AJI MUMPUNG
Saudaraku, aku pernah janjian breakfast meeting dengan seorang supplier (pemasok) jam 8.30 di salah satu hotel ternama yang kondang dengan masakannya yang lezat. Pagi itu hujan lebat, ada beberapa genangan air di jalan, dan jadinya aku tiba di hotel sekitar beberapa menit sebelum jam 9.30. Jam 9.20an lebih dikit masuk ke area restoran, lalu buru-buru ambil makanan ala buffet, perlu 15 menit, all you can eat. Nah saat mulai menyendokan makanan ke mulut, salah seorang petugas restoran datang ke meja dan berkata sopan: “Sir, our buffet will be closed by 10.00am. Please you could take your meal soon before we clean up all. (Pak, prasmanan kami akan ditutup pada pukul 10.00. Tolong Bapak bisa segera makan sebelum kami membereskan semuanya).” Wah tinggal 20 menit lagi semua makanan akan kukut. Aku memandang sebentar Si Supplier, dia senyum: “Ayo Ko, kita cepat-cepat ambil hidangan, buah dan free es krim.” Kami berdua segera ambil 2 piring kosong dan langsung menyapu beberapa makanan, 1 piring kecil untuk dessert, buah dan 1 gelas untuk juice. Beberapa tamu lain malahan mengambil 4 piring besar dan mengisinya dengan berbagai lauk, salad dan buah, juga beberapa mangkok kecil es krim Gelato. Aji mumpung ya. Di medsos tempo hari ada berita Pizza Hut China terpaksa menghapus menu all you can choose salad untuk satu piring dengan satu harga, hal ini karena konsumen di sana ternyata pintar mengatur dan menumpuk berbagai sayur dan buah dalam satu piring, ditumpuk hingga munjung hampir 20 cm menjadi salad tower. Puluhan hingga ratusan konsumen mengantri menu salad ini, mau tidak mau restoran mesti tetap menambah sayur, buah dan 4 macam saus salad, dan kasir tetap menghitungnya satu harga salad tower dalam 1 piring. Berlangsung setiap hari hampir di semua gerai, di akhir bulan hitungannya tekor, dan akhirnya pemilik grup restoran memutuskan menghapus menu salad tersebut. Aji mumpung. Saat seseorang berkesempatan dilantik menjadi pejabat publik untuk lima tahun, terutama di departemen yang memiliki anggaran tahunan sekian triliun per tahun. Setelah dilantik, nah si pejabat berusaha mengambil hati pendukungnya untuk memenuhi janji-janji saat kampanye, yakni dalam 100 hari pertama bisa mengaplikasikan semua janji kampanye. Lalu tahun pertama, kedua, lancar- lancar dan saat masa-masa jabatan akan berakhir, nah kondisinya jadi mirip-mirip di restoran all you can eat saat akan berakhir, bukan ambil piring banyak-banyak menyapu makanan, tapi … ambil kesempatan banyak-banyak untuk menyapu proyek dan anggaran. Saudaraku, persentase yang disisihkan untuk IOH (inderect overhead) yang diminta pejabat bukan sekadar uang lelah, atau 1-2 persen, bahkan lebih, konon puluhan persen. Di medsos kita bisa membaca adanya kasus order fiktif, nyaris 100% proyek yang dianggarkan ternyata fiktif, dan uang proyek dibagi-bagi ke berbagai pihak, bukan untuk pembangunan fisik atau suplai barang sesuai yang disebutkan proyek turun anggarannya. Yah, itu kenyataan hidup, silih berganti dapat dibaca hampir setiap hari di medsos. Pejabat kalau menerima uang IOH yang disetorkan oleh anak buah maupun rekanannya, saat jumlah uangnya sedikit, ya mungkin disetorkan ke berbagai pihak, jadi semua kebagian. Tapi kalau uang-uang ini semakin melimpah ruah, ya bisa kaget-kagetan, hingga membelanjakannya untuk yang aneh-aneh. Ada yang digunakan untuk steam cell agar tetap awet muda, atau beli durian impor hingga ratusan kwintal, lalu mikir-mikir untuk punya istri lagi, cari yang pernah jadi pemenang kontes kecantikan, beli ratusan hektare tanah, dan sebagainya. Aji mumpung, saat uang mendadak dicurahkan dari langit, apalagi jika tindakannya mendapatkan dukungan dari pihak yang lebih berkuasa, dan tidak terendus KPK maupun kejaksaan. Saudara, jangan kira hanya di dunia birokrasi hal tersebut terjadi, juga ada di dunia kegerejaan. Beberapa tahun lalu ada seorang pendeta besar yang disebut konglomerat karena bisa menggerakkan ribuan jemaatnya untuk mendermakan uangnya untuk pembangunan suatu church center, hingga saat meninggalnya pendeta itu, ternyata proyek tidak pernah terwujud, padahal dana jemaat masuk ke satu rekening Yayasan. Di medsos, nitizen yang galak, mereka menguliti beberapa orang rohaniwan yang memakai jam tangan super mewah yang harganya hingga 10 digit rupiah. Belum lagi uang hasil persembahan gereja digunakan untuk pembelian mobil sport mewah untuk anak atau istri si rohaniwan … Saudaraku, karena itulah Tuhan Yesus bersabda, “Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” (Matius 6:4) Jadi pesaing utama terhadap ajaran Tuhan Yesus ternyata bukan Si Iblis atau Si Setan yang kepalanya bertanduk dan lidahnya menjulur, tapi justru Si Mamon. Di Wikipedia Isitilah ini diadopsi dari bahasa Yunani Helenistik μαμ Hellνᾶς (mam hellnás = ibu kamu adalah neraka), adaptasi dari bahasa Aram מָמוֹנָא māmōnā, dari kata māmōn ‘kekayaan, untung’, Mamon yang digunakan dalam kitab Perjanjian Baru mempunyai arti merendahkan, mencari keuntungan secara tidak benar, keserakahan, sesuatu yang materi seperti uang, harta benda, kekayaan duniawi yang menguasai seseorang dibandingkan dengan pelayanan kepada Allah. Ternyata bujuk rayu harta duniawi yang diwujudkan melalui Mamon menjadi tantangan terbesar bagi pengikut Tuhan Yesus. Aji mumpung, pas ada kesempatan dan peluang untuk mendapatkan harta benda, meskipun cara-cara mendapatkannya bertentangan dengan Firman Tuhan. Saudaraku, apakah hati kita tetap teguh berpegang pada Firman Tuhan, atau kerap melirik-lirik kepada Si Mamon? (Surhert)