Harmoni Hidup dalam Nada-Nada Kehidupan

Saudaraku, dalam perjumpaan kali ini, mari kita merenungkan: “Berdering-deringlah kepada TUHAN, hai seluruh bumi, teriaklah, bersoraklah, bernyanyilah bagi-Nya! Pujilah TUHAN dengan kecapi, nyanyilah bagi-Nya dengan kecapi yang berbunyi indah! Dengan sangkakala dan bunyi trompet, bersoraklah di hadapan Raja, TUHAN!” (Mazmur 98:4-6) Musik merupakan bahasa universal yang menghubungkan banyak hal, tanpa memandang perbedaan bahasa, budaya, maupun latar belakang. Harmoni, melodi, dan ritme yang seimbang akan menghasilkan musik yang indah untuk didengar. Tapi tentu saja, untuk menghasilkan keseimbangan antara harmoni, melodi, dan ritme, dibutuhkan latihan, latihan, dan latihan. Saudaraku, di dalam kehidupan kita saat ini pun ada banyak orang yang akhirnya menyerah dalam hidupnya. Ketika mereka berpikiran bahwa hidup ini terlalu berat, hidup ini terlalu keras, tidak ayal akhirnya orang-orang yang berpikir seperti itu justru memilih menyakiti dirinya sendiri, hingga berujung kepada tindakan bunuh diri. Berbeda dengan orang-orang yang justru berpikir bahwa hidup ini seperti musik. Perlu adanya latihan supaya bisa menghasilkan sesuatu yang indah.  Mari kita renungkan ilustrasi sederhana ini: Dalam sebuah orkestra, setiap pemain harus bertanggung jawab dengan dirinya sendiri dan instrumen musik yang dipakai. Tidak ada instrumen yang paling sulit atau mudah, karena pasti ada tantangan di setiap permainan masing-masing. Pemain biola tidak bisa berkata jika alat musik saxophone lebih mudah, atau pemain saxophone berkata alat musik bass lebih mudah. Beberapa kali saya diminta tolong untuk bergabung di orkestra. Karena saya bisa memainkan beberapa alat musik, jadi saya dikondisikan untuk memainkan alat musik yang berbeda. Di acara ini saya diminta untuk menjadi pianis, berikutnya bisa diminta untuk menjadi bassis, dan lain-lain. Satu kesimpulan: Setiap alat memiliki tingkat kesulitan masing-masing. Ketika saya menjadi pianis, saya tidak bisa berkata lebih enak main bass, notnya lebih mudah. Atau sebaliknya, ketika saya menjadi bassis, saya tidak bisa berkata lebih enak menjadi drummer, hanya membaca ketukan saja. Semua pasti memiliki tingkat kesulitan masing-masing. Saudaraku, ketika saya bergabung dengan tim orchestra, hal yang pertama saya lakukan adalah meminta partitur sesuai dengan alat musik yang saya mainkan, dan mengobservasinya. Tidak berhenti di situ, hal yang paling banyak menyita waktu adalah latihan mandiri.  Saya akan membutuhkan waktu berjam-jam untuk latihan mandiri. Hal itu saya lakukan supaya terbiasa dengan not-not yang sulit. Saya rasa semua pemain orkestra akan melakukan hal yang sama seperti saya, sehingga pada waktu latihan bersama (sekalipun dengan alat musik yang berbeda, teknik yang berbeda, notasi balok yang berbeda), semua instrumen dapat disatukan dan menghasilkan suara yang indah karena harmoni, melodi, dan ritme, dapat berpadu dengan seimbang. Saudaraku, dalam hidup ini, kita tidak bisa berkata Tuhan tidak adil, Tuhan hanya sayang dan peduli kepada orang itu, atau keluarga itu, bukan kepada saya, dan lain-lain. Sama halnya dalam musik, setiap orang memiliki tingkat kesulitan dalam hidupnya masing-masing. Kadang-kadang kita membandingkan diri kita dengan orang lain, atau kehidupan kita dengan orang lain.  Kita harus ingat seringkali hal yang tidak kita inginkan, justru itulah yang diinginkan orang lain dalam hidup kita. Tuhan adalah Allah yang adil, yang mampu mengkoordinasikan setiap orang dengan baik, sesuai talenta dan bagiannya masing-masing. Tidak ada yang terlalu sulit, tidak ada yang terlalu mudah. Semua pas pada bagiannya. Untuk itulah dalam Mazmur 98:4-6, kita diingatkan untuk selalu memuji Tuhan karena kebesaran dan keadilan-Nya bagi semua orang. Perenungan: Saudaraku, seperti halnya dalam musik, terkadang kehidupan kita juga bisa mengalami disonansi (ketidakselarasan). Kadang-kadang, kita bisa mengalami kesulitan, kekecewaan, atau kegagalan. Namun, seperti halnya dalam sebuah komposisi musik yang indah, disonansi tersebut bisa menjadi bagian dari perjalanan yang mengarah pada kemenangan akhir. Mari kita hargai keindahan musik, dan mari kita terus mencari harmoni dalam setiap langkah hidup kita. Pesan: Apakah Saudara ingin menjadi pemusik atau pemuji yang handal? Mari Bergabung dengan Sekolah Musik Christopherus. Segera hubungi HP: 081292081227. (Inthan).

