Kasih Tak Bertepi, Pilihan Manusia

Saudaraku, mari kita membaca dan merenungkan Ulangan 6:5: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu.”. Di tengah dunia yang semakin sibuk dan penuh distraksi, kasih yang tulus kepada Tuhan seolah menjadi barang langka. Kehidupan modern menawarkan begitu banyak hal yang terlihat lebih menarik daripada menjalani hidup dalam kasih kepada Sang Pencipta.  Dengan segala kesibukan, tujuan hidup yang berubah, dan godaan yang memikat, manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tidak selalu mengarah pada Tuhan. Persoalan besar dari judul ini adalah: Mengapa Tuhan tidak membuat manusia secara otomatis mencintai-Nya? Mengapa Dia membiarkan manusia memiliki pilihan yang berpotensi membawa mereka jauh dari-Nya?  Kasih sejati selalu melibatkan pilihan. Tuhan yang Maha Pengasih tidak memaksakan cinta. Kasih yang dipaksakan tidak pernah menjadi kasih yang tulus. Jika kita tidak memiliki kebebasan untuk memilih, cinta itu hanyalah kepatuhan buta, tanpa makna.  Tuhan tidak menginginkan robot, melainkan hati yang rela. Kita melihat hal ini dari permulaan sejarah manusia di Taman Eden. Adam dan Hawa diberi kebebasan untuk memilih menaati Tuhan atau melanggar perintah-Nya. Sayangnya, mereka memilih untuk jatuh. Kejatuhan itu membuka jalan bagi penderitaan, rasa sakit, dan kematian. Tapi apakah ini berarti Tuhan gagal? Tidak. Justru di dalam kebebasan itu kita melihat besarnya kasih Tuhan. Kehidupan kita sebagai anak-anak Tuhan hari ini tidak jauh berbeda. Setiap hari kita dihadapkan pada pilihan-pilihan:  Apakah kita akan mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan kita, atau kita akan mengarahkan kasih kita kepada hal-hal lain yang lebih menarik di mata dunia?  Kerap kali, tanpa kita sadari, kita memilih yang kedua. Kesibukan, ambisi pribadi, kenikmatan sementara, semua itu menjadi tuhan-tuhan kecil yang mencuri tempat Tuhan di hati kita. Namun di balik itu semua, Tuhan tetap memberikan kita kebebasan. Dia tidak menghapus pilihan kita untuk mencintai atau menolak-Nya. Bayangkan seorang ayah yang memberikan kunci mobil kepada anaknya yang baru belajar mengemudi. Sang ayah tahu risiko yang ada, namun dia juga ingin memercayai dan memberi kesempatan kepada anaknya untuk bertumbuh. Dalam cinta yang sejati, ada risiko. Risiko bahwa kita akan salah memilih. Risiko bahwa kita mungkin berpaling.  Namun, kasih sejati juga memberi ruang untuk bertobat, kembali, dan mengasihi dengan tulus. Tuhan memilih untuk mencintai kita dengan cara yang sama, membiarkan kita bebas memilih, meski ada risiko kita jatuh, bahkan ketika kita sering kali salah arah. Saudaraku, Firman Tuhan dalam Ulangan 6:5 dengan jelas mengajarkan kita tentang jenis kasih yang Tuhan inginkan: kasih yang total, yang tidak terbagi-bagi. “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu.” Ini bukan hanya panggilan untuk kasih emosional semata, tetapi kasih yang melibatkan segenap keberadaan diri kita: Pikiran, perasaan, kehendak, dan tindakan.  Mengasihi Tuhan berarti mengutamakan-Nya dalam segala hal, menempatkan Dia di pusat hidup kita, meskipun ada banyak hal lain yang menarik hati kita. Namun, bagaimana kita bisa mengasihi Tuhan dengan tulus di tengah dunia yang penuh dengan pilihan? Jawabannya terletak pada pengenalan akan kasih Tuhan yang lebih dahulu mengasihi kita.  Kita mengasihi Tuhan bukan karena kita dipaksa, tetapi karena kita sadar betapa besarnya kasih yang telah Dia curahkan kepada kita. Ketika kita merenungkan pengorbanan Kristus di kayu salib, kita melihat kasih yang tak bertepi. Tuhan tidak sekadar mengasihi kita dalam kata-kata, tetapi dalam tindakan konkret yang membawa keselamatan. Kasih itu harus menjadi sumber kekuatan kita untuk membalas cinta-Nya dengan ketulusan. Apa yang harus kita bangun dalam diri kita sebagai anak-anak Tuhan? Pertama, kesadaran akan kebebasan kita untuk memilih. Kita harus memahami bahwa setiap hari kita memiliki pilihan untuk mengasihi Tuhan atau mengejar hal-hal lain.  Kedua, keinginan yang tulus untuk mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati. Kasih kepada Tuhan bukanlah kewajiban yang berat, tetapi respons alami dari hati yang telah mengalami cinta-Nya. Ketiga, komitmen untuk menjaga kasih itu tetap hidup, bahkan ketika godaan datang untuk menarik kita jauh dari-Nya. Saudaraku, ketika kita memilih untuk mengasihi Tuhan dengan tulus, kita tidak hanya memilih kebahagiaan kekal, tetapi juga kehidupan yang penuh makna. Dalam kasih kepada Tuhan, kita menemukan siapa diri kita yang sebenarnya.  Dunia mungkin menawarkan begitu banyak pilihan yang terlihat menarik, tetapi pada akhirnya, hanya kasih Tuhan yang tak bertepi itu yang memuaskan hati kita. Apakah kamu memilih untuk mengasihi-Nya hari ini? Tuhan tidak akan memaksa, tetapi Dia SELALU MENUNGGU. (EBWR).