BUKAN DARI ROTI SAJA
Saudaraku, aku memiliki kelompok kecil yang suka berbagi cerita-cerita akrab. Cerita-cerita kisah nyata pengalaman hidup kami masing-masing. Nah pada kesempatan ini aku bagikan salah satu cerita akrab yang aku terima dari temanku yang dilahirkan dan dibesarkan di Medan. Saya merupakan anak sulung dalam keluarga. Keluarga saya dulu tinggal di Medan. Kami 3 orang bersaudara, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Papa dan Mama kami jualan telur asin di salah satu kios di Central Market. Kulakan telur asin dari pemasok dari luar kota. Papa kena sakit kanker dan meninggal dunia di usia 50 tahun lebih dikit, jadi Mama kerja keras membesarkan kami bertiga. Saat Papa meninggal, Mama nangis-nangis sambil berkata: “Papamu mati tidak meninggalkan warisan, rumah masih kontrak di kampung, jadi laki-laki tidak berguna, tidak bisa membesarkan anak.” Tentu kami bertiga sebagai anak merasa gundah mendengar tangisan Mama. Sumbangan duka dari keluarga, teman-teman dan diakonia gereja cukup berarti bagi kami, bisa untuk membayar biaya rumah sakit, beli peti mati, ongkos rumah duka dan kremasi, dan ada masih ada sisa Rp 750 ribu. Nah adik saya yang laki-laki bilang ke Mama: “Ma, saya yakin Papa tidak ingin kita terus hidup menderita, bagaimana kalau sisa uang duka kita belikan lotre buntut Singapura, kalau menang dapat 1.000 kali sebagai warisan.” Akhirnya Mama setuju, dan berdua dengan adik saya naik bentor (becak motor) ke tempat penjual lotre. Mama pasang Rp 600 ribu, kalau menang dapat Rp 600 juta. Saudara, minggu depannya, hari Senin, Mama sudah gelisah, siapa tahu jadi jutawan. Dia pergi sendiri ke yang jual lotre, karena sudah tahu alamatnya. Hampir dua jam kemudian Mama pulang. Ketika masuk rumah, Mama diam saja, matanya kadang-kadang melihat ke atas, lalu Mama menangis sesenggukan. Ternyata lotre Mama tidak tembus, tidak menang. Duit Rp. 600 ribu kabur. Mama mesti tetap kerja jualan telur asin di pasar untuk menghidupi tiga orang anaknya yang sudah kuliah. Tepat sepuluh tahun kemudian, bertepatan dengan hari Papa dikremasi,saya kumpulkan Mama dan dua orang adik di rumah. Ceritanya saya sudah menikah dan punya dua 2 orang anak dan tinggal Jakarta, Mama ikut saya. Saya usaha di bidang impor bahan makanan, cukup maju, bisa punya rumah di kompleks yang lumayan di Jakarta. Adik saya yang laki-laki juga sudah menikah, bisa usaha sendiri membuat ban dalam motor, cukup laris dan ada pabrik kecil-kecilan. Sedang adik saya yang perempuan tinggal di Singapura, buka kios di Bugis Junction jualan tas wanita, suaminya warga Singapura kerja di bank. Kiosnya laris, jualan banyak ke turis-turis dari Indonesia yang suka royal beli tas, apalagi yang jualan bisa ngomong Indonesia. Kita ngumpul di hari itu, adik perempuan tidak bisa datang, tapi Mama senang sekali dikelilingi 3 orang cucu yang masih di bawah usia 6 tahun, tentu suasana rumah sangat ceria. Sebelum makan bersama, saya bercerita tentang Papa yang telah mewariskan iman kepada Yesus Kristus. Mengajak kami sekeluarga ke gereja di Medan. Mengantarkan anak-anak ke Sekolah Minggu dan kadang-kadang mengajak kami berdoa bersama. Meski dalam usaha jualan telur asin kondisinya naik turun, dan dapat cuannya (untungnya) tipis karena banyak saingan, tapi nyatanya bisa membiayai tiga orang anaknya kuliah hingga lulus. Saudara, memang rumah masih ngontrak, tapi dua tahun setelah Papa meninggal ternyata rumah yang dikontrak bisa dibeli, jadi sebenarnya dari penghasilan jual telur asin ada peningkatan, juga saya dan adik sudah mulai bekerja jadi ada pendapatan tambahan. Apalagi di tahun ke-6 kami semua bisa pindah ke Jakarta, rumah di Medan dijual dan bisa dijadikan uang muka untuk beli rumah di Jakarta. Hari itu saya menceritakan kembali bagaimana Mama menangis-nangis dan adik menawarkan bagaimana kalau sisa uang sumbangan kedukaan dibelikan lotre buntut. Cerita saya didengar oleh istri dan adik iparku dan mungkin anak saya yang berumur 6 tahun ikutan mengerti. Mama hanya senyum-senyum kecut, cuman diam. Ini kisah nyata. Adik saya memecahkan suasana: “Yah, itu semua kan zaman susah, zaman berdosa”. Kami semua tertawa, mentertawakan diri sendiri ya, zaman kemiskinan dan kebodohan. Pokoknya dalam sepuluh tahun, ya pas sepuluh tahun, kami sekeluarga bisa menikmati berkat dan penyertaaan Tuhan. Kami semua bekerja secara legal, tidak kerja barang selundupan atau barang-barang terlarang, nyatanya produk yang kami kerjakan bisa diterima baik oleh pasar, tidak ada komplain bahkan permintaan meningkat. Usaha semakin maju, bisa rutin memberikan persembahan ke gereja bahkan ikutan memberikan persembahan syukur untuk pembangunan gereja, Memang belum bisa membeli mobil yang harganya mahal, tapi untuk operasional Innova sudah cukup, dan di akhir pekan atau hari libur bisa ajak Mama jalan-jalan ke Bogor hingga Bandung. Kami percaya bahwa Tuhan selalu melihat perjuangan dan kerja kami sekeluarga, tetap berusaha setia di jalan Tuhan, karenanya berkat Tuhan dicurahkan. Memang dari usaha kami bisa mendapatkan uang dan rezeki, tapi kami juga perlu mendengarkan Firman Tuhan yang bisa menuntun kami bagaimana hidup menjadi orang benar, dan kami mencoba menjalankan Firman Tuhan itu, sebisa kami. Memang tidak mudah, tapi ya pokoknya tetap ikut saja Firman. Apalagi Tuhan Yesus sudah menebus dosa-dosa kami, jadi bagaimana kami sekarang mesti hidup yang memuliakan Tuhan. Saudara, ingatlah selalu sabda Tuhan Yesus: “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” (Matius 4:4). (Surhert)