Life is Battlefield

MEDAN PERANG. Sahabat, mungkin kita sering mendengar atau membaca ungkapan dalam bahasa Inggris: Life is a battlefield. Hidup ini adalah sebuah medan peperangan.  Pengalaman hidup kita bercerita bahwa hidup ini sungguh penuh perjuangan. Hampir di semua  lini kehidupan kita harus berjuang untuk mencapai keberhasilan. Orang rela belajar berpuluh-puluh tahun untuk  bisa menyelesaikan jenjang pendidikan yang kita harapkan. Dalam dunia agraris, jika kita ingin bisa memetik hasil, kita harus menanam terlebih dahulu dan memupuk, mengairi, membersihkan hama, dan lain-lain.  Merawat dan menjaga selama jangka waktu tertentu  terlebih dahulu. Seringkali di tengah perjuangan itu kita akan menghadapi berbagai hambatan.. Ada berbagai pergumulan yang harus kita hadapi dalam prosesnya dan itu bisa jadi tidak mudah. Kita berperang melawan hawa nafsu, melawan keinginan-keinginan daging yang terus berusaha menguasai dan menyesatkan kita. Kita juga menghadapi peperangan melawan roh-roh jahat di udara. Sahabat, semua berperang, namun tidak semua bisa keluar menjadi pemenang. Ada banyak orang yang tidak bisa terlepas dari pergumulannya, dari kebiasaan buruknya atau dari berbagai kesesatan yang tidak berkenan di hadapan Tuhan. Ada banyak orang yang jatuh bangun, terus berusaha untuk bangkit namun lagi-lagi gagal. Karena itu kita perlu belajar dari orang yang memiliki banyak pengalaman akan keberhasilan. Salah seorang  tokoh yang hidupnya penuh dengan kemenangan adalah Daud. Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab 2 Samuel dengan topik: “Life is Battlefield (Hidup adalah Medan Perang)”. Bacaan Sabda diambil dari 2 Samuel 8:1-18. Sahabat, dalam bacaan kita pada hari ini,  kita melihat serangkaian kemenangan yang diperoleh Daud dengan gemilang. Daud memukul kalah orang Filistin (Ayat 1), mengalahkan orang Moab (Ayat 2), menundukkan raja Hadadezer raja Zoba di hulu sungai Efrat (Ayat 3), daripadanya menangkap 1.700 tentara berkuda dan 20.000 pasukan berjalan kaki (Ayat 4), menumpas orang Aram yang hendak menolong Hadadezer sejumlah puluhan ribu orang (Ayat  5-6), dan dalam perjalanan pulang ia kembali mengalahkan 18.000 orang Edom di Lembah Asin. (Ayat 13). Lihatlah serangkaian kemenangan yang diperoleh Daud. Tidak sekalipun disebutkan di sana bahwa ia kalah. Apakah itu karena kehebatan Daud? Apakah ia kita kenal sebagai ahli strategi perang? Apakah karena persenjataan Daud memiliki teknologi muktahir yang jauh di atas musuh-musuhnya? Bukan semua itu yang disebutkan Alkitab sebagai alasannya. Alkitab berkata bahwa kemenangan-kemenangan Daud itu bukan karena kuat dan hebatnya Daud, tetapi karena pemberian Tuhan, “TUHAN memberi kemenangan kepada Daud ke manapun ia pergi berperang.” (Ayat 6-b dan 14-b). Dua kali kalimat tersebut diulangi, menunjukkan penekanan bahwa keberhasilan Daud adalah berkat penyertaan Tuhan dalam setiap peperangan yang ia hadapi. Bagaimana Daud bisa mendapat penyertaan Tuhan seperti itu yang membuatnya berhasil dalam setiap peperangan? Kita bisa melihat penyebabnya dalam Mazmur 60:1-12.  Ayat tersebut menuliskan apa yang dilakukan Daud sebelum ia berperang melawan orang Aram dan Edom seperti yang tertulis pada bacaan kita pada hari ini. Sahabat, peperangan demi peperangan akan terus kita hadapi. Ada yang mudah tapi banyak pula yang sulit. Setiap saat kegagalan bisa mengintip, setiap saat kita bisa dikalahkan. Tapi Tuhan sudah menjanjikan kemenangan, dan kita bisa melihat kunci untuk memperolehnya melalui apa yang dilakukan oleh Daud. Dia tidak mengandalkan kekuatannya, kehebatannya, ketenarannya, kharismanya, namun ia sepenuhnya mengandalkan Tuhan. Ia merendahkan dirinya secara total karena ia tahu semua itu tidak akan ada gunanya jika tidak memiliki penyertaan Tuhan dalam hidup. Tuhan ingin kita menyambut-Nya seperti sikap seorang anak kecil. Tuhan ingin kita bergantung sepenuhnya kepada-Nya seperti anak kecil yang mengandalkan orang tuanya. Tuhan ingin kita bersikap polos, jujur apa adanya ketika berhadapan dengan-Nya. Ini semua yang akan membawa kita kepada berbagai kemenangan, bukan kekuatan atau kepintaran dan kehebatan diri kita sendiri atau manusia lainnya. Belajarlah dari Daud agar kita bisa memperoleh hasil gemilang dari setiap peperangan yang kita hadapi. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami dari ayat 6-b dan 14-b? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Peperangan demi peperangan akan terus kita hadapi. Kalau kita ingin menang dalam peperangan, kita harus meminta penyertaan Allah. (pg)

