GAJAH TIDAK KELIHATAN

Saudaraku, kemarin aku menghadiri pameran lukisan yang diselenggarakan oleh seorang pelukis, ternyata pelukis ini gemar melukis gambar gajah, dalam berbagai model, warna dan ukuran. Aku tanya dia kenapa, dan dia fasih sekali menjelaskan sifat-sifat gajah yang suka berkelompok, yang terutama solidaritas gajah dalam kelompoknya yang sangat tinggi, bahkan gajah akan menunggui rekannya yang dalam kondisi sakit atau menjelang ajal. Oh begitu ya. Nah ini sepulang dari pameran aku berpikir mengapa gambar gajah jarang atau mungkin tidak pernah ditampilkan di lukisan-lukisan China. Memang negeri China bukan habitat binatang gajah, tapi gajah banyak di India dan Siam atau Burma, bahkan dijadikan kendaraan tempur oleh raja-raja. Juga yang paling terkenal yakni Jenderal Hannibal dari Kartago (247-181 SM) yang memiliki pasukan gajah perang melawan Kerajaan Roma. Gajah dalam bahasa mandarin ditulis 大象 dà xiàng, dan ketika saya cari-cari lagi di pepatah China ternyata di Daodejing ada disebutkan 大象无形 dà xiàng wúxíng, daxiang artinya gajah, sedangkan wuxing artinya di google translate sebagai tidak terlihat, formless, jadi daxiang wuxing secara harafiahnya berarti gajah yang tidak kelihatan atau tidak terlihat. Lho, gajah, binatang yang besar, tapi kok tidak kelihatan?  Nah ternyata artinya lebih lanjut yakni menunjukkan suatu aset atau harta yang tidak berwujud, seperti ilmu pengetahuan, hak paten, kebijaksanaan, tutur kata yang halus, semuanya itu nampak ada, memberikan pengaruh dan ada harganya, tapi wujudnya tidak bisa dipegang, hanya bisa dirasa. Menarik ya. Di Alkitab memang tidak ada kata gajah, karena memang di negeri Israel sana tidak ada binatang gajah, jadi memang tidak disebutkan adanya gajah, hanya di gambar-gambar bahtera Nuh selalu disertakan gambar gajah sepasang yang berbaris masuk ke bahtera. Tapi tentang gajah tidak kelihatan sebenarnya secara tidak langsung disebutkan di Alkitab. Tuhan Yesus berkata kepada Nikodemus, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh, adalah roh. Janganlah engkau heran, karena Aku berkata kepadamu: Kamu harus dilahirkan kembali. Angin bertiup ke mana ia mau, dan engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu dari mana ia datang atau ke mana ia pergi. Demikianlah halnya dengan tiap-tiap orang yang lahir dari Roh.” (Yohanes 3: 5-8)  Jadi ada pekerjaan besar yang dilakukan oleh Roh Kudus, memberikan kelahiran baru bagi orang yang percaya, namun proses yang dilakukan oleh Roh Kudus itu bagaikan angin, tidak kelihatan, tapi hasilnya ada, nampak, dan orang yang dilahirkan kembali akan berubah perilaku kehidupannya. Memang di beberapa bagian Alkitab ada disebutkan tentang penampakan Roh Kudus. Yohanes Pembaptis mengatakan: “Aku telah melihat Roh turun dari langit seperti merpati, dan Ia tinggal di atas-Nya.” (Yohanes 1:32). Di Kisah Para Rasul 2: 2-3: “Tiba-tiba turunlah dari langit suatu bunyi seperti tiupan angin keras yang memenuhi seluruh rumah, di mana mereka duduk; dan tampaklah kepada mereka lidah-lidah seperti nyala api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing.”  