The Correct Worship

IBADAH YANG BENAR. Sahabat, apakah arti ibadah yang benar? Tidak semua orang percaya yang biasa rutin beribadah di gerejanya memahami apa yang dimaksud dengan ibadah yang benar. Ada cukup banyak orang percaya yang  menjalankan ibadah hanya sebagai suatu rutinitas dan kewajiban. Padahal, sebenarnya makna ibadah  lebih daripada itu. Ibadah yang benar melibatkan ketulusan hati yang lahir dari cinta dan kesetiaan kepada Allah. Termasuk juga keinginan yang tulus untuk mengenal dan mendekat kepada-Nya. Arti ibadah yang benar meliputi pemahaman, sikap, dan tindakan yang mendalam terhadap peribadahan kepada Allah. Ibadah yang sejati bukan hanya tentang rutinitas keagamaan, tapi melibatkan hati, jiwa, dan perilaku sehari-hari. Coba kita hayati nasihat rasul Paulus berikut ini: “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” (Roma 12:1) Sahabat, dari kutipan ayat Alkitab tersebut, dijelaskan bahwa orang percaya sebaiknya melaksanakan ibadah yang sejati dalam segenap  aspek kehidupannya. Bapak Pdt. Jusuf Roni dalam bukunya “Menang Atas Penderitaan” (2021) menjelaskan arti ibadah sejati adalah pencarian kudus dan kesejatian. Lebih tepatnya mengupayakan pertumbuhan  dan kesempurnaan dalam kasih kepada Allah dan sesama.  Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab Zakharia dengan topik: “The Correct Worship (Ibadah yang Benar)”. Bacaan Sabda diambil dari Zakharia 7:1-14. Sahabat, bagaimanakah caranya kita menyenangkan Tuhan? Jawaban pada umumnya adalah dengan melakukan kebaikan bagi sesama. Apakah itu menyenangkan hati Tuhan, sesama, atau untuk memuliakan diri sendiri? Apakah itu berdasarkan kecintaan kepada Tuhan atau supaya kita tidak ditolak oleh lingkungan kita?Sisa orang Yehuda masih mempertahankan kebiasaan berpuasa. Sarezer dan Regem-Melekh diutus penduduk Betel untuk melunakkan hati Tuhan dengan mengajukan sebuah pertanyaan: “Apakah umat Yehuda harus menangis dan berpantang dalam bulan kelima seperti tradisi yang telah diturunkan selama ini?” (Ayat 2-3).Sahabat, ternyata, jawaban Tuhan sungguh mengejutkan. Berpuasa, tampaknya, sudah menjadi kebiasaan tanpa makna dalam kehidupan ibadah Israel dan Yehuda. Tuhan tahu bahwa puasa yang mereka lakukan bukan lagi untuk-Nya, tetapi untuk diri sendiri (Ayat 5-6). Hal itu menyakitkan Tuhan, sehingga Tuhan membuang mereka dari hadapan-Nya.Sekarang yang Tuhan mau adalah mereka beribadah dengan benar dan menunjukkan kesetiaan serta kasih sayang kepada sesama, memerhatikan janda, anak yatim, orang asing, dan orang miskin, serta melarang mereka merancang kejahatan terhadap sesama (Ayat 9-10). Perintah ini menjadi petunjuk hidup baru setelah puasa mereka tidak lagi diterima.Tuhan memperingatkan umat Yehuda agar hidup lebih baik daripada nenek moyangnya yang telah gagal dalam mempraktikkan ajaran ibadah puasa dengan benar. Sekarang mereka memiliki kesempatan untuk menjadi lebih baik setelah pulang dari pembuangan. Mereka harus memperlakukan sesama dengan baik, sama seperti Tuhan sudah memerhatikan mereka. Sudah saatnya mereka beribadah dengan iman.  Sahabat, relasi kita dengan sesama akan baik kalau persekutuan dengan Tuhan berjalan akrab. Ini adalah langkah iman yang Tuhan tunggu-tunggu dari gereja-Nya. Mari kita mencermati tindakan dan perbuatan pada sesama. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami dari ayat 9-10? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Tanggalkan sekat-sekat pembeda yang seringkali merintangi kita untuk mengalirkan kasih Tuhan kepada sesama. (pg). 

