Yang Terbatas di Tangan Yang Tak Terbatas:Belajar dari Kisah Gideon

Pernahkah Saudara merasa seperti pensil tua yang hampir habis? Terkadang, hidup bisa membuat kita merasa terbatas, terbatas oleh kemampuan, keadaan, atau bahkan oleh pandangan orang lain terhadap kita.  Ada sebuah pelajaran luar biasa yang bisa kita ambil dari sebuah pensil biasa. Pensil, meski tampak sederhana, bisa menjadi alat untuk menciptakan karya seni yang luar biasa jika berada di tangan seorang maestro. Demikian juga dengan hidup kita, ketika kita menyerahkannya ke tangan Tuhan yang tak terbatas, hidup kita yang tampak terbatas bisa berubah menjadi luar biasa. Kisah Gideon dalam Alkitab adalah salah satu contoh terbaik tentang bagaimana Tuhan mengubah yang terbatas menjadi alat yang luar biasa. Gideon adalah seorang yang sangat biasa, mungkin lebih dari biasa, dia merasa dirinya paling kecil dan paling lemah di antara bangsanya.  Dalam Hakim-Hakim 6:15, dia mengungkapkan keraguannya kepada Tuhan, “Ah Tuhanku, dengan apakah akan kuselamatkan orang Israel? Ketahuilah, kaumku adalah yang paling kecil di antara suku Manasye dan aku pun seorang yang paling muda di antara kaum keluargaku.”  Gideon melihat dirinya seperti pensil yang tumpul dan pendek, tidak berguna untuk menulis cerita yang hebat. Namun, justru di saat itulah Tuhan datang dan memanggilnya untuk melakukan sesuatu yang besar. Saudaraku, mari kita ambil ilustrasi sederhana: Bayangkan sebuah pensil kecil yang hampir habis dan sudah tumpul. Pensil itu sendiri mungkin merasa tidak berguna lagi, namun ketika seorang seniman hebat mengambilnya, dia bisa mengubah lembaran kertas putih menjadi karya seni yang mengagumkan.  Demikian juga dengan Gideon. Ketika Tuhan memegang hidupnya, Tuhan mengubahnya menjadi seorang pemimpin besar yang menyelamatkan bangsa Israel. Hal ini menunjukkan bahwa keterbatasan kita bukanlah penghalang bagi Tuhan untuk melakukan karya besar melalui hidup kita. Rasul Paulus juga pernah mengalami hal yang sama. Dalam 2 Korintus 12:9, Paulus menulis, “Tetapi jawab Tuhan kepadaku: ‘Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.’”  Di sini, kita diajak untuk menyadari bahwa dalam kelemahan kita, kuasa Tuhan bisa bekerja dengan cara yang jauh melampaui pemahaman kita. Seperti pensil yang tampak lemah, namun di tangan Tuhan, kita bisa menjadi alat yang menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Ketika Tuhan memanggil Gideon, Dia tidak melihatnya sebagai orang yang lemah atau terbatas. Tuhan melihat potensi yang besar di dalam diri Gideon, potensi yang hanya bisa terwujud jika Gideon bersedia menyerahkan dirinya sepenuhnya ke dalam tangan Tuhan. Tuhan berkata kepada Gideon, “Pergilah dengan kekuatanmu ini dan selamatkanlah orang Israel dari cengkeraman orang Midian. Bukankah Aku mengutus engkau?” (Hakim-Hakim 6:14).  Ini adalah momen penting di mana Tuhan mulai menulis cerita baru dalam hidup Gideon. Sama seperti seorang seniman yang mulai menggambar, Tuhan mulai menggoreskan rencana-Nya melalui hidup Gideon. Hal yang sama berlaku bagi kita. Mungkin kita merasa hidup kita biasa saja, atau bahkan tidak berarti. Namun, dalam Yeremia 29:11, Tuhan berkata, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”  Saudaraku, Tuhan memiliki rencana yang indah untuk setiap dari kita, meskipun kita merasa terbatas atau tidak cukup baik. Seperti pensil di tangan seorang seniman, hidup kita ada dalam rancangan Tuhan yang sempurna. Puncak dari kisah Gideon adalah ketika dia memimpin pasukan yang sangat kecil, hanya 300 orang, melawan ribuan tentara Midian. Secara manusiawi, ini adalah misi bunuh diri, sebuah pertempuran yang tidak mungkin dimenangkan. Namun, Tuhan tidak membutuhkan banyak orang atau kekuatan yang besar. Dia hanya membutuhkan hati yang taat dan bersedia dipakai.  Sama seperti pensil yang mungkin tidak menyadari bahwa dia sedang digunakan untuk menciptakan sebuah mahakarya, Gideon juga mungkin tidak menyadari bahwa Tuhan sedang melakukan sesuatu yang besar melalui dirinya. Dalam 1 Korintus 1:27, tertulis, “Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat.” Tuhan sering kali memilih yang lemah dan terbatas untuk menunjukkan betapa besar kuasa-Nya. Gideon, yang merasa dirinya tidak layak, akhirnya menjadi alat yang luar biasa di tangan Tuhan. Kesimpulannya, mungkin saat ini Saudara merasa seperti hidupmu adalah pensil kecil yang tumpul dan hampir habis. Tapi ingatlah, di tangan Tuhan, Sang Maestro, hidupmu bisa menjadi alat yang luar biasa untuk karya-Nya. Tuhan bisa memakai setiap kita, seperti Dia memakai Gideon, untuk melakukan hal-hal besar. Jangan pernah meremehkan dirimu sendiri, karena di tangan Tuhan, keterbatasanmu bisa menjadi kekuatan yang memuliakan nama-Nya. Marilah kita serahkan hidup kita kepada Tuhan, seperti pensil yang diserahkan kepada seorang seniman. Biarkan Dia yang menggambar dan menulis cerita hidup kita. Tidak peduli seberapa terbatasnya kita, di tangan Tuhan yang tak terbatas, kita bisa menjadi berkat dan menciptakan sesuatu yang indah dan bermakna. Percayalah, Tuhan punya RENCANA BESAR BAGI HIDUPMU! (EBWR).

