Blessed Those who are Forgiven

MAZMUR 32. Sahabat, Mazmur 32 dibuka dengan pernyataan bahwa orang yang berbahagia  adalah orang yang diampuni pelanggarannya dan dosanya ditutupi (Ayat 1). Dalam Mazmur 32 kita dapat melihat perbedaan yang kontras antara orang yang hidup dalam dosa dan orang yang diampuni Tuhan dosanya. Kita mendapat pengajaran yang berharga melalui pengalaman hidup Daud ketika dia melakukan dosa dan ketika Tuhan mengampuni dosanya. Dosa itu akan membuat kita lemah dan lelah, dosa itu adalah beban yang berat dan seperti terik panas yang mengeringkan sampai ke tulang-tulang. Tuhan Yesus mengatakan bahwa dosa itu adalah penyakit mematikan yang segera harus disembuhkan sebagaimana yang dikatakan-Nya,  “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit” (Matius 9: 12).  Dosa adalah penyakit yang mematikan yang segera harus ditangani dan penawarnya hanya satu yaitu Tuhan Yesus. Mukjizat terbesar yang pernah dilakukan oleh Tuhan Yesus bagi kita manusia adalah pengampunan dosa. Namun yang terpenting adalah orang yang diampuni dosanya mau untuk diajar dan dituntun kepada jalan yang benar (Ayat 8).  Syukur kepada Tuhan, hari ini kita dapat melanjutkan belajar dari kitab Mazmur dengan tooik: “Blessed Those who are Forgiven (Berbahagialah Mereka yang Diampuni). Bacaan Sabda diambil dari Mazmur 32:1-11. Sahabat, kita sadar, dalam kehidupan ini salah satu problem yang harus kita selesaikan di hadapan Tuhan adalah persoalan rasa bersalah.  Manusia bisa berusaha menekan perasaan bersalah ini dan mengalihkannya pada hal-hal yang lain, atau melakukan semacam kompensasi melalui moralitas, melalui agama, ataupun kebudayaan. Tetapi, apa pun yang dilakukan manusia, kecuali dia kembali kepada Tuhan, sebetulnya tidak ada kebahagiaan yang sejati, tidak ada jalan keluar yang sesungguhnya dari rasa bersalah. Itu sebabnya Saudara membaca di ayat pertama dikatakan: “Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi!” Sahabat,  lihat di sini, berapa jauhnya yang disebut “berbahagia” oleh Tuhan dibandingkan dengan kebahagiaan yang ada di dalam dunia. Di dalam dunia ini, mereka punya konsep kebahagiaannya sendiri; tetapi Sahabaat perhatikan, perasaan bersalah ini kalau tidak diselesaikan, tidak mungkin manusia mendapatkan kebahagiaan yang sejati.  Orang seringkali berpikir bahwa pengakuan dosa itu sesuatu yang hiper-religius, semacam penyakit, atau seolah-olah sesuatu yang terlalu radikal secara keagamaan. Tetapi kalau kita membaca dalam bacaan kita pada hari ini, sebetulnya Tuhan memberikan suatu jalan yang bukan hanya benar secara teologis namun juga manusiawi, ada aspek kemanusiaannya, bahwa manusia boleh mengaku dosanya di hadapan Tuhan.  Justru manusia boleh mengaku dosanya di hadapan Tuhan ini sesuatu yang manusiawi, sedangkan yang tidak manusiawi adalah ketika manusia sudah bersalah tapi tidak ada tempat atau pribadi untuk dia mengaku dosanya. Mengapa? Karena manusia akan terus dihantui perasaan bersalah tanpa ada jalan keluar. Bahkan di dalam ayat 3, dikatakan tentang pengalaman Pemazmur yang awalnya dia berdiam diri, tidak mau mengaku dosa, dan di dalam saat  seperti itu  tulang-tulangnya menjadi lesu, dia mengeluh sepanjang hari, tangan Tuhan menekan dia dengan berat. Meskipun demikian, Mazmur 32 juga