The Caring Shepherd and The Foolish One

GEMBALA YANG PANDIR. Gembala dalam kekristenan adalah orang yang bertugas menuntun dan menjaga domba atau umat Tuhan. Kata menuntun memiliki pengertian bahwa semua yang menjadi kewajiban umat Allah berada dalam pengawasan sang gembala. Sedangkan kata menjaga merupakan kata kerja yang bertujuan agar semua yang menjadi tanggung jawabnya bisa memiliki kelangsungan hidup yang lebih baik. Tetapi gembala yang pandir atau tidak berguna meninggalkan domba-dombanya, tidak mencari yang hilang, tidak menyembuhkan yang luka, tidak memelihara yang sehat dan memakan daging yang gemuk. Ada waktunya kelak Tuhan akan meminta pertanggungjawaban kepada para gembala yang dipercayakan menggembalakan domba-domba-Nya. Tuhan sudah menyiapkan suatu hukuman bagi gembala yang pandir karena melalaikan tugasnya. Sesungguhnya setiap  orang percaya adalah gembala dan akan selalu ada domba-domba yang Tuhan percayakan, mungkin domba itu berupa keluarga kita, bawahan di kantor atau di pekerjaan, di komunitas dan lain sebagainya. Mereka harus digembalakan dengan baik. “Gembalakanlah domba-domba-Ku! kata Tuhan kepada murid-Nya” (Yohanes 21:15-17) dan kalau kita mengasihi Tuhan maka kita akan melakukan perintah-Nya menggembalakan domba-domba yang Tuhan percayakan dengan baik. Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab Zakharia dengan topik: “The Caring Shepherd and The Foolish One (Gembala yang Peduli dan Gembala yang Pandir)”. Bacaan Sabda diambil dari Zakharia 11:4-17. Sahabat,  Zakharia diminta untuk mendemonstrasikan firman Allah dengan tindakannya kepada sekumpulan domba sembelihan. Allah ingin menunjukkan kepedulian-Nya kepada Israel yang baru saja pulang kembali dari tanah pembuangan, melalui Zakharia yang diperintahkan untuk menggembalakan domba-domba sembelihan.  Domba sembelihan adalah domba yang sebenarnya tidak dipedulikan, karena nantinya juga akan diperjual-belikan untuk disembelih, sehingga pedagang domba ini mengiyakan saja ketika Zakharia memberi diri menggembalakan domba-dombanya.  Zakharia menggembalakan mereka dengan dua sikap yang dilambangkan oleh dua tongkat, yaitu kemurahan dan ikatan. Hanya saja dalam jangka waktu tertentu, Zakharia kemudian tidak tahan lagi untuk menggembalakan domba-domba tersebut, hingga akhirnya domba-domba itu dibiarkan semau-maunya.  Sahabat, hal itu melambangkan Allah yang tidak tahan lagi terhadap Israel, mereka sebenarnya seperti domba sembelihan yang tidak dipedulikan siapa-siapa tapi dipedulikan Allah, namun mereka tetap tidak menghargai itu. Pada akhirnya kemurahan dan ikatan Allah diangkat dari mereka, dan mereka akan diserahkan kepada gembala yang pandir, yang hanya mencari kepentingannya sendiri atas domba-dombanya. Mengapa Allah mengizinkan Israel ada di bawah “gembala yang pandir”? Supaya mereka dapat membedakan bagaimana hidup dalam penggembalaan Allah yang murah hati dan gembala yang pandir. Gembala yang pandir mungkin akan membiarkan mereka semau-maunya sehingga dirasa enak buat mereka. Tetapi sebenarnya gembala semacam ini tidak akan memedulikan mereka.  Sahabat, berbeda sekali dengan Allah yang telah berulang kali menunjukkan kepedulian-Nya, bahkan membawa mereka pulang dari tanah pembuangan. Bagaimana dengan kita, yang sekarang sudah ada dalam penggembalaan Tuhan Yesus, Sang Gembala sejati? Apakah kita mau menundukkan diri dalam penggembalaan-Nya? Ataukah kita seperti Israel, yang terus ingin semaunya dan akhirnya malah kembali celaka dan mempermainkan kemurahan Allah atas kita? Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Bagaimana Sahabat menggembalakan domba yang Tuhan percayakan? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Setiap  orang percaya adalah gembala dan akan selalu ada domba-domba yang Tuhan percayakan. (pg).