Life is Battlefield

MEDAN PERANG. Sahabat, mungkin kita sering mendengar atau membaca ungkapan dalam bahasa Inggris: Life is a battlefield. Hidup ini adalah sebuah medan peperangan.  Pengalaman hidup kita bercerita bahwa hidup ini sungguh penuh perjuangan. Hampir di semua  lini kehidupan kita harus berjuang untuk mencapai keberhasilan. Orang rela belajar berpuluh-puluh tahun untuk  bisa menyelesaikan jenjang pendidikan yang kita harapkan. Dalam dunia agraris, jika kita ingin bisa memetik hasil, kita harus menanam terlebih dahulu dan memupuk, mengairi, membersihkan hama, dan lain-lain.  Merawat dan menjaga selama jangka waktu tertentu  terlebih dahulu. Seringkali di tengah perjuangan itu kita akan menghadapi berbagai hambatan.. Ada berbagai pergumulan yang harus kita hadapi dalam prosesnya dan itu bisa jadi tidak mudah. Kita berperang melawan hawa nafsu, melawan keinginan-keinginan daging yang terus berusaha menguasai dan menyesatkan kita. Kita juga menghadapi peperangan melawan roh-roh jahat di udara. Sahabat, semua berperang, namun tidak semua bisa keluar menjadi pemenang. Ada banyak orang yang tidak bisa terlepas dari pergumulannya, dari kebiasaan buruknya atau dari berbagai kesesatan yang tidak berkenan di hadapan Tuhan. Ada banyak orang yang jatuh bangun, terus berusaha untuk bangkit namun lagi-lagi gagal. Karena itu kita perlu belajar dari orang yang memiliki banyak pengalaman akan keberhasilan. Salah seorang  tokoh yang hidupnya penuh dengan kemenangan adalah Daud. Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab 2 Samuel dengan topik: “Life is Battlefield (Hidup adalah Medan Perang)”. Bacaan Sabda diambil dari 2 Samuel 8:1-18. Sahabat, dalam bacaan kita pada hari ini,  kita melihat serangkaian kemenangan yang diperoleh Daud dengan gemilang. Daud memukul kalah orang Filistin (Ayat 1), mengalahkan orang Moab (Ayat 2), menundukkan raja Hadadezer raja Zoba di hulu sungai Efrat (Ayat 3), daripadanya menangkap 1.700 tentara berkuda dan 20.000 pasukan berjalan kaki (Ayat 4), menumpas orang Aram yang hendak menolong Hadadezer sejumlah puluhan ribu orang (Ayat  5-6), dan dalam perjalanan pulang ia kembali mengalahkan 18.000 orang Edom di Lembah Asin. (Ayat 13). Lihatlah serangkaian kemenangan yang diperoleh Daud. Tidak sekalipun disebutkan di sana bahwa ia kalah. Apakah itu karena kehebatan Daud? Apakah ia kita kenal sebagai ahli strategi perang? Apakah karena persenjataan Daud memiliki teknologi muktahir yang jauh di atas musuh-musuhnya? Bukan semua itu yang disebutkan Alkitab sebagai alasannya. Alkitab berkata bahwa kemenangan-kemenangan Daud itu bukan karena kuat dan hebatnya Daud, tetapi karena pemberian Tuhan, “TUHAN memberi kemenangan kepada Daud ke manapun ia pergi berperang.” (Ayat 6-b dan 14-b). Dua kali kalimat tersebut diulangi, menunjukkan penekanan bahwa keberhasilan Daud adalah berkat penyertaan Tuhan dalam setiap peperangan yang ia hadapi. Bagaimana Daud bisa mendapat penyertaan Tuhan seperti itu yang membuatnya berhasil dalam setiap peperangan? Kita bisa melihat penyebabnya dalam Mazmur 60:1-12.  Ayat tersebut menuliskan apa yang dilakukan Daud sebelum ia berperang melawan orang Aram dan Edom seperti yang tertulis pada bacaan kita pada hari ini. Sahabat, peperangan demi peperangan akan terus kita hadapi. Ada yang mudah tapi banyak pula yang sulit. Setiap saat kegagalan bisa mengintip, setiap saat kita bisa dikalahkan. Tapi Tuhan sudah menjanjikan kemenangan, dan kita bisa melihat kunci untuk memperolehnya melalui apa yang dilakukan oleh Daud. Dia tidak mengandalkan kekuatannya, kehebatannya, ketenarannya, kharismanya, namun ia sepenuhnya mengandalkan Tuhan. Ia merendahkan dirinya secara total karena ia tahu semua itu tidak akan ada gunanya jika tidak memiliki penyertaan Tuhan dalam hidup. Tuhan ingin kita menyambut-Nya seperti sikap seorang anak kecil. Tuhan ingin kita bergantung sepenuhnya kepada-Nya seperti anak kecil yang mengandalkan orang tuanya. Tuhan ingin kita bersikap polos, jujur apa adanya ketika berhadapan dengan-Nya. Ini semua yang akan membawa kita kepada berbagai kemenangan, bukan kekuatan atau kepintaran dan kehebatan diri kita sendiri atau manusia lainnya. Belajarlah dari Daud agar kita bisa memperoleh hasil gemilang dari setiap peperangan yang kita hadapi. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami dari ayat 6-b dan 14-b? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Peperangan demi peperangan akan terus kita hadapi. Kalau kita ingin menang dalam peperangan, kita harus meminta penyertaan Allah. (pg)