mengatakan bahwa pengakuan dosa ini mesti dilakukan dengan kejujuran, dengan integritas. Kita tidak boleh menganggap sepi anugerah atau belas kasihan Tuhan. Kita tidak dipanggil untuk mempermainkan kesabaran atau anugerah Tuhan. Itu sebabnya Sahaba baca di ayat 2 dikatakan: “Berbahagialah manusia, yang kesalahannya tidak diperhitungkan TUHAN, dan yang tidak berjiwa penipu!” Apa maksudnya “tidak berjiwa penipu”? Yaitu jangan berpura-pura seperti kelihatan menyesal padahal tidak menyesal, jangan berpura-pura seperti mengaku dosa tapi sebetulnya tidak ada pertobatan.  Ada kaitan antara mazmur pengakuan dosa (penitential psalm) pasal 32 ini dengan penitential yang lain yang mungkin paling terkenal, yaitu Mazmur 51. Kalau Sahabat membaca Mazmur 51, dikatakan di ayat 19: “Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk … .” Sahabat lihat di ayat ini, pengakuan dosa jelas bukan sesuatu yang murahan, bukan suatu praktik yang easy going, yah, pastilah diampuni Tuhan,  melainkan ada pertobatan yang sejati. Berbahagialah mereka yang diampuni dosanya oleh Tuhan; di sini kebahagiaannya bukan berhenti pada diampuni dosanya saja, tetapi di sini disebut berbahagia karena hanya orang yang diampuni dosanyalah yang bisa hidupnya masuk ke dalam kekudusan yang disediakan oleh Tuhan.  Kita berbahagia karena kita tidak harus dan tidak lagi menjadi hamba dosa, sebaliknya kita boleh menjadi hamba kebenaran. Ini adalah kebahagiaan orang-orang yang percaya kepada Tuhan, percaya kepada Kristus. Kita tidak harus menyelesaikan dengan kekuatan kita sendiri perasaan bersalah itu, apalagi tangan Tuhan yang menekan. Kita datang kepada Tuhan di dalam pertobatan yang sejati, dan Tuhan yang setia dan adil itu mengampuni Sahabat dan saya. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah. Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami dari ayat 11? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Jangan pernah menyesali kejujuran yang Sahabat lakukan, karena nilainya begitu tingggi di hadapan Allah. (pg).

Elia dan Overthinking: Belajar Percaya di Tengah Ketakutan

Saudaraku, renungan kali ini saya tulis berdasarkan 1 Raja-Raja 19:4 dan 12. Dalam dunia yang serba cepat ini, kita sering kali tenggelam dalam overthinking, terus memikirkan masalah hingga semuanya terasa lebih besar dari yang sebenarnya. Kita terjebak dalam kekhawatiran dan skenario terburuk yang belum tentu terjadi. Padahal, semakin kita memikirkannya, semakin kita kehilangan ketenangan. Bagaimana jika kita, seperti Elia, bisa belajar untuk berhenti sejenak dan memercayai Tuhan di tengah semua kebingungan? Elia, seorang nabi yang penuh kuasa, baru saja menyaksikan kemenangan besar di Gunung Karmel, ketika Tuhan membuktikan diri-Nya lebih besar dari Baal. Namun, tak lama setelah itu, ancaman Izebel membuatnya lari ketakutan. Di tengah ketakutannya, Elia duduk di bawah pohon arar dan meminta Tuhan untuk mengakhiri hidupnya. “Cukuplah itu, ya Tuhan, ambillah nyawaku”, katanya dalam keputusasaan (1 Raja-Raja 19:4). Elia yang berani ini, tiba-tiba terjebak dalam overthinking, merasa kalah dan tidak berguna, meskipun baru saja meraih kemenangan besar. Sering kali, kita pun terjebak dalam pola yang sama. Kita merasa takut dan tidak berharga ketika dihadapkan pada masalah