut.Apakah yang muncul benar-benar roh Samuel atau roh “Samuel”, itu merupakan isu kontroversial dalam dunia penafsiran Alkitab. Kalau benar itu roh Samuel, maka itu merupakan kasus khusus yang Tuhan izinkan untuk meneguhkan penghukuman-Nya atas Saul karena jawaban roh Samuel jelas sekali (Ayat 16-19). Kalau itu bukan roh Samuel, maka jelas roh jahat berperan dibalik sang pemanggil arwah untuk menipu Saul. Isi jawaban yang senada dengan berita penghukuman Allah melalui Samuel pada masa lalu tidak perlu diartikan bahwa roh jahat memiliki pengetahuan Ilahi, tetapi bahwa roh jahat akan memakai apa saja untuk menjerat orang semakin jauh dari Tuhan dan terpuruk sampai titik nadir.Sahabat, kita sudah mengikuti perjalanan iman Saul dari permulaan, dan mendapatkan bahwa saat Saul tidak bersedia dikoreksi oleh Tuhan. Ia semakin jauh dari kasih karunia Tuhan. Puncaknya, ia menyangkali Tuhan dengan mencari pertolongan dari yang bukan Tuhan. Sayang sekali teguran Tuhan sama sekali tidak direspons dengan bertobat dan mau belajar menaati kehendak-Nya. Semoga kita belajar dari kisah Saul ini untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Semoga kita tidak semakin menjauh dari kasih karunia Tuhan. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah. Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami tentang titik nadir kehidupan? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Mari kita sabar menantikan jawaban dari Tuhan dan jangan mengambil jalan pintas dengan mencari pertolongan kepada allah-allah yang lain. (pg).