LEMAH SAAT MARAH

Saudaraku, titik terlemah manusia bukan pada kemiskinan atau ketimpangan melainkan saat ego yang terusik dan memicu kemarahan tak terkendali.  Sejarah mencatat banyaknya kematian diakibatkan hal ini.  Mari ikuti salah satu kisahnya dengan merenungkan dari Yohanes 19:1-16. Pilatus memang licik. Ia sengaja mengulang kata yang membuat para imam Bait Suci alergi terhadap Yesus untuk membuat mereka makin marah dan brutal.  Kata itu adalah “raja Yahudi”.  Pilatus dengan jitu memanfaatkan orang-orang yang marah itu dan hingga pada akhirnya terlontar kalimat yang haram diucapkan oleh orang yahudi biasa sekalipun yaitu Kami tak punya raja selain Kaisar (Yohanes 19:15).   Kalimat tersebut janggal mengingat kolotnya pemikiran pemimpin agama Yahudi yang haram untuk tunduk di bawah Kaisar Romawi dan bahkan rela mati dibandingkan tunduk kepadanya.  Tapi Pilatus berhasil menggoyangkan prinsip dan akal sehat mereka sehingga mereka bahkan mengatakan hal yang diharamkan oleh mereka sendiri, membelakangi prinsip suci mereka untuk hanya tunduk kepada Tuhan dan bahkan mengkhianati Taurat.  Wow … betapa lemahnya orang yang sudah dibakar kebencian dan kemarahan, saat egonya diobarak abrik oleh orang lain sehingga ia bahkan tak mampu berpikir logis dan benar.  Penulis Amsal mengingatkan bahwa orang yang tak dapat menahan diri bagaikan kota yang runtuh temboknya (Amsal 25:28).  Ego yang terhina menimbulkan kemarahan, menggerogoti penguasaan diri dan pada akhirnya membobol benteng kewarasan sehingga mereka menjadi lemah untuk dimanfaatkan.  Kemarahan selalu membawa kelemahan. Berhati-hatilah dengan usikan ego yang menimbulkan kemarahan yang meledak karena saat itulah manusia berada di titik terlemahnya karena ada banyak prinsip ditanggalkan, dijual dan dikhianati olehnya.  Para imam Yahudi yang terkenal kuat menjaga prinsip dan independensi, terbukti telah masuk dalam jebakan Pilatus dan mengakui Kaisar sebagai raja.  Daripada mengakui anak tukang kayu sebagai raja, lebih baik dikuasai kaisar.  Mungkin itu cara berpikirnya.   Betapa berbahayanya kebencian dan betapa dahsyatnya daya lebur kemarahan sekaligus menunjukkan betapa lemahnya manusia yang marah sehingga ia kehilangan kekuatannya sendiri. Oleh karena itu nasihat Rasul Paulus yang mengatakan saat kemarahan menguasai, jangan sampai pada akhirnya berbuat dosa (Efesus 4:26) menunjukkan betapa lebarnya jalan kepada pelanggaran dan lemahnya manusia saat logikanya dirampas dan dikuasai oleh api amarah.   Saudaraku, logika dan prinsip menguatkan dan menyeimbangkan manusia namun KEMARAHAN  bisa MENGHABISINYA  dalam SEKEJAB, bahkan ia bisa mengambil Langkah yang ditolaknya sendiri dalam kondisi biasa. Hidup bukanlah mudah, marah adalah hal yang biasa ditemui sebagai respons ketidak puasan manusia.  Namun berhati-hatilah Ketika memutuskan untuk marah dan meletupkan kebencian karena saat itu adalah saat genting hilangnya logika dan terbukanya kesempatan untuk berdosa dan bahkan dikendalikan orang lain.   Saudaraku, tetaplah mohon Roh Kudus memimpin sehingga mampu MENJAGA LOGIKA KETIKA MARAH MELANDA.   Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)