Continuing Life with God

HIDUP ADALAH SEBUAH PERJALANAN. Sahabat, hidup adalah sebuah perjalanan. Demikian ungkapan yang sering kita baca dan dengar. Karena hidup adalah sebuah perjalanan, maka tugas kita adalah terus berjalan dan terus berjalan dari waktu ke waktu yang kita miliki. Hidup adalah sebuah perjalanan yang harus kita lalui. Walau kadang kita malas untuk mengayunkan langkah,  karena rasa lelah yang mendera. Kadang kita dapat menjadi marah dengan keadaan yang kita alami, karena merasa jengah. Atau tak sadar, kita menjadi lengah, sehingga kehilangan arah dan tak mengerti harus berjalan ke mana. Perjalanan hidup ini sangat panjang, berliku dan penuh rintangan. Begitu banyak penghalang menghadang, dan itu terkadang membuat kita ingin berhenti dan berbalik arah. Ya, tembok dan batu masalah yang besar, kerikil persoalan kecil pun bertebaran, berusaha membuat kita terbentur, terpeleset, terantuk, untuk terjatuh dan menghentikan perjalanan kita. Belum lagi lubang-lubang yang tak sadar membuat kita terperosok di dalamnya. Mungkin berkali-kali  kita harus  melewati lembah air mata, jurang kehancuran, tebing terjal, hutan belantara dalam malam yang mencekam. Belum lagi kita harus menghadapi badai dan ombak yang menderu, mendera iman kita, meski telah lemah dan tak memiliki daya lagi.  Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab 2 Samuel dengan topik: “Continuing Life with God (Melanjutkan Hidup bersama Tuhan)”. Bacaan Sabda diambil dari 2 Samuel 12:1-25 dengan penekanan pada ayat 23. Sahabat, setelah Nabi Natan menegurnya atas dosa perzinahannya dengan Batsyeba, Daud mengakui dosanya dan bertobat. Tetapi ia masih harus menanggung akibatnya. Anak yang dilahirkan Batsyeba itu sakit. Lalu Daud berdoa, berpuasa dan semalaman berbaring di tanah memohonkan kesembuhan anaknya (Ayat 16). Para penasihatnya berusaha menghibur dan mengajaknya makan, tetapi ia menolaknya. Sepertinya, ia sedang menghukum diri, berkabung, menangis serta memohon ampun dari Tuhan. Hal itu berlangsung selama enam hari (Ayat 17). Lalu pada hari ketujuh, anak itu mati. Para pegawainya takut memberitahu kabar itu kepada sang raja. Pikir mereka, Daud bisa mencelakakan dirinya (Ayat 18). Namun ketika Daud mengetahui anaknya telah mati, ia melakukan tindakan yang membuat orang-orang heran. Ia bangun dari lantai, mandi, berurap, berganti pakaian, beribadah ke rumah Tuhan, pulang, dan makan (Ayat  20). Alasannya:  “Selagi anak itu hidup, aku berpuasa dan menangis, karena pikirku: siapa tahu TUHAN mengasihani aku, sehingga anak itu tetap hidup. Tetapi sekarang ia sudah mati, mengapa aku harus berpuasa? Dapatkah aku mengembalikannya lagi? …” (Ayat 22-23). Daud telah melakukan berbagai upaya untuk kesembuhan anaknya. Namun ketika kenyataan berbeda dari harapan, ia tidak larut dalam duka. Ia bangkit, menghibur istrinya, dan melanjutkan hidupnya dalam Tuhan. Daud melanjutkan hidupnya bersama Tuhan.  Memang, ada hal-hal di luar kendali kita. Jika demikian halnya, berserahlah pada Tuhan dan jalanilah hidup kita. Ini merupakan langkah iman yang dapat kita tempuh. Belajar rela, berserah dan melanjutkan hidup bersama Tuhan, ketika jalan hidup berbeda dengan apa yang kita harapkan. Sahabat, bagaimana pun hidup adalah sebuah perjalanan, kisahnya takkan berhenti, segala warna dan rasa akan silih berganti terisi di dalamnya. Namun tetap percaya, dan tetap berjalan dengan seorang Pribadi yang hebat, kuat dan dahsyat, kita akan aman. Sebab Dia, Tuhan, pemilik hidup kita  dan apa yang Ia kerjakan sempurna. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami dari ayat 23-24? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Jangan berhenti berkarya karena hanya dengan cara itu kita akan temukan janji Tuhan bagi hidup kita. (pg).