Saudaraku, akhirnya Roh Kudus dalam gambar-gambar Kristiani dilukiskan sebagai burung merpati atau lidah-lidah api. Namun itu semua hanya gambar, tapi wujud aslinya tidak nampak. Kuasa Roh Kudus yang Maha Besar, bisa mengubah segalanya, terutama mengubah perilaku manusia yang cenderung berdosa menjadi manusia baru yang melakukan kehendak-kehendak Tuhan. Roh Kudus benar ada, tapi tidak nampak. Penjara disebut sebagai lembaga pemasyarakatan (lapas) karena dimaksudkan untuk membantu memperbaiki perilaku seseorang sehingga tidak lagi melakukan kejahatan, tapi kita sering membaca berita eks napi yang kembali melakukan tindakan kriminal justru belajarnya dari penjara. Jadi adanya rumah penjara belum tentu bisa mengubah perilaku seseorang, tapi saat orang itu mau bertobat dan membuka diri kepada Tuhan, turunlah Roh Kudus bagaikan angin ke dalam hatinya, mengubah kehidupannya. Banyak promosi tentang turunnya Roh Kudus, yang sering digambarkan sebagai penumpangan tangan, orang yang mendadak rebah atau bahkan menari-nari, atau juga sebagai bahasa lidah yang disebut-sebut sebagai bahasa roh. Semuanya itu yang kelihatan, dalam berbagai bentuk dan cara, tapi saat-saat turunnya Roh Kudus yang Maha Besar itu tidak kelihatan. Ya bagaikan gajah yang tidak kelihatan.  Coba simak 2 Korintus 5:17: “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” Saudaraku, kapan yang lama berlalu, dan kapan yang baru datang, tidak ada yang tahu, tidak bisa dinantikan dalam sekejap, karena ini hanya dimungkinkan karena pekerjaan Roh Kudus. Mau bertobat, menyerahkan diri kepada Tuhan, membuka hati, dan Roh Kudus yang Maha Besar datang, tapi tidak terlihat, namun memberikan perubahan dari MANUSIA LAMA  menjadi MANUSIA BARU  yang memiliki PERILAKU YANG YANG BARU. (Surhert).

DEWA UANG

Hari Minggu kemarin saya dan istri makan siang di sebuah restoran di bilangan PIK, ruang resto tidak begitu besar, jadi meja makan antar pengunjung relatif dekat hanya muat untuk satu orang jalan. Di sebelah saya duduk satu keluarga, suami istri dan dua anaknya yang nampak remaja, sepanjang makan sepertinya makan namun tidak menikmati atau gimana, pokoknya sambil main handphone. Yang dua anak pakai Iphone, papanya pakai S dan mamahnya pakai Flip. Begitulah, satu keluarga santap bersama, tidak saling menegur, matanya hanya ke handphone. Pada waktu aku ke kasir untuk membayar, ternyata Si Ibu di meja sebelah menanya ke istriku dalam bahasa Mandarin, “Asalmu dari mana?” Mungkin melihat tampilan istriku yang biasa-biasa dan kami saat santap sama sekali tidak menatap handphone, mungkin dianggap tidak punya handphone atau gaptek atau aneh. Istriku menjawab, dari Jawa Tengah, juga dalam bahasa Mandarin. Eh Si Ibu yang bertanya malahan nyeletuk, juga pakai bahasanya: “Eh kamu datang jauh-jauh ke Jakarta bawa uang banyak ndak?”  Istriku hanya tersenyum lalu berdiri keluar resto, kebetulan chef resto ada di pintu keluar, asli dari daratan, aku dan istri ajak ngomong sebentar kalau masakannya enak, pakai Mandarin. Keluarga yang nanya-nanya tadi melihat saja, mungkin mikir ini dua orang yang tidak bawa duit banyak ke Jakarta ternyata bisa juga bahasa Mandarin ya.  