Tune Up Kesehatan Emosional Keluarga:Menciptakan Atmosfer Damai di Rumah

Saudaraku, keluarga di masa kini menghadapi berbagai tantangan yang dapat menggerogoti kesehatan emosional. Kegelisahan akibat kesibukan yang tiada henti, masalah finansial, dan komunikasi yang kurang baik sering kali membuat rumah terasa tidak aman. Sayangnya, tidak sedikit yang akhirnya menyerah, beberapa memilih berpisah, sementara yang lain menghadapi tragedi bunuh diri.  Ketika kita membaca berita tentang seorang remaja yang mengakhiri hidupnya karena merasa tidak didengarkan, atau seorang ayah yang pergi karena merasa gagal memenuhi harapan, kita diingatkan akan pentingnya perhatian terhadap kesehatan emosional di dalam keluarga. Di balik DINDING RUMAH  yang tampak TENANG, sering kali tersembunyi BADAI yang dapat menghancurkan ikatan keluarga. Dalam banyak kasus, kurangnya komunikasi menjadi salah satu akar masalah.  Banyak keluarga tidak menyadari bahwa kata-kata yang tidak hati-hati dapat menciptakan jarak yang sulit untuk dijembatani. Dalam konteks ini, Yakobus 1:19-20 menjadi pengingat penting bagi kita: “Setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah.”  Ayat tersebut menyoroti pentingnya pengendalian diri dalam komunikasi. Jika kita cepat marah dan lambat mendengarkan, kita berisiko merusak hubungan yang seharusnya penuh kasih. Kesehatan emosional dalam keluarga tidak hanya tentang bagaimana kita berinteraksi saat segalanya berjalan baik, tetapi juga bagaimana kita berhadapan dengan KONFLIK. Seringkali, saat EMOSI MELUAP, kata-kata yang keluar adalah SENJATA  yang MELUKAI bukan JEMBATAN  yang MENYATAKUKAN.  Di sinilah pentingnya MENDENGARKAN, bukan hanya dengan TELINGA, tetapi juga dengan HATI. Ketika kita berusaha memahami emosi dan kebutuhan di balik kata-kata, kita dapat menciptakan ruang di mana setiap anggota keluarga MERASA DIHARGAI.  Namun, mendengarkan saja tidak cukup. Ketika terjadi konflik, kita juga perlu melatih diri untuk LAMBAT  dalam BERBICARA. Mengambil waktu sejenak untuk TENANG  dan BERPIKIR,  sebelum merespons adalah langkah penting dalam menjaga KESEHATAN EMOSIONAL.  Ada KEKUATAN  dalam KEHENINGAN; kadang-kadang, menunggu untuk berbicara adalah bentuk KASIH yang TERBESAR.  Ini adalah saat kita dapat merenungkan kata-kata yang akan diucapkan, memastikan bahwa mereka MEMBANGUN, bukan MERUSAK.  Kesehatan emosional juga berkaitan erat dengan kasih. Kasih yang tulus menciptakan suasana di mana setiap anggota keluarga merasa aman dan diterima. Kolose 3:12-14 mengingatkan kita untuk mengenakan: “… belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kesabaran, … Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.”  KASIH bukan hanya tentang perasaan; itu tentang TINDAKAN NYATA, Kasih itu terlihat dalam sikap SALING MENGAMPUNI, kesediaan untuk MENDENGARKAN, dan kemampuan untuk MEMBERI DUKUNGAN  di saat-saat sulit. Apa yang dapat kita lakukan untuk menciptakan atmosfer damai di rumah? Mulailah dengan doa bersama, mengundang Tuhan untuk hadir dalam setiap interaksi. Sediakan waktu khusus untuk berkumpul, tanpa gangguan dari gadget, sehingga semua orang dapat saling berbagi.  Saat konflik muncul, cobalah untuk tenang sejenak sebelum merespons, dan fokuslah pada SOLUSI, bukan pada MASALAH. Dengan mengenakan kasih dan berkomitmen untuk mendengarkan, kita dapat menciptakan rumah yang penuh damai. Ketika kita menyelaraskan hati dengan ajaran Kristus, damai sejahtera yang melampaui segala akal akan memerintah di dalam keluarga kita.  Saudaraku, mari kita bersama-sama berusaha untuk menciptakan RUANG   di mana setiap anggota keluarga dapat pulang dengan hati yang penuh damai, di mana kasih menjadi pengikat utama dan KESEHATAN  EMOSIONAL  menjadi FONDASI  yang KUAT  bagi IKATAN KELUARGA  kita. (EBWR).

God Has Healed Me

MAZMUR 41. Sahabat, memamg penderitaan karena sakit penyakit dan pengkhianatan orang  terdekat merupakan dua penderitaan yang tidak mudah kita terima dan jalani. Dalam Mazmur 41 Daud mengalami keduanya secara bersamaan. Mazmur 41 merupakan penutup dari buku I (pasal 1-41) kitab Mazmur. Mazmur 1 membuka dan Mazmur 41 menutup dengan frasa “Berbahagialah orang yang …” (1:1; 41:2). Mazmur 41 menyimpulkan buku yang berisikan aneka ragam doa dengan pelajaran hikmat. Sahabat, Daud mulai mengajar dengan pernyataan, “Berbahagialah orang yang memperhatikan orang lemah” (Ayat 2-a). Orang seperti itu akan mengalami dipedulikan Tuhan saat ia sendiri lemah (Ayat 1b-3). Daud memakai contoh dirinya (Ayat 5-10). Ia pernah sakit karena berdosa kepada Tuhan. Sakitnya sangat parah sehingga banyak orang percaya ia tidak akan sembuh.  Orang-orang yang membenci dia akan memanfaatkan situasi sakitnya untuk menekan dia. Mereka menggosipkan dirinya bahwa Tuhan telah meninggalkannya, maka ia pasti akan mati. Teman dekatnya ikut-ikutan menghujat. Tak ada yang percaya dia akan sembuh dari sakitnya. Daud mengalami hal itu saat orang datang menjenguknya, tetapi hati mereka penuh dusta dan kejahatan (Ayat 7-9). Ia ungkapkan perasaan itu lewat kalimat, “Bahkan sahabat karibku yang kupercayai, yang makan rotiku, telah mengangkat tumitnya terhadap aku” (Ayat 10). Mereka mengira Daud tidak akan selamat dari sakit jasmaninya (Ayat 9) dan tidak akan bangkit lagi, karena kejahatan dan pengkhianatan yang dialaminya (Ayat 6). Tidak demikian yang terjadi, meski situasi hidupnya belum berubah.Syukur kepada Tuhan, hari ini kita dapat melanjutkan belajar dari kitab Mazmur dengan topik: God Has Healed Me (Tuhan Telah Menyembuhkan Aku)”. Bacaan Sabda diambil dari Mazmur 41:1-14. Sahabat, tidak ada seorang pun di dunia ini yang kebal terhadap penyakit. Kita semua pernah mengalaminya. Sejak bayi hingga menjadi tua, tidak terhitung banyaknya penyakit yang pernah kita alami, dari penyakit ringan, seperti flu sampai penyakit berat dan kronis, seperti kanker.  Cara dan sikap orang-orang pun berbeda dalam menghadapi penyakit. Ada yang menganggapnya biasa; ada yang berjuang untuk sembuh; tetapi ada juga yang pasrah.Dalam bacaan kita pada hari ini, Pemazmur juga sedang sakit. Entah penyakit apa, namun tampaknya bukanlah penyakit ringan. Parahnya, orang-orang justru menginginkan kematiannya dari penyakit itu (Ayat 6).  Para pembencinya menyusun rencana jahat terhadapnya (Ayat 8), bahkan sahabat karibnya menghina dan melawannya (Ayat 10). Pemazmur merasakan dan mengakui bahwa penyakitnya begitu berat (Ayat 9).Bagaimana sikap Pemazmur dan caranya menghadapi penyakit? Ia tidak mengingkari bahwa dirinya sedang sakit dan butuh pertolongan. Namun mula-mula, ia menyerukan dirinya untuk berbahagia (Ayat 2). Karena, ia percaya Tuhan pasti akan melindungi, memelihara nyawanya (Ayat 3), dan menyembuhkan penyakitnya (Ayat 4).  Lalu dengan jujur, ia mengakui dosanya dan memohon belas kasihan Tuhan (Ayat 5). Ia menutup mazmurnya dengan pujian kepada Allah (Ayat 14) seolah-olah ALLAH TELAH MENYEMBUHKANNYA. Sahabat, adakah hari ini diantara kita yang sedang menderita sakit penyakit? Berat maupun ringan, tetap saja itu sangat mengganggu aktivitas kita. Kita menjadi tidak bisa maksimal melakukan apa pun. Untungnya, Tuhan memberi kita akal budi sehingga dengan begitu kita berusaha untuk sembuh.  Caranya bisa dengan menemui dokter, meminum obat, dan beristirahat. Tuhan juga memberi kita iman. Dengan iman inilah, kita percaya bahwa hanya dengan campur tangan Tuhan kita dapat sembuh. Dokter dan obat hanyalah alat di tangan-Nya untuk menyembuhkan kita. Yang paling penting kita percaya: Tuhan telah menyembuhkan aku. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah. Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami dari ayat 8-9? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Jalanilah hidup dalam ketulusan dan kepercayaan kepada Tuhan, maka Ia akan menegakkan langkah kaki kita. (pg).