DIAM NAMUN TAK TINGGAL DIAM

Saudaraku, siapapun akan sigap membela diri ketika dituduh melakukan sesuatu yang tidak dilakukannya.  Diam dianggap pasif dan membenarkan tuduhan.  Maka pada masa sekarang banyak orang tertindas berani untuk speak up (angkat suara) dan menyatakan kebenaran dari sudut pandang mereka.   Namun Markus menuliskan KEBISUAN Yesus saat Ia dihakimi dan dituduh dengan kejam.  Mari kita merenungkan Markus 15:1-5. Pagi itu kantor Pilatus sangat berisik dan gaduh dengan kedatangan para pemuka agama Yahudi yang menyeret tersangka penistaan agama.  Mereka tak berhenti menuduh-Nya dan memaparkan kesalahan-kesalahan-Nya.  Anehnya Si Pelaku hanya menjawab satu pertanyaan Pilatus dan selebihnya Ia hanya diam. Pilatus sampai mendorong Yesus, Sang Tersangka, untuk membela diri dan menjawab tuduhan mereka. KEBISUAN Yesus memang mengherankan.  Sebagai seorang guru yang bisa menjawab pertanyaan para Farisi, Saduki, ahli Taurat, kaum Herodian dan bahkan para tua-tua, Yesus pasti punya banyak amunisi untuk bisa menjawab tuduhan itu dengan mudah.  Sebagai seorang pembuat mukjizat yang bisa membangkitkan orang mati, menyembuhkan yang sakit, mengusir setan dan bahkan bisa melewati orang-orang yang akan menjatuhkan-Nya dari atas tebing (Lukas 4:29-30), Yesus pasti bisa mengatasi kemarahan orang-orang itu dengan sedikit kuasa yang dimiliki-Nya.  Namun Yesus memilih DIAM  dan tidak menjawab semua tuduhan mereka.  Mengapa Yesus DIAM?   Nubuatan tentang hal ini sudah disampaikan oleh Yesaya: “Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan dirinya disakiti dan tidak membuka mulutnya.  Seperti induk domba yang kelu di depan mereka yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya.” (Yesaya 53:7).  William Barclay menuliskan bahwa DIAMNYA Yesus disebabkan oleh kebencian orang Yahudi yang bagaikan tirai besi yang sulit ditembus oleh pembelaan diri model apa pun  dan sikap hati Pilatus yang enggan dan takut untuk membuka kebenaran maka tidak ada gunanya kata-kata pembelaan di saat seperti itu. Namun sebenarnya Yesus pun tahu bahwa memang jalan penderitaanlah yang harus dilalui-Nya untuk menyelesaikan misi kedatangan-Nya di dunia ini.  Selain karena faktor situasi yang memang tidak memungkinkan untuk membela diri, Yesus DIAM karena Ia harus menuntaskan misi-Nya.  Yesus DIAM tapi tidak tinggal DIAM. DIAM memang tidak mudah dipahami.  DIAM memiliki banyak arti.  Ketika Yesus DIAM itu menandakan kekerasan hati manusia yang sudah diliputi kedengkian sehingga tidak lagi mampu mendengar suara kebenaran.  Allah yang DIAM memang menggelisahkan bagi manusia yang mengharapkan pertolongan-Nya.  Namun sebenarnya Allah tidak tinggal DIAM karena Ia bekerja untuk menyadarkan manusia akan kehadiran-Nya.  Manusia gelisah karena Allah tidak menjawab seperti yang dikehendakinya, namun Allah menyatakan apa yang diinginkan-Nya.  Allah yang DIAM dalam pergumulan iman umat-Nya menjadi pergumulan Shusaku Endo saat menuliskan novelnya yang berjudul Silence. Endo mempertanyakan mengapa Tuhan bungkam dengan semua penderitaan umat-Nya dan membiarkan mereka berjuang menghadapi aniaya. Namun ternyata Tuhan tidak bungkam, Tuhan turut menderita bersama umat-Nya.  Mari TETAP PERCAYA.  Tuhan sepertinya DIAM, tapi Ia tidak pernah tinggal DIAM.  Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)