Yah itulah secuplik kehidupan di sebuah penggalan kota Jakarta yang keras, yang katanya lebih kejam dari ibu tiri. Ada kelompok orang yang memandang kita dari tampilan, dari handphone yang dibawa, dari baju yang dipakai, dari mobil yang dikendarai, dan apakah mampu berbahasa seperti bahasa asal kampungnya, yang terutama, jauh-jauh datang ke Jakarta bawa uang banyak ndak? Semoga gaya hidup semacam ini tidak menular ke gereja kita, maunya melihat siapa yang datang, tampilannya gimana, dan kalau duitnya banyak dan sering menyumbang, pasti didekati banyak pengurus dan rohaniwan, ditarik-tarik menjadi aktivis dan panitia. Latar utamanya, ya banyak duit. Minggu pagi kemarin di gereja pak Pendeta dari gereja lain yang khotbah bilang ada kesaksian satu orang jemaatnya yang dulu-dulunya hampir 20 tahun kerja di nightclub, keuangannya melimpah, hingga suatu hari di KKR di gereja mendapat teguran Roh Kudus atas pekerjaannya.  Dia mundur dari nightclub, lalu coba melamar ke berbagai kantor dan instansi, tidak ada yang mau menerima, keuangannya menipis, hingga akhirnya jualan roti-roti dan krupuk di foodcourt. Hingga suatu hari ketemu dengan mantan pelanggannya di nightclub, yang menawarkan adanya pekerjaan di nightclub yang baru dibukanya, gajinya lebih tinggi.  Tapi orang ini menolak, dan berani menyaksikan bagaimana kasih Tuhan meskipun kekurangan uang, tapi dia bisa lebih akrab dengan anak istri, tidak seperti dulunya setiap sore hingga pagi malahan berangkat kerja di nightclub dan tidak pernah ketemu keluarga. Memang di kehidupan sehari lebih banyak orang yang memandang kita dari seberapa banyak uang yang kita miliki, seberapa sukses posisi kita di masyarakat, bukan seberapa dekatnya iman dan kepercayaan kita kepada Tuhan. Nampaknya kepemilikan tentang uang menjadi tolok ukur dalam kehidupan, jadi uang menjadi dewa atau raja kehidupan. Tuhan Yesus sendiri pernah mengatakan, “Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” (Lukas 16:13) Saudaraku, Tuhan Yesus tidak mengatakan: kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Iblis – atau menjadi pengadi setan, seperti di film tempo hari. Jadi yang menjadi persaingan sebagai penguasa agung yang mesti disembah saat ini yakni antara Tuhan melawan Mamon sebagai pesaingnya. Mamon ini dewa baru, tidak ada di zaman Perjanjian Lama, juga di kitab Wahyu tidak disebut lagi Si Mamon ini. Namun di Perjanjian Baru, Mamon atau μαμμωνᾷ (bahasa Yunani) dibaca mammoná artinya kekayaan, umumnya dianggap berarti uang, kekayaan materi, atau entitas apa pun yang menjanjikan kekayaan, dan dikaitkan dengan keserakahan dalam mengejar keuntungan. Karena banyak ajaran Kristen yang mengajarkan bahwa Tuhan itu sumber berkat, sumber kekayaan, persembahanmu itu bagaikan kamu  menabur di padang dan kelak akan menuai 30 kali lipat, bahkan bisa 100 kali lipat, maka dekat dengan Tuhan berarti dekat dengan sumber dan janji kekayaan. Inilah, Tuhan bukan lagi sebagai sumber keselamatan tapi sudah menjadi sumber berkat, terutama uang, bahkan menjadi dewa uang. Jadi saingan Tuhan hari ini bukanlah Si Iblis, tidak ada orang yang mau mengejar dan mengikut Iblis, kecuali di film-film horor, tapi semakin banyak orang yang dengan sukarela mau menjadi pengikut Mamon yang menjanjikan kekayaan materi, mau mengorbankan waktu, keluarga, bahkan kesehatannya dan dirinya, demi mendapatkan Mamon yang lebih banyak. Saudaraku, coba jawab dengan jujur: “Kita masing-masing ada di pihak yang mana? Tuhan atau Mamon?” (Surhert)

KEMURAHAN HATI

Saudaraku, mari kita membaca dan merefleksikan Mazmur 41:2-4: “Berbahagialah orang yang memperhatikan orang lemah! TUHAN akan meluputkan dia pada waktu celaka. TUHAN akan melindungi dia dan memelihara nyawanya, sehingga ia disebut berbahagia di bumi; Engkau takkan membiarkan dia dipermainkan musuhnya! TUHAN membantu dia di ranjangnya waktu sakit; di tempat tidurnya Kaupulihkannya sama sekali dari sakitnya.” Sebuah percakapan singkat siang kemarin saat kami menunggu obat di rumah sakit: Kensa (K) : Ma, buku Kensa’s Adventure masih ada 4 pax ya stok nya.. Saya (S) : Iya Dik, tinggal sedikit. Sebentar lagi semua buku mungkin akan habis K : Ok, aku mau beli juga ya. S : Oh ya? Kenapa? K : Ya supaya stoknya berkurang lagi. Aku mau ikut menyumbang. Nanti aku bayar dua ratus ribu. S : Kamu punya uangnya? K : Iya, nanti aku pakai uang yang ada di celenganku.  Lalu mendadak lidahku terasa kelu. Aku tidak tahu harus berkata atau memberi komentar apa pun. Buku Kensa’s Adventure itu kutulis dan kuterbitkan karena dia. Buku yang berisi tentang perjalanan imanku sepanjang mendampingi Kensa melawan kanker Limfoma Hodgkin. Jadi tanpa membeli pun, sesungguhnya secara otomatis dia berhak untuk memiliki buku itu. Tapi siang itu dia memilih untuk ingin membelinya. Karena dia ingin ikut berpartisipasi di program persembahan kasih bagi penderita kanker dan penyakit kritis lainnya. Ya, ketika cita – cita untuk menerbitkan buku ini terwujud, aku memang merancangkan bahwa hasil donasi yang kuterima dari teman-teman yang ingin memiliki buku Kensa’s Adventure adalah untuk program persembahan kasih. Mungkin yang kubantu bukan nominal angka yang besar. Tapi aku percaya itu akan sedikit meringankan dan berguna.   Siang itu tanpa prolog apa pun Kensa menyatakan ingin memiliki buku itu dengan memberikan uang celengannya. Uang celengan Kensa adalah uang yang dikumpulkannya dari sisa uang saku sekolah, atau pemberian dari nenek atau kerabat. Uang yang dikumpulkannya sedikit demi sedikit. Ternyata dia dengan sangat tulus akan menyerahkannya kepadaku. Melihat matanya yang tulus dan terlihat sangat bening siang itu, tanpa sadar mataku mulai berkaca-kaca, hatiku seperti disiram air sejuk yang mengademkan siang yang terik hari itu.  Inilah kasih yang besar. Yang ditunjukkan dan diajarkan anakku melalui pemikirannya yang sangat sederhana untuk menolong sesama. Seringkali, kita yang lebih dewasa, membuat terlalu banyak pertimbangan sebelum menolong orang lain. Menunda-nudanya sampai pada akhirnya menjadi terlambat dan urung menolong Bahkan tidak jarang, kita sangat egois, enggan menolong karena takut bahwa nanti kita akan berkekurangan.  Padahal, seperti yang Tuhan selalu ajarkan, tidak akan pernah berkekurangan orang yang bersedia berbagi dan menolong sesamanya. Ilmu matematika tidak berlaku di dalam Seni Berbagi. Jika menunggu kaya terlebih dahulu baru mau menolong dan berbagi, mungkin selamanya kita tidak akan pernah menolong dan berbagi. Inilah kasih yang besar. Yang tidak menghitung-hitung berapa uang yang dimiliki dan berapa lama dia harus mengumpulkan uang itu. Kensa hanya ingin, salah seorang teman sesama pasien kanker, bisa membeli tiket bus atau kereta untuk menuju ke rumah sakit Kariadi dengan uang persembahan yang diberikannya. Atau supaya teman sesama pasien kanker, bisa membeli susu dan dan kue-kue karakter yang dijual di sebuah toko roti di depan rumah sakit sehingga hati mereka bisa tertawa dan berbahagia. Sesederhana itu.Selamat Bermurah Hati! (Novi Reksanto)