yang tampak besar. Pikiran kita dipenuhi kecemasan, dan kita lupa bahwa Tuhan yang menyertai kita kemarin masih ada bersama kita hari ini. Seperti Elia, kita sering melupakan siapa yang berdaulat di tengah badai kita. Ketakutan dan overthinking membuat kita buta terhadap kuasa Tuhan. Namun, Tuhan tidak meninggalkan Elia dalam keadaan putus asa. Dia tidak muncul dalam gemuruh angin, gempa, atau api, melainkan dalam suara angin sepoi-sepoi (1 Raja-Raja 19:12). Tuhan mengingatkan Elia, dan juga kita, bahwa Dia hadir dalam keheningan, bukan dalam kebisingan. Di tengah kekacauan pikiran dan kecemasan, Tuhan berbicara dengan lembut, memberi kita ketenangan. Pelajaran ini sangat relevan bagi kita hari ini. Kita hidup dalam dunia yang bising, di mana segala sesuatu bergerak cepat dan sering kali membuat kita terjebak dalam overthinking. Namun, Tuhan memanggil kita untuk berhenti sejenak, tenang, dan mendengarkan suara-Nya. Dia mengajarkan kita bahwa kepercayaan kepada-Nya tidak memerlukan kepanikan atau usaha berlebihan, melainkan keyakinan bahwa Dia bekerja dalam cara yang mungkin tidak selalu terlihat. Jadi, bagaimana kita mengatasi overthinking dalam hidup sehari-hari? Pertama, KITA HARUS MENGALIHKAN FOKUS KITA,  dari masalah yang tampak besar ke Tuhan yang lebih besar. Ketika pikiran kita dipenuhi dengan kecemasan, kita harus memilih untuk menyerahkan kekhawatiran kita kepada Tuhan. Elia merasa sendirian, tapi Tuhan memberitahunya bahwa masih ada ribuan orang yang setia. Ini mengingatkan kita bahwa meskipun kita merasa terisolasi dalam masalah kita, Tuhan selalu memiliki rencana, dan kita tidak pernah benar-benar sendirian. Kedua, KITA HARUS MENDENGARKAN TUHAN DALAM KETENANGAN. Dalam dunia yang sibuk, kita cenderung mencari jawaban dalam kebisingan, lebih banyak kerja, lebih banyak analisis, lebih banyak usaha. Namun, Tuhan mengundang kita untuk berhenti dan mendengarkan. Dalam momen tenang itu, kita dapat merasakan kehadiran-Nya yang memberi damai. Overthinking hanya akan membawa kita lebih jauh dari Tuhan, tetapi kepercayaan pada-Nya membawa kita mendekat pada ketenangan sejati. Ketiga, KITA HARUS PERCAYA PADA RENCANA TUHAN,  bahkan ketika kita tidak mengerti semua detailnya. Elia merasa segalanya sudah berakhir, tapi Tuhan masih memiliki rencana besar untuknya. Begitu juga dengan kita. Ketika kita merasa tidak ada jalan keluar, Tuhan sedang bekerja dalam keheningan. Dia memanggil kita untuk percaya, untuk melepaskan kendali, dan membiarkan Dia memimpin. Kisah Elia mengajarkan bahwa overthinking adalah lawan dari iman. Ketika kita terus memikirkan semua yang bisa salah, kita lupa bahwa Tuhan yang berkuasa. Namun, ketika kita menyerahkan kekhawatiran kita kepada Tuhan dan memilih untuk percaya, kita menemukan ketenangan. Seperti Elia, kita dipanggil untuk berhenti sejenak dan mendengarkan suara Tuhan yang lembut di tengah kekacauan pikiran. Percaya kepada Tuhan tidak berarti kita memahami segala sesuatu; itu berarti kita berserah, bahkan ketika jalan di depan kita tampak gelap. Tuhan tidak hanya bekerja dalam hal-hal besar, tetapi juga dalam momen-momen kecil yang penuh kedamaian. Di tengah badai pikiran kita, Dia memanggil kita untuk percaya, berhenti overthinking, dan menemukan damai dalam hadirat-Nya. (EBWR).