TERPESONA DENGAN YANG SEMENTARA

Saudaraku, pepatah Jawa mengatakan: Ojo kagetan, ojo gumunan, ojo dumeh (jangan mudah terpesona, jangan mudah kagum dan jangan sombong).  Ketiga hal tersebut mengingatkan manusia untuk selalu sadar diri dan rendah hati.  Ternyata Yesus pernah secara tidak langsung mengungkapkan hal yang sama.  Mari kita merenungkan Markus 13:1-3. Kemegahan Bait Suci Herodes tidak diragukan.  Bangunan itu mulai dibangun tahun 20-19 SM dan menjadi mega proyek Herodes saat itu.  Pada zaman Yesus bangunan itu belum selesai, padahal sudah lebih dari satu dasawarsa sejak awal pembangunannya. Semua orang mengagumi Bait Suci itu.  Semua yang melihatnya pasti terpesona.  Bait Suci Herodes memang canggih dan hebat.  Bayangkan saja, bangunan itu berdiri bukan di lahan yang datar melainkan di atas tembok buatan raksasa yang yang menutupi area puncak Sion. Wow.  Sejarahwan Yosefus mengatakan bahwa beberapa batu memiliki Panjang 12 meter, tinggi lebih dari 3,5 meter dan lebarnya hampir 5,5 meter.  Batu-batu inilah yang membuat murid-murid Yesus gumun, terpesona.    Bahan penyangga bangunan itu memang luar biasa penampakannya, ditambah dengan kemegahan yang dinampakkan oleh beberapa bagian bangunan yang sudah jadi.  Wajar bila para murid terpesona dan mengagumi habis-habisan.  Mungkin Yesus juga memiliki pendapat yang sama dengan para murid.  Memang bangunan itu hebat. Namun Yesus tahu benar bahwa apa yang dilihat-Nya bersama para murid saat itu hanyalah sementara.  Tidak ada yang abadi.  Yesus dengan luar biasa justru memakai bangunan megah itu untuk menjelaskan mega proyek Allah yang akan menghancurkannya hingga bahkan satu batupun tidak akan bertumpuk dengan yang lain.  Hancur total.  Yesus bukan skeptis ataupun iri hati kepada Herodes.  Yesus justru mengingatkan para murid untuk selalu sadar dan tetap berjaga-jaga karena semua hanya sementara (Markus 13:37).  Yesus berhasil mengimbangi kekaguman para murid dan membawa mereka kembali dalam situasi yang lebih netral untuk melihat sebuah kenyataan dan mengajak para murid sedikit ‘mengintip’ situasi zaman akhir yang akan membuat mereka sadar bahwa mereka harus siap dengan segala perubahan yang akan terjadi. Manusia memang diberi kemampuan lebih oleh Tuhan untuk bisa menghasilkan hal-hal yang mempermudah dan melancarkan kehidupannya.  Misalnya saja kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang saat ini sedang dikembangkan maksimal.  Manusia terpesona dengan kemampuan AI untuk menjawab semua permasalahan dan mulai bergantung kepadanya.  Namun manusia harus sadar bahwa semua akan segera berubah karena apa yang ada di dunia hanya sementara.  Manusia harus terus waspada dan menjaga hubungannya dengan Allah, yang membuatnya terus menyadari kefanaan sehingga belajar bergantung kepada kekekalan Allah. Dengan kesadaran itu, manusia belajar meminimalisir kesombongannya dan hidup dalam takut akan Tuhan.  Sebagaimana Pengamsal mengatakan: “Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan Tuhan dan jauhilah kejahatan.  Itulah yang akan memulihkan tubuhmu dan menyembuhkan tulang-tulangmu” (Amsal 3:7-8).  Mari belajar untuk selalu waspada dan tidak lekas terpesona dengan apa pun yang dikagumi manusia sehingga ketergantungan kepada kasih karunia Tuhan tetap terjaga. Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)