Haleluya! Aku mau bersyukur kepada Tuhan dengan segenap hati. Meme Firman Hari Ini.
GEREJA DOMINE QUO VADIS
Saudaraku, Gereja Domine Quo Vadis terletak di Via Appia Antica Italy, sekitar 800 meter di luar Porta San Sebastiano, dari kota Roma sekitar 15 km ke arah selatan-tengara. Kalau ikut tour ke Itali pasti tidak mengunjungi lokasi ini, padahal ada sejarahnya yang menarik. Nah ini, dari ceritera-ceritera tentang Kaisar Nero dan juga dari Wikipedia. Kaisar Nero Claudius Caesar Germanicus, kaisar Romawi ke-5 dari dinasti Julio-Claudian, naik takhta dari tahun 54-68 Masehi. Kaisar Nero berniat mendirikan sebuah kota Roma yang baru, maka Nero dengan sengaja membakar kota Roma, dan Nero menyaksikan kebakaran kota dengan memainkan kecapinya, saat api berhasil dipadamkan enam hari kemudian, lebih dari 70 persen kota Roma hangus terbakar. Penduduk Roma umumnya percaya bahwa dalang kebakaran adalah Nero, namun Nero menyalahkan umat Kristen yang ada di Roma sebagai penyebab kebakaran, yang saat itu umat digembalakan oleh Rasul Paulus dan Rasul Petrus. Nero memerintahkan untuk menangkap setiap orang Kristen di Roma, dijadikan tawanan, dan menghukum dengan cara yang sangat kejam. Dalam stadion perlombaan, sebagian tawanan ditutupi dengan kulit hewan lalu dilepaskan anjing-anjing pemburu, untuk menggigit dan mencabik-cabik mereka hingga mati. Siksaan lainnya akan diadu dengan para gladiator di arena, atau akan diadu dengan singa, sementara rakyat Roma bisa bersorak-sorai menyaksikan tontonan gladiator hidup mati ini. Yang tidak bisa diadu, para tawanan ini diikat bersama jerami kering untuk dijadikan obor, dan disusun di dalam sebuah taman, dan dibakar pada tengah malam, menjadi hiburan tersendiri bagi Nero. Ceritanya, Rasul Paulus telah ditangkap dan dipenggal kepalanya oleh pasukan Roma. Rasul Petrus sangat ketakutan dan melarikan diri dari kota Roma. Dalam pelariannya hingga di daerah Via Appia Antica, Petrus bertemu dengan Tuhan Yesus, dan Petrus menyapa “Domine quo vadis?” (Tuhan, kemana kamu pergi)? Tuhan Yesus menjawab “Venio Romam iterum crucifigi” (Aku datang ke Roma untuk disalib kembali). Petrus, yang sadar akan teguran itu, menangis, dan memutuskan untuk balik kembali ke Roma meskipun itu untuk mati. Tuhan Yesus pun menghilang, namun saat menghilang, Ia meninggalkan bekas jejak kakinya di jalan. Menurut tradisi yang dicatat oleh sejarawan Hieronimus, Petrus meninggal dengan cara disalibkan terbalik (kepala di bawah, kaki di atas) di Roma setelah menolak disalibkan dengan kepala di atas karena ia merasa tidak layak untuk mati dalam posisi yang sama seperti Yesus disalib. Kemudian hari di tempat Petrus bersua kembali dengan Tuhan Yesus dibangun gereja Domine Quo Vadis, dan di dalam gereja ada replika batu bekas jejak kaki Yesus. Batu aslinya disimpan di Basilika San Sebastiano. Saudaraku, saat kota Roma dilanda prahara haru biru atau kerusuhan, keributan, kekacauan, huru-hara, justru di saat-saat paling susah itulah Rasul Petrus yang sudah balik lagi ke Roma menuliskan 1 dan 2 Kitab Petrus. Kondisi kesusahan ini tidak dituliskan langsung oleh Petrus, tapi disebarkan dalam beberapa ayat. 1 Petrus 1:5-7: “Yaitu kamu, yang dipelihara dalam kekuatan Allah karena imanmu sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir. Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu–yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api–sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.” Diuji kemurniannya dengan api, bukan kiasan lagi, tapi diuji dalam kebakaran besar kota Roma, dan orang Kristen dianggap sebagai biang keladi pembakaran. Lalu Petrus menghibur jemaatnya dengan pernyataan di 1 Petrus 1:9: “ ,,, kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu keselamatan jiwamu”. Kenyataannya tubuh atau fisik orang-orang Kristen yang ditangkap pasukan Roma tidak ada yang selamat atau utuh lagi. Petrus, salah seorang rasul yang dipilih Tuhan Yesus, dalam perjalanan hidupnya mengikut Kristus, ternyata di saat-saat terakhir di kota Roma, ingin lari dari pelayanan, meninggalkan domba-domba jemaatnya, agar tidak mati di tangan Kaisar Nero. Di situlah Tuhan Yesus datang kembali menemui Petrus, “Aku datang ke Roma untuk disalib kembali.” Saudaraku, iman kepercayaan kita semua tidaklah sekuat iman Rasul Petrus kepada Tuhan Yesus. Apalagi dalam kehidupan sehari-hari kita dihadapkan pada berbagai percobaan dan kenyataan hidup yang sangat susah, kondisi ekonomi yang tidak menentu. Mungkin, … mungkin saja kita sudah penat dan putus asa, ingin melarikan diri, terutama kepada berhala-berhala di luar Kristus yang menjanjikan kekayaan dan kejayaan. Saudaraku, ingatlah kisah Rasul Petrus ini. Domine quo vadis? (Surhert).
Kamu memperoleh apa yang dijanjikan itu. Meme Firman Hari Ini.
AMAN DALAM PERLINDUNGANMU
Saudaraku, mari kita membaca dan merefleksikan Filipi 4:13: “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” Memori di Facebook mengingatkanku pada sebuah peristiwa luar biasa yang mengajarku tentang perjalanan iman bersama Tuhan. Hari ini dua belas tahun yang lalu, Damai, kenang mbarepku, berjuang di meja operasi karena pendarahan di otak yang harus ditaklukkannya. Kondisinya yang kritis dan koma saat itu sungguh menghancurkan hatiku. Hari yang sangat istimewa untukku. Hari yang menjadi tonggak perjalanan iman dan keberserahanku kepada Tuhan. Masih kuingat sekali betapa kencangnya detak jantungku saat menunggu operasi berjalan. Masih bisa kurasakan gemetar dan gentarku melewati menit demi menit yang menegangkan itu. Dokter hanya berpesan kepadaku untuk terus berdoa selagi mereka mengerjakan bagian mereka, membuka kepala Damai dan mengambil darah yang masuk di otaknya. Masih begitu jelas teringat bagaimana airmataku berjatuhan sendiri tanpa bisa kutahan. Rasa takut dan khawatir itu menyerang dari segala penjuru mata angin. Rasa hancur dan gelisah itu mendera tanpa memberi sedikit pun ampunan. Dalam pikiranku, apa pun akan kulakukan untuk menolong dan membantunya melewati fase-fase yang kritis itu. Padahal, tepat setahun sebelum hari itu, di tanggal yang sama di tahun 2011, aku sendiri juga berjuang di meja operasi saat lutut kananku patah sehingga tidak bisa berjalan. Tapi saat itu tidak ada rasa takut, gentar atau gelisah yang sebesar saat menunggui Damai berjuang. Hari ini, setelah dua belas tahun berlalu, Damai tumbuh dengan begitu sehat dan sempurnanya. Tidak ada satu hal pun yang kurang. Bahkan kekhawatiran dokter bahwa putusnya jaringan sel pada saat otak dibuka akan menyebabkan dia cacat pun tidak terjadi. Damai adalah anakku. Di dalam tubuhnya mengalir darahku. Aku yang menggendongnya selama hampir 10 bulan di rahimku sebelum dia lahir ke dunia ini. Aku yang menyuapinya bahkan sebelum dia hadir di bumi. Jadi sedemikian kuat dan eratnya ikatan kami. Di dalam setiap doaku selama dia sakit dan kritis di rumah sakit, namanya kusebut dan kuserukan kepada Tuhan. Memohon belas kasihan Tuhan untuk dia bisa disembuhkan dan dipulihkan. Memohon kesempatan kedua untuk aku dan suamiku bisa merawat dan menjaga dia dengan lebih baik dan hati-hati. Ketika Damai di ICU, kesempatan kami untuk bertemu sangatlah terbatas. Kami hanya bisa bertemu pada saat jam bezuk di pukul 10.30 – 12.00 dan pukul 17.00 – 19.00. Meski dia dalam keadaan koma dan tidak sadar, kami selalu mengakhiri pertemuan kami dengan doa bersama. Aku percaya dia mendengar meski tidak bisa merespons. Di malam hari, setiap pukul 00.00 aku dan suamiku berlutut dan berdoa, memohon kemurahan dan pertolongan Tuhan. Berseru kepada Tuhan, membawa hati kami yang dihancurkan Tuhan, yang kemudian dibentuk-Nya kembali dan diajari untuk benar-benar berserah penuh. Akhirnya hal menakjubkan terjadi. Tuhan membuat keajaiban itu di hadapan kami. Damai selamat dan memenangkan pertempuran besar dalam hidupnya. Seorang anak laki-laki berusia delapan tahun menaklukkan momen kritis yang berat dan mengalahkan bayangan kematian. Dia turun dari tempat tidur dan mulai berjalan, lalu tertawa. Suatu KEAJAIBAN. Sekarang, setelah Damai bisa melewati tahun demi tahun yang ajaib dalam pemeliharaan Tuhan yang dahsyat, pada hari-hari ini kami diberikan kepercayaan untuk terus berjuang bersama. Bukan lagi berjuang untuk mengalahkan meja operasi, tapi berjuang untuk menyusun masa depan melalui pendidikan tinggi selepas sekolah menengah bahkan memasuki masa-masa kuliah. Sungguh, ini menjadi satu hal yang luar biasa untukku. Melihatnya tumbuh sehat, pandai menggambar, bisa bermain gitar dengan baik, rasanya itu sebuah keajaiban. Tuhan menjaga Damai dengan sedemikian unik dan indah. Puji Tuhan. Kami menerima kepercayaan ini dengan hati yang penuh sukacita. Kami terus mengingat perjuangan dua belas tahun yang lalu itu sebagai pelajaran sekaligus pengingat yang benar-benar membangun hidup kami. Pengingat betapa Tuhan berkuasa dan menyertai perjalanan kami untuk memenangkan pertarungan hidup yang berat. Pengingat betapa segala perkara dapat kami tanggung ketika kami berserah dan mempercayai Tuhan dengan sepenuh hati. Pengingat betapa Tuhan benar-benar bisa mendengar dan menjawab doa-doa bahkan lebih dari yang kami minta. Pengingat betapa kami harus senantiasa mengucap syukur di dalam segala peristiwa. Pengingat betapa kami harus semakin taat dan setia mengerjakan setiap rancangan yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidup kami. Saudaraku, God is so good. Kami aman dalam perlindungan-Mu. (Novi Reksanto).