Pelitanya akan padam pada waktu gelap. Meme Firman Hari Ini.
MENGAMALKAN AJARAN KRISTUS
Saudaraku, seringkali dari mimbar gereja sesaat sebelum kantong kolekte diedarkan maka Liturgos atau Worship Leader (WL) menyerukan agar jemaat bisa menabur, maksudnya memberikan uang persembahan identik dengan menabur, karena akan medapatkan tuaian atau imbal balasan yang nilainya tiga puluh kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, dan ada yang seratus kali lipat. Inilah yang terjadi bila kita jarang membaca Alkitab tentang tabur-tuai, karena katanya Tuhan Yesus sendiri yang mengatakan hal itu. Benarkah? Mari kita perhatikan di kitab Markus dan Matius yang merupakan kitab-kitab pertama di Perjanjian Baru yang ditulis. Suatu hari Tuhan Yesus dari perahu di tepi pantai mengajar orang banyak tentang adanya penabur, dan nampaknya orang-orang itu dan bahkan murid-murid Yesus tidak paham akan maksudnya, apakah Yesus mengajarkan agar orang-orang menabur uang untuk modal usaha/investasi atau menabur apa lainnya, karena bila benih yang ditabur jatuh ke tanah yang baik maka hasilnya akan berlipat ganda. Ternyata Tuhan Yesus tegas menjelaskan, dan ditulis di kitab Markus 4:14-15, 20 dan Matius 13:18, 23, bahwa Penabur itu menaburkan firman. Orang-orang adalah tempat firman itu ditaburkan, dan bila orang yang mendengar firman itu mengerti, ia akan berbuah, ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat, artinya Injil akan diberitakan oleh orang-orang yang mengerti Firman dan akan memenangkan jiwa-jiwa baru. Jadi jelas yang dimaksudkan Tuhan Yesus, yakni menabur Firman Tuhan, bukan menabur uang untuk persembahan atau uang untuk investasi modal usaha. Beberapa tahun kemudian Rasul Paulus menyebutkan adanya upaya tabur-tuai di kitab Galatia 6:9: “Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah.” Ajaran tersebut ditafsirkan, siapa yang tidak jemu-jemu berbuat kebaikan, akan menuai atau mendapatkan imbal balik pada waktunya nanti. Sebaliknya tokoh Reformasi John Calvin menjelaskan Galatia 6:9 sebagai berikut: Janganlah kita tidak jemu-jemu berbuat baik. Berbuat baik (καλὸν = kalón) tidak hanya berarti melakukan kewajiban kita, tetapi juga melakukan tindakan kebaikan, menunjukkan kemurahan hati. Perintah ini sangat diperlukan; karena kita pada dasarnya enggan melaksanakan tugas kasih persaudaraan, dan ada banyak kejadian tidak menyenangkan menyebabkan semangat orang-orang cenderung mendingin atau menjadi tawar, terlebih lagi bertemu dengan banyak orang yang tidak tahu berterima kasih. Singkatnya, dunia menghadirkan banyak sekali rintangan, yang cenderung menuntun kita menjauh dari jalan yang benar. Oleh karena itu, Rasul Paulus sangat tepat menasihati kita untuk tidak letih lesu, bahkan menjadi lemah, tapi tetap bertekun sampai akhir. Mereka yang tidak bertekun menyerupai petani yang malas, setelah membajak dan menabur, meninggalkan pekerjaan yang belum selesai, dan lalai melindungi benih agar tidak dimakan burung, atau hangus oleh matahari, atau hancur karena dinginnya cuaca. Jelas John Calvin tidak menjelaskan siapa yang menabur, maka kelak akan memanen, tapi maksudnya supaya jemaat tetap melakukan tindakan kebaikan, karena ini adalah jalan kehidupan yang benar. Memang Rasul Paulus juga menyinggung tentang adanya persembahan di kitab 2 Korintus 9:6: “Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga.” Tapi Rasul Paulus juga menyebutkan selanjutnya 2 Korintus 9:7: “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.” Jadi Rasul Paulus mengajarkan, hendaknya orang yang berniat memberikan persembahan bukan karena motif ingin mendapatkan imbal balasan yang lebih besar, tapi supaya berdasarkan kerelaan hati, dan Tuhan akan mengasihi orang yang memberikan persembahan dengan niatan yang baik dan ada rasa sukacita saat memberi. Saudaraku, belajar dari Alkitab, memberikan uang persembahan atau melakukan kebaikan bukanlah untuk mendapatkan pahala atau imbalan. Namun pemberian kita yang baik dan dilakukan dengan sukarela adalah contoh yang benar dalam MENGAMALKAN AJARAN KRISTUS, karena dunia mengajarkan orang untuk bersikap egois, hanya memperhatikan diri sendiri dan tidak mau mendengarkan kebutuhan sesama. (Surhert)
Hati Terbuka, Luka Tersembuhkan
Saudaraku, mari kita membaca dan merenungkan Injil Lukas 7:47: Sebab itu Aku berkata kepadamu: “Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih.” Setiap orang menyimpan luka dalam hati. Bukan hanya luka fisik yang tampak di permukaan, tetapi juga luka batin yang tersembunyi di balik senyuman, memengaruhi emosi dan kehidupan sosial kita. Luka ini bisa berasal dari banyak sumber: Keluarga yang tak harmonis, tekanan dari masyarakat, lingkungan sekolah yang penuh persaingan, atau dunia kerja yang sering kali keras. Bahkan di tempat yang seharusnya membawa damai, seperti gereja, kita bisa terluka oleh perpecahan atau ketidakpedulian. Luka-luka ini, jika tidak dihadapi, akan mengendap menjadi rasa sakit, kepahitan, dan kesendirian yang sulit diobati. Kita sering melihat orang yang terluka secara emosional atau sosial dalam kehidupan sehari-hari. Di tempat kerja, seseorang mungkin merasa tak dihargai atau diperlakukan tidak adil. Dalam keluarga, seorang anak mungkin tumbuh tanpa cinta yang cukup, atau pasangan suami-istri terjebak dalam konflik yang tak berujung. Bahkan di gereja, jemaat bisa merasa diabaikan karena perbedaan pandangan. Luka-luka ini meninggalkan bekas mendalam yang menghambat hubungan kita dengan sesama, dan bahkan dengan Tuhan. ketika kita terluka, sering kali respons pertama kita adalah menutup hati. Kita meragukan kasih Tuhan dan kehadiran-Nya, merasa sendirian dalam kesakitan. Luka yang tidak pernah diakui atau dihadapi akhirnya menahan kita dari pertumbuhan rohani dan membatasi kasih yang bisa kita berikan kepada orang lain. Di sinilah kita diajak untuk membuka hati, sebab HANYA HATI YANG TERBUKA YANG BISA DISEMBUHKAN. Saudaraku, Injil Lukas 7:36-50 menghadirkan kita pada kisah seorang perempuan yang hidupnya penuh luka, banyak yang percaya dia adalah Maria Magdalena. Sebagai seorang pendosa, Maria telah dipandang rendah oleh masyarakat. Luka sosial yang ia derita mendalam, namun Maria berani membuka hatinya. Dengan air mata penyesalan, dia mendekati Yesus, mencurahkan minyak wangi di kaki-Nya, membasuhnya dengan air matanya, dan menyeka dengan rambutnya. Sikapnya menunjukkan hati yang benar-benar terbuka, penuh kerinduan akan pengampunan dan kasih. Yesus, alih-alih menghakimi, justru menerima dan menyembuhkan (Lukas 7:47). Tindakan Maria menunjukkan bahwa luka yang terbuka di hadapan Tuhan dapat menjadi jalan untuk pemulihan. Pengampunan yang Yesus berikan bukan hanya menghapus dosanya, tetapi juga menyembuhkan luka emosional dan sosial yang selama ini menghantuinya. Kisah ini mengajarkan kita bahwa luka, jika DIBUKA di hadapan Tuhan, dapat menjadi SUMBER KASIH dan PEMULIHAN. Ketika kita berusaha menyembunyikan luka-luka kita, kita membiarkannya semakin dalam dan menyakitkan. Tetapi saat kita membuka diri, seberapa pun rapuhnya, Tuhan akan merespons dengan kasih yang menyembuhkan. Langkah pertama menuju pemulihan adalah menyadari dan mengakui luka-luka itu, sebagaimana Maria membuka hatinya di hadapan Yesus. Selain mengakui, kita juga perlu percaya bahwa Tuhan mampu menyembuhkan. Dunia mungkin menolak kita, tetapi Tuhan selalu hadir dengan tangan terbuka. Ketika orang lain menghakimi atau menolak kita, pengampunan Tuhan melampaui semua penilaian manusia. Seperti Maria yang menemukan kebebasan dalam pengampunan Kristus, kita pun bisa menemukan kebebasan dari luka-luka kita jika kita membuka hati kepada-Nya. Saudaraku, tak hanya kepada Tuhan, kita juga harus membuka hati kepada sesama. Luka yang kita alami sering kali membuat kita lebih peka terhadap penderitaan orang lain. Tuhan memanggil kita untuk menjadikan luka kita sebagai pintu masuk bagi kasih yang lebih besar, bukan membiarkan luka itu memupuk kebencian. Mengampuni orang yang telah melukai kita adalah bagian dari proses penyembuhan itu. Ketika kita bisa mengampuni, kita mengambil bagian dalam misi Kristus untuk memulihkan dunia ini, satu hati yang terluka pada satu waktu. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa mulai dari hal-hal kecil. Perhatikan mereka yang terluka di sekitar kita, di rumah, di tempat kerja, di sekolah, atau di gereja. Sebuah kata penguatan, telinga yang mendengar, atau pelukan hangat bisa menjadi bentuk kasih yang mengalir dari hati yang telah disembuhkan Tuhan. Saudaraku, kita semua diundang untuk terus membuka hati, kepada Tuhan dan kepada sesama. Dalam keterbukaan itu, kita akan menemukan bahwa luka-luka yang kita alami, dengan kasih Tuhan, dapat menjadi sumber kekuatan dan kasih yang menyembuhkan